Negara dibajak Lapindo
A
A
A
Sindonews.com – Pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral Ardian menilai, ganti rugi korban lumpur Lapindo tidak bisa dibebankan kepada negara.
Seharusnya beban tersebut diberikan kepada PT Minarak Lapindo Jaya. "Kesalahan privat (perusahaan) tidak bisa dibebankan negara, itu bukti negara sudah dibajak secara politik oleh pengusaha," kata Donny sat dihubungi di Jakarta, Minggu 17 Juni 2012. Menurut dia, pembayaran ganti rugi yang dibebankan kepada negara merupakan politik dagang sapi antara Partai Golkar dan Partai Demokrat. "Jelas sekali, ini kompensasi Demokrat atas dukungan Golkar terhadap kebijakan BBM pemerintah," kata Donny yang juga pakar filsafat politik.
PT Minarak Lapindo Jaya, selaku juru bayar dari PT Lapindo Brantas Inc, memang menjadi pihak yang bertanggung jawab atas bencana lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya Tjuk Sukiadi menyatakan, bencana lumpur Lapindo akibat kesalahan perusahaan bukan bencana alam, sehingga APBN tidak perlu ikut urunan melakukan pembayaran terhadap para korban.
Tjuk tidak sepakat, jika mentang-mentang para korban Lapindo kemudian berhak menerima bantuan dari APBN. "Lah pajak itu tidak ada kaitannya. Kalau dasarnya itu, maka kita memiliki hak untuk mempertanyakannya," tuturnya. Mestinya, lanjut Tjuk, pemerintah harus bersikap berani terhadap perusahaan yang melakukan kerusakan di Porong.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun diminta untuk bertindak seperti Presiden Amerika Serikat Barack Obama, yang meminta British Petroleum menanggulangi semburan lumpur di Teluk Meksiko 2010 lalu. "Pemerintah justru yang harus mengejar perusahaan tersebut untuk bertanggung jawab, bukan membiarkan korban lumpur yang menagih sendiri kepada perusahaan," tegasnya.
Uji materi pasal Lapindo didukung penuh
Pimpinan DPR mendukung penuh langkah sejumlah pihak agar aturan pembiayaan penanggulangan lumpur Lapindo diuji materi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Aturan mengenai ini tercantum pada Pasal 18 ayat c, jo Pasal 19 UU No 4/2012 tentang APBN Perubahan tahun 2012, yang menjadi rujukan alokasi dana penanggulangan lumpur Lapindo. Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, uji materi ini akan bermanfaat sebagai bahan evaluasi dari satu kebijakan publik.
Namun, pihaknya meminta agar semua pihak tidak mengintervensi hasil uji materi yang nantinya dikeluarkan MK. "Saya kira bagus untuk kehidupan demokrasi Indonesia, ada check and balance atas suatu kebijakan publik yang dilakukan oleh rakyat melalui proses hukum ketatanegaraan yang berlaku. Soal benar atau salah, biarlah MK yang memutuskan," tukasnya.
Di sisi lain, Marzuki juga meminta perusahaan Lapindo Brantas segera menyelesaikan kewajibannya terhadap korban lumpur Lapindo yang saat ini nasibnya masih terkatung-katung. Dia berharap, dengan penyelesaian itu, permasalahan sosial yang telah berlangsung selama enam tahun bisa segera tuntas. Sejumlah kalangan di parlemen juga masih mempertanyakan keganjilan penambahan ayat pada Pasal 18 UU APBN Perubahan tahun 2012.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Yudi Widiana Adia mengatakan, pasal tersebut tidak dibahas mendetail di Banggar DPR dan tiba-tiba muncul untuk kemudian disahkan. "Dalam pembahasan RUU APBNP 2012, Banggar DPR memang tidak sempat menyoroti Pasal 18. Pasal tersebut muncul begitu saja. Tidak ada pembahasan mendalam di Banggar. Anggaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) di postur tidak terlihat, tapi muncul saat perumusan RUU APBNP 2012," ungkapnya.
Menurut dia, pembahasan pasal anggaran tersebut lebih banyak dilakukan oleh tim perumus di Banggar. Pihaknya sendiri menyayangkan hal tersebut karena seharusnya keputusan BPLS terkait dengan rekomendasi Komisi V DPR yang membidangi infrastruktur. Sementara itu, skema pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo oleh PT Minarak Lapindo Jaya yang dilakukan mulai 16 Juni lalu dinilai tidak jelas.
Pasalnya masih banyak korban lumpur yang belum mendapat pelunasan ganti rugi meski nilai di bawah Rp40 juta. Harwati, salah seorang korban lumpur mengatakan, janji PT Minarak Lapindo Jaya yang akan melunasi ganti rugi yang memiliki nilai di bawah Rp40 juta ternyata hanya isapan jempol. Pembayaran ganti rugi yang dilakukan ternyata tidak merata.
"Jumlah korban lumpur yang belum menerima pelunasan ganti rugi dari Lapindo ternyata masih banyak," ujar Harwati. Meski nilai sisa ganti rugi yang harus diterima Harwati hanya Rp20 juta, pada proses pembayarannya Harwati hanya menerima transfer dana Rp8 juta. Vice Presiden PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam melalui pesan singkatnya menyatakan tidak berkenan untuk diwawancarai. "Biarkan Minarak bekerja melakukan pembayaran ganti rugi sesuai kewajibannya," jelas Andi. (lil)
Seharusnya beban tersebut diberikan kepada PT Minarak Lapindo Jaya. "Kesalahan privat (perusahaan) tidak bisa dibebankan negara, itu bukti negara sudah dibajak secara politik oleh pengusaha," kata Donny sat dihubungi di Jakarta, Minggu 17 Juni 2012. Menurut dia, pembayaran ganti rugi yang dibebankan kepada negara merupakan politik dagang sapi antara Partai Golkar dan Partai Demokrat. "Jelas sekali, ini kompensasi Demokrat atas dukungan Golkar terhadap kebijakan BBM pemerintah," kata Donny yang juga pakar filsafat politik.
PT Minarak Lapindo Jaya, selaku juru bayar dari PT Lapindo Brantas Inc, memang menjadi pihak yang bertanggung jawab atas bencana lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya Tjuk Sukiadi menyatakan, bencana lumpur Lapindo akibat kesalahan perusahaan bukan bencana alam, sehingga APBN tidak perlu ikut urunan melakukan pembayaran terhadap para korban.
Tjuk tidak sepakat, jika mentang-mentang para korban Lapindo kemudian berhak menerima bantuan dari APBN. "Lah pajak itu tidak ada kaitannya. Kalau dasarnya itu, maka kita memiliki hak untuk mempertanyakannya," tuturnya. Mestinya, lanjut Tjuk, pemerintah harus bersikap berani terhadap perusahaan yang melakukan kerusakan di Porong.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun diminta untuk bertindak seperti Presiden Amerika Serikat Barack Obama, yang meminta British Petroleum menanggulangi semburan lumpur di Teluk Meksiko 2010 lalu. "Pemerintah justru yang harus mengejar perusahaan tersebut untuk bertanggung jawab, bukan membiarkan korban lumpur yang menagih sendiri kepada perusahaan," tegasnya.
Uji materi pasal Lapindo didukung penuh
Pimpinan DPR mendukung penuh langkah sejumlah pihak agar aturan pembiayaan penanggulangan lumpur Lapindo diuji materi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Aturan mengenai ini tercantum pada Pasal 18 ayat c, jo Pasal 19 UU No 4/2012 tentang APBN Perubahan tahun 2012, yang menjadi rujukan alokasi dana penanggulangan lumpur Lapindo. Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan, uji materi ini akan bermanfaat sebagai bahan evaluasi dari satu kebijakan publik.
Namun, pihaknya meminta agar semua pihak tidak mengintervensi hasil uji materi yang nantinya dikeluarkan MK. "Saya kira bagus untuk kehidupan demokrasi Indonesia, ada check and balance atas suatu kebijakan publik yang dilakukan oleh rakyat melalui proses hukum ketatanegaraan yang berlaku. Soal benar atau salah, biarlah MK yang memutuskan," tukasnya.
Di sisi lain, Marzuki juga meminta perusahaan Lapindo Brantas segera menyelesaikan kewajibannya terhadap korban lumpur Lapindo yang saat ini nasibnya masih terkatung-katung. Dia berharap, dengan penyelesaian itu, permasalahan sosial yang telah berlangsung selama enam tahun bisa segera tuntas. Sejumlah kalangan di parlemen juga masih mempertanyakan keganjilan penambahan ayat pada Pasal 18 UU APBN Perubahan tahun 2012.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Yudi Widiana Adia mengatakan, pasal tersebut tidak dibahas mendetail di Banggar DPR dan tiba-tiba muncul untuk kemudian disahkan. "Dalam pembahasan RUU APBNP 2012, Banggar DPR memang tidak sempat menyoroti Pasal 18. Pasal tersebut muncul begitu saja. Tidak ada pembahasan mendalam di Banggar. Anggaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) di postur tidak terlihat, tapi muncul saat perumusan RUU APBNP 2012," ungkapnya.
Menurut dia, pembahasan pasal anggaran tersebut lebih banyak dilakukan oleh tim perumus di Banggar. Pihaknya sendiri menyayangkan hal tersebut karena seharusnya keputusan BPLS terkait dengan rekomendasi Komisi V DPR yang membidangi infrastruktur. Sementara itu, skema pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo oleh PT Minarak Lapindo Jaya yang dilakukan mulai 16 Juni lalu dinilai tidak jelas.
Pasalnya masih banyak korban lumpur yang belum mendapat pelunasan ganti rugi meski nilai di bawah Rp40 juta. Harwati, salah seorang korban lumpur mengatakan, janji PT Minarak Lapindo Jaya yang akan melunasi ganti rugi yang memiliki nilai di bawah Rp40 juta ternyata hanya isapan jempol. Pembayaran ganti rugi yang dilakukan ternyata tidak merata.
"Jumlah korban lumpur yang belum menerima pelunasan ganti rugi dari Lapindo ternyata masih banyak," ujar Harwati. Meski nilai sisa ganti rugi yang harus diterima Harwati hanya Rp20 juta, pada proses pembayarannya Harwati hanya menerima transfer dana Rp8 juta. Vice Presiden PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam melalui pesan singkatnya menyatakan tidak berkenan untuk diwawancarai. "Biarkan Minarak bekerja melakukan pembayaran ganti rugi sesuai kewajibannya," jelas Andi. (lil)
()