KPU rawan diintervensi DPR
A
A
A
Sindonews.com – Keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini dinilai rawan intervensi DPR. Satu sisi diberikan amanah kemandirian, namun di sisi lain mengharuskan konsultasi dengan DPR dalam menyusun regulasi pemilu.
Pakar hukum tata negara, Saldi Isra mengatakan, UU No 15/2011 tentang penyelenggara pemilu dinilai tidak tegas. Pasal 119 ayat 2 menyebutkan ada mekanisme konsultasi dengan DPR sebelum KPU membuat regulasi terkait pemilu. “Melihat fakta ini, KPU harus berhati-hati dengan mekanisme konsultasi yang sangat rawan akan intervensi,” katanya seusai workshop 'Peran Strategis KPU dalam Penyusunan Regulasi' di Jakarta, Kamis (7/6/2012). Dia menyarankan KPU untuk memeriksa kembali tata tertib DPR tentang mekanisme konsultasi. Jika tidak mewakili DPR, hal itu rentan terhadap timbulnya intervensi.
“DPR itu kan terdiri atas parpol-parpol, jangan sampai celah ini bisa dimanfaatkan untuk lahan kepentingan mereka,” kata dia. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Veri Junaidi mengingatkan agar KPU harus mengetahui posisi mereka yang mandiri dan tidak boleh diintervensi. KPU juga harus menyadari bahwa tugas pembentukan peraturan KPU adalah domain KPU, bukan DPR. “Kewajiban konsultasi ke DPR dan pemerintah merupakan kewajiban bagi pembentuk peraturan untuk terbuka, sekadar mendengar dan melihat masukan seluruh stakeholder terkait, juga peserta pemilu dan masyarakat,” katanya.
Jika KPU sudah memahami itu, lanjut Veri, langkah berikutnya adalah koordinasi dengan pemerintah dan DPR soal mekanisme konsultasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut tadi. “Tapi kalau ada gelagat intervensi dan DPR ngotot untuk itu, bisa diuji konstitusionalitasnya sehingga memberikan kepastian hukum,” ucapnya.
Anggota KPU Hadar Navis Gumay mengungkapkan, KPU memiliki kekhawatiran akan hal tersebut. Karena itu, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II, KPU akan menanyakan kepastian apa makna dari konsultasi yang dimaksud dalam Pasal 119 ayat 2. (lil)
Pakar hukum tata negara, Saldi Isra mengatakan, UU No 15/2011 tentang penyelenggara pemilu dinilai tidak tegas. Pasal 119 ayat 2 menyebutkan ada mekanisme konsultasi dengan DPR sebelum KPU membuat regulasi terkait pemilu. “Melihat fakta ini, KPU harus berhati-hati dengan mekanisme konsultasi yang sangat rawan akan intervensi,” katanya seusai workshop 'Peran Strategis KPU dalam Penyusunan Regulasi' di Jakarta, Kamis (7/6/2012). Dia menyarankan KPU untuk memeriksa kembali tata tertib DPR tentang mekanisme konsultasi. Jika tidak mewakili DPR, hal itu rentan terhadap timbulnya intervensi.
“DPR itu kan terdiri atas parpol-parpol, jangan sampai celah ini bisa dimanfaatkan untuk lahan kepentingan mereka,” kata dia. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Veri Junaidi mengingatkan agar KPU harus mengetahui posisi mereka yang mandiri dan tidak boleh diintervensi. KPU juga harus menyadari bahwa tugas pembentukan peraturan KPU adalah domain KPU, bukan DPR. “Kewajiban konsultasi ke DPR dan pemerintah merupakan kewajiban bagi pembentuk peraturan untuk terbuka, sekadar mendengar dan melihat masukan seluruh stakeholder terkait, juga peserta pemilu dan masyarakat,” katanya.
Jika KPU sudah memahami itu, lanjut Veri, langkah berikutnya adalah koordinasi dengan pemerintah dan DPR soal mekanisme konsultasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut tadi. “Tapi kalau ada gelagat intervensi dan DPR ngotot untuk itu, bisa diuji konstitusionalitasnya sehingga memberikan kepastian hukum,” ucapnya.
Anggota KPU Hadar Navis Gumay mengungkapkan, KPU memiliki kekhawatiran akan hal tersebut. Karena itu, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II, KPU akan menanyakan kepastian apa makna dari konsultasi yang dimaksud dalam Pasal 119 ayat 2. (lil)
()