Pengembang kecil terancam punah
A
A
A
Pengembang skala kecil yang selama ini berkonsentrasi membangun rumah tipe 21 dan 22 terancam punah. Pengembang perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah itu sudah kesulitan mendapatkan pembiayaan dari perbankan menyusul aturan pemerintah yang tidak memperkenalkan lagi pembangunan tipe rumah kecil di bawah tipe 36.
Aturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 2011 mengenai perumahan dan pemukiman yang mengatur soal batas ukuran rumah sederhana yang boleh dibangun minimal rumah tipe 36.
Fakta di lapangan, sejumlah pengembang skala kecil di wilayah Tangerang mulai kebingungan, bagaimana mengatasi dampak dari kebijakan pembangunan rumah tipe 36 itu?
Selama ini, pengembang yang membangun rumah tipe kecil dilepas dengan harga pada kisaran Rp70 juta hingga Rp80 juta. Rumah seharga tersebut termasuk laris manis karena harganya terjangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Selain nilai cicilan sekitar Rp600.000 hingga Rp750.000, uang muka juga masih terjangkau yang dipatok antara Rp15 juta hingga Rp23 juta.
Dengan aturan baru yang sudah diberlakukan sejak awal tahun ini, pengembang skala kecil gigit jari dan memutar otak bagaimana bisa tetap survive.
Pasalnya, harga jual rumah tipe 36 melonjak mencapai angka di atas Rp100 juta, sementara batas kredit pemilikan rumah (KPR) yang disalurkan perbankan tidak berubah, tetap pada kisaran Rp60 juta hingga Rp65 juta,bahkan perbankan mulai ogah menyalurkan kredit yang mendapat subsidi bunga.
Dampaknya, uang muka yang harus ditanggung konsumen menggelembung menjadi sekitar Rp40 juta lebih dan biaya cicilan pun ikut melonjak. Selama ini,konsumen untuk perumahan di bawah tipe 36 adalah masyarakat yang berpenghasilan antara Rp1,9 juta hingga Rp2,5 juta per bulan.
Untuk mengumpulkan uang muka hingga Rp40 juta sungguh pasti sulit. Belum lagi menyisihkan pendapatan sebesar Rp1 juta per bulan untuk cicilan semakin susah di tengah biaya hidup yang makin tinggi.
Pemberlakuan kebijakan di bidang perumahan itu pun digugat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Mereka mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU No 1 Tahun 2011 tersebut yang dinilai menyulitkan pengembang berskala kecil bertumbuh dan menutup peluang bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah.
Bukan hanya dari kalangan pengembang dan konsumen yang mengkritisi kebijakan tersebut. Mantan Menteri Perumahan Rakyat (Menpera, era 1978–1993) Cosmas Batubara pun angkat bicara.
Cosmas menilai Menpera Djan Faridz telah salah kaprah karena sibuk mengurusi desain hingga teknis. Fungsi utama menpera adalah membangun dan menjaga jalur koordinasi dengan lembaga yang terkait dengan perumahan agar semua seiring dalam memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat.
Namun, Menpera Djan Faridz merasa tak ada yang janggal dengan kebijakan perumahan itu. Misi pemerintah adalah menyediakan rumah tinggal yang memenuhi standar fisik bangunan sehingga bisa menjadi sarana interaksi anggota keluarga yang melahirkan suasana sehat lahir dan batin dengan lingkungan yang baik.Djan menegaskan,rumah tipe 36 lebih sehat dari rumah tipe yang lebih kecil.
Alasan Menpera sangat logis, tetapi kemampuan finansial masyarakat bawah tak bisa mendukung untuk membeli rumah tipe 36, sementara rumah murah seharga Rp25 juta yang dijanjikan pemerintah masih terus diliputi masalah, di antaranya terganjal penyediaan lahan dan birokrasi pemerintah daerah yang rumit.(*)
Aturan tersebut tertuang dalam Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 2011 mengenai perumahan dan pemukiman yang mengatur soal batas ukuran rumah sederhana yang boleh dibangun minimal rumah tipe 36.
Fakta di lapangan, sejumlah pengembang skala kecil di wilayah Tangerang mulai kebingungan, bagaimana mengatasi dampak dari kebijakan pembangunan rumah tipe 36 itu?
Selama ini, pengembang yang membangun rumah tipe kecil dilepas dengan harga pada kisaran Rp70 juta hingga Rp80 juta. Rumah seharga tersebut termasuk laris manis karena harganya terjangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Selain nilai cicilan sekitar Rp600.000 hingga Rp750.000, uang muka juga masih terjangkau yang dipatok antara Rp15 juta hingga Rp23 juta.
Dengan aturan baru yang sudah diberlakukan sejak awal tahun ini, pengembang skala kecil gigit jari dan memutar otak bagaimana bisa tetap survive.
Pasalnya, harga jual rumah tipe 36 melonjak mencapai angka di atas Rp100 juta, sementara batas kredit pemilikan rumah (KPR) yang disalurkan perbankan tidak berubah, tetap pada kisaran Rp60 juta hingga Rp65 juta,bahkan perbankan mulai ogah menyalurkan kredit yang mendapat subsidi bunga.
Dampaknya, uang muka yang harus ditanggung konsumen menggelembung menjadi sekitar Rp40 juta lebih dan biaya cicilan pun ikut melonjak. Selama ini,konsumen untuk perumahan di bawah tipe 36 adalah masyarakat yang berpenghasilan antara Rp1,9 juta hingga Rp2,5 juta per bulan.
Untuk mengumpulkan uang muka hingga Rp40 juta sungguh pasti sulit. Belum lagi menyisihkan pendapatan sebesar Rp1 juta per bulan untuk cicilan semakin susah di tengah biaya hidup yang makin tinggi.
Pemberlakuan kebijakan di bidang perumahan itu pun digugat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Mereka mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU No 1 Tahun 2011 tersebut yang dinilai menyulitkan pengembang berskala kecil bertumbuh dan menutup peluang bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah.
Bukan hanya dari kalangan pengembang dan konsumen yang mengkritisi kebijakan tersebut. Mantan Menteri Perumahan Rakyat (Menpera, era 1978–1993) Cosmas Batubara pun angkat bicara.
Cosmas menilai Menpera Djan Faridz telah salah kaprah karena sibuk mengurusi desain hingga teknis. Fungsi utama menpera adalah membangun dan menjaga jalur koordinasi dengan lembaga yang terkait dengan perumahan agar semua seiring dalam memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat.
Namun, Menpera Djan Faridz merasa tak ada yang janggal dengan kebijakan perumahan itu. Misi pemerintah adalah menyediakan rumah tinggal yang memenuhi standar fisik bangunan sehingga bisa menjadi sarana interaksi anggota keluarga yang melahirkan suasana sehat lahir dan batin dengan lingkungan yang baik.Djan menegaskan,rumah tipe 36 lebih sehat dari rumah tipe yang lebih kecil.
Alasan Menpera sangat logis, tetapi kemampuan finansial masyarakat bawah tak bisa mendukung untuk membeli rumah tipe 36, sementara rumah murah seharga Rp25 juta yang dijanjikan pemerintah masih terus diliputi masalah, di antaranya terganjal penyediaan lahan dan birokrasi pemerintah daerah yang rumit.(*)
()