Bea keluar tambang

Jum'at, 11 Mei 2012 - 09:26 WIB
Bea keluar tambang
Bea keluar tambang
A A A
Isu bea keluar 20 persen dari harga jual untuk 14 macam barang mineral menjadi isu yang menghangat. Begitu banyak nada sumbang yang menyerang aturan yang didasarkan pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor7 Tahun2012.

Keempat belas barang tambang itu adalah tembaga, emas,perak,timah, timbal, kromium, molibdenum, platinum, bauksit, bijih besi, pasir besi, nikel, mangan, dan antimoni.

Lucunya bahkan ada penentang yang mengatakan bahwa dengan menjalankan aturan ini pemerintah berpotensi meningkatkan pendapatan per tahun Rp90 triliun, tapi berpotensi kehilangan Rp252 triliun.

Dari mana kehilangan itu? Dihitung dari potensi kehilangan pendapatan 3 juta pekerja tambang yang bisa di-PHK, karena perusahaan tambang merugi akibat bea keluar itu. Namun, sang penentang tidak melihat data BPS bahwa pekerja di bidang pertambangan hanya ada 1.465.376 orang (BPS,2011). Apakah memang benar pemerintah tidak pro penanaman modal?

Untuk menjawab hal tersebut, tentu kita harus memperhatikan beberapa variabel, di antaranya potensi barang tambang yang terbatas, pengembangan industri dalam negeri, opportunity lostdari barang tambang, potensi multiplier effect dari pengolahan barang tambang di dalam negeri, serta variabel-variabel lainnya.

Langkah ini krusial dengan kian maraknya ekspor barang tambang secara mentah ke luar negeri, sementara banyak industri dalam negeri yang membutuhkannya.

Berdasarkan pantauan Kementerian ESDM, dalam tiga tahun terakhir terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran. Misalnya ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800 persen bijih besi naik 700 persen, dan bijih bauksit menanjak 500 persen.

Aksi itu merupakan respons terhadap UU No 4 Tahun 2009 yang menggarisbawahi kewajiban untuk mengembangkan pengolahan nilai tambah barang tambang.

Kenapa pemerintah menginginkan ada peningkatan nilai tambah? Jawabannya jelas, karena dengan peningkatan nilai tambah maka harga jual barang tambang yang didapatkan dari perut negeri ini akan naik. Maka akan ada multiplier effect dari peningkatan nilai tambah ini,yaitu peningkatan pemasukan dari pajak.

Dengan naiknya harga jual itu,jelas pengusaha akan mendapatkan keuntungan, dan pemerintah juga akan mendapatkan hasil pajak yang lebih besar. Untuk lebih memudahkan perhitungan, bisa kita ambil contoh simpel yang bukan berdasarkan angka riil.

Misalnya di perut bumi Indonesia hanya ada 100 miliar ton nikel, dan jika semuanya dijual mentah hanya akan menghasilkan Rp100 triliun, dan dari jumlah itu pemerintah misalnya dapat 10 persennya yaitu Rp10 triliun.

Jika saja dengan pengolahan di dalam negeri itu harga jual komoditi bisa naik tiga kali lipatnya,dari 100 miliar ton nikel itu pengusaha akan mendapatkan Rp300 triliun; dan misalnya dengan jatah sama 10 persen maka pemerintah akan dapat Rp30 triliun.

Perlu kita ingat bersama, bahwa bahan tambang adalah sumber daya tidak terbarukan. Jadi harus dimaksimalkan hingga nilai tertinggi yang bisa dicapainya.

Lagipula bea keluar 20 persen tersebut tak akan dikenakan jika barang tambang diolah di dalam negeri. Pengolahan barang tambang di dalam negeri bahkan akan memberi keuntungan berlipat lainnya, yaitu pembukaan lapangan kerja baru.

Bidang-bidang yang berhubungan dengan pertambangan biasanya menawarkan gaji yang lebih besar dari bidang lain, misalnya pertanian atau manufaktur. Ini berarti akan mendorong kian berkembangnya kelas menengah Indonesia yang mempunyai daya beli tinggi yang akan memutar roda perekonomian Indonesia lebih cepat.

Jika pemerintah begitu sering ragu-ragu dalam membuat kebijakan, misalnya masalah subsidi BBM yang tak kunjung kelar, maka bisa dikatakan Permen ESDM ini adalah salah satu kebijakan bagus yang sudah selayaknya didukung. Tak ada yang salah dari pemerintah yang berusaha memaksimalkan potensi pendapatan hasil bumi untuk kesejahteraan rakyat.(*)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3941 seconds (0.1#10.140)