Renegosiasi harga gas

Kamis, 10 Mei 2012 - 08:23 WIB
Renegosiasi harga gas
Renegosiasi harga gas
A A A
Ironis, negeri penghasil gas tidak bisa memenuhi pasokan gas untuk industri domestik. Kelangkaan pasokan gas sudah pada tahap serius yang mengancam hidup-mati industri.

Bila tak ada langkah tegas, kelangkaan pasokan gas bakal mengebiri pertumbuhan industri ke depan. Ke mana produksi gas domestik selama ini? Sebagian besar diekspor ke berbagai negara industri karena alasan disparitas (perbedaan) harga yang begitu tajam.

Dengan alasan itu,ekspor didahulukan, tetapi kebutuhan di dalam negeri terabaikan. Benarkah masalah harga yang lebih tinggi di luar negeri dibanding dalam negeri sehingga harus diekspor?

Kalau mencermati beberapa penjualan gas ke berbagai negara di antaranya ke China dan Jepang, itu tidak sepenuhnya benar. Sebagai contoh, ekspor gas ke Negeri Panda yang sudah berlangsung bertahuntahun ditawarkan dengan harga supermurah, jauh di bawah penawaran industri dalam negeri yakni USD4 per million metric british thermal unit (MMBTU), sedangkan penjualan di lingkungan domestik berkisar USD6-7 per MMBTU.

Karena itu, wajar kalau bermunculan nada protes dari sejumlah kalangan untuk menghentikan ekspor gas ke luar negeri dengan harga murah. Di tengah kegamangan para pelaku industri yang khawatir tak bisa merealisasikan produksi karena kekurangan pasokan gas, muncul pernyataan tak sedap dari Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) Qoyum Tjandranegara bahwa ekspor gas telah menyebabkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah.

Mantan pejabat PT Perusahaan Gas Negara itu mengungkapkan, ekspor gas mencapai 800.000 barel setara minyak per hari. Angka ekspor yang tinggi dengan harga murah jauh di bawah harga keekonomian tersebut telah menyebabkan kerugian negara yang mencapai Rp183 triliun per tahun.

Kalau memang itu benar, sayang sekali selama ini belum ada yang vokal mengangkat persoalan tersebut ke permukaan. Tudingan itu dibantah keras oleh Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas).

Pernyataan anggota Komite BPH Migas itu dinilai selain menyesatkan, juga keliru karena formula perhitungan ekspor yang digunakan tidak tepat. Pihak BP Migas menunjukkan kesalahan perhitungan karena mengasumsikan harga gas rata-rata sama dengan harga minyak yaitu USD111 per barel oil equivalent (BOE) atau setara harga gas rata-rata sekitar USD18,5 per MMBTU.

“Jelas itu perhitungan yang keliru,” kata Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BP Migas, Gde Pradnyana.

Perdebatan dua pihak yang berwenang dalam urusan migas itu tak perlu direspons untuk memberi dukungan siapa yang benar dan siapa yang salah. Tetapi, urusan harga gas ekspor terutama ke China yang nyata-nyata di luar nalar jelas terpampang di depan mata, atau teriakan para pelaku industri yang memprotes kekurangan pasokan gas itu lebih penting disikapi ketimbang berdebat soal hitung hitungan harga jual.

Memang, kekurangcerdasan pengelola negeri ini tak bisa ditutupi bila dikaitkan dengan penjualan gas ke luar negeri. Itu fakta yang terbantahkan. Namun, di tengah kegalauan tersebut ada secercah harapan untuk meminimalisasi masalah ekspor gas yang menyandera bangsa ini.

Pemerintah China, sebagaimana dikabarkan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, bersedia merenegosiasi harga LNG Tangguh ke Fujian yang memang terlampau murah karena tidak sesuai dengan formula harga internasional.

Pemerintah sedang menyusun tim renegosiasi kontrak yang beranggotakan di antaranya dari BP Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kita cuma bisa berharap, tim renegosiasi itu kelak betul-betul tangguh untuk mendapatkan harga wajar gas ekspor.(*)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8312 seconds (0.1#10.140)