Kematian Ongen membongkar makam Munir (III)
A
A
A
Sindonews.com - Kotak pandora tempat menyimpan kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib, telah terbuka. Meski harus "dibayar" dengan nyawa Raymond 'Ongen' Latuihamalo (56), musisi jazz yang menjadi saksi kunci dalam sidang pembunuhan kasus Munir.
Menolak lupa, Munir yang dilahirkan pada 8 Desember 1965, di Malang, Jawa Timur ini, dibunuh pada 7 September 2004, saat berada dalam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam, Belanda. Rencananya, Munir akan meneruskan pendidikan S2-nya mengambil hukum humaniter, di Universitas Utrecht.
Kematian Munir sangat mengejutkan. Kemudian, keluarga Munir melakukan otopsi di Belanda. Pada 12 November 2004, kepolisian Belanda (Institut Forensik Belanda) mengeluarkan hasilnya, ditemukan jejak-jejak senyawa arsenikum, racun yang sangat mematikan. Temuan ini langsung dilanjutkan ke pihak kepolisian di Indonesia dan langsung menggemparkan.
Saat berada dalam pesawat, Munir diketahui bertemu dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang biasa dipanggil Polly. Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew, yaitu kru yang terbang sebagai penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain. Mereka bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis.
Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui pintu belakang. Diawali percakapan dengan Polly, Munir berakhir di tempat duduk kelas bisnis, nomor 3K. Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir adalah 40G.
Polly selanjutnya naik ke kokpit di lantai dua untuk bersalaman dan mengobrol dengan awak kokpit yang bertugas. Saat pesawat mundur dan siap tinggal landas, Polly dipersilakan oleh purser (pimpinan kabin) Brahmanie untuk duduk di kelas premium karena banyak tempat duduk yang kosong di kelompok termahal itu.
Kemudian, Yeti Susmiarti, pramugari Garuda yang bertugas saat itu menyajikan welcome drink. Penumpang diminta mengambil gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus apel. Munir memilih jus jeruk. Selesai minuman pembuka, pramugari senior itu membagikan sauna towel (handuk panas) ke seluruh penumpang dan surat kabar yang ingin membacanya.
Semua layanan itu disajikan Yeti sendiri, dengan bantuan Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala keperluannya di pantry. Pukul 22.02 WIB pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot Sabur Muhammad Taufik itu tinggal landas. Untuk mengukur waktu tinggal landas dan mendarat secara tepat, industri penerbangan menggunakan istilah block off (waktu melepas ganjalan roda pesawat) dan block on (penanda waktu kedatangan pesawat).
Sekitar 15 menit setelah tinggal landas, pramugari menawarkan beberapa pilihan makanan dalam kemasan yang masih panas di atas nampan. Di kursi 3K, Munir memilih mi goreng. Selesai mi, Yeti kembali memberi tawaran minuman, kali ini lebih banyak pilihan daripada welcome drink. Tapi, Munir kembali memilih jus jeruk.
Setelah mengarungi langit pulau Jawa, Sumatera, dan laut di sekitarnya selama 1 jam 38 menit, pesawat GA 974 mendarat di Bandara Changi, Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Zona waktu Singapura satu jam lebih awal ketimbang WIB. Awak kabin memberi penumpang waktu untuk jalan-jalan atau kegiatan apa saja di Bandara Changi selama 45 menit.
Di bandara ini, Munir kembali bertemu dan mengobrol dengan Polly. Tempat pertemuan dilakukan di Coffee Bean. Pertemuan Munir dengan Polly disaksikan Ongen yang saat itu juga tengah transit saat akan terbang ke Belanda dengan keperluan manggung. Ongen mengaku, melihat Polly membawakan dua gelas minuman.
Setelah mengobrol, Munir kembali naik pesawat melanjutkan perjalanannya ke Belanda. Sedang Polly melanjutkan tugasnya dan bertahan di Singapura. Munir naik pesawat melaui gerbang D 42. Di perjalanan menuju pintu Garuda, dia bertemu dengan dr. Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita. Dokter inilah yang sempat menolong Munir saat sedang kejang di dalam pesawat.
Tak lama setelah pesawat mengangkasa, Munir mulai merasakan pusing pada kepala dan mual pada perutnya. Dia juga sempat meminta obat kepada pramugari dan mengira sakitnya itu karena maagnya kambuh. Dalam hitungan menit, sakitnya semakin parah. Munir menjadi sering ke kamar mandi untuk buang air, bahkan disertai muntah hingga badannya sangat lemas.
Disaat itulah, Munir meminta bantuan dokter yang ditemui saat akan naik pesawat. Setelah diantar pramugari dan bertemu dengan Tarmizi, Munir langsung diperiksa dan diketahui denyut nadinya menjadi sangat lemah. Karena khawatir, tempat duduk Munir dipindah dekat dengan dokter itu agar mudah terpantau.
Dari situ, sebenarnya Tarmizi mulai curiga dengan penyakit Munir dan mengambil inisiatif untuk menyuntiknya dengan obat darurat. Sesaat, suntikan obat itu membuat Munir lebih baik. Tapi tak bertahan lama. Kemudian, sakit perut Munir kambuh kembali. Dia kembali ke kamar mandi untuk buang air dan muntah-muntah.
Sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat, ketika sarapan masih berlangsung dan lampu kabin masih menyala, Munir menghembuskan nafas terakhirnya. Mulutnya mengeluarkan air liur, tapi tidak berbusa, telapak tangannya membiru dan terasa dingin.
Diduga, Munir diracun saat makan dan minum dalam pesawat. Hal itu sesuai dengan karakter racun yang ditemukan dalam tubuh Munir selesai otopsi. Racun itu dapat merusak ginjal, sulit dideteksi, karena tidak memiliki rasa yang khas atau menonjol. Gejala keracunan arsenik adalah sakit di kerongkongan, sukar menelan, menyusul rasa nyeri lambung dan muntah-muntah.
Istri almarhum Munir, Suciwati mengatakan, peran Ongen dalam kasus pembunuhan Munir sangat besar. Berkat kesaksiannya itulah, Polly berhasil di penjara. Meski dalam persidangan pemeriksaan berkas Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan Munir di Pengadilan Negeri (PN), Jakarta Pusat, dengan tersangka Indra Setiawan dan Rohainil Aini, Ongen sempat mencabut keterangannya dalam BAP yang menjadi novum baru bagi PK.
Namun, saat berada di tingkat Mahkamah Agung (MA), Ongen kembali mengakui keterangan awalnya dengan mengatakan Pollycarpus membawa dua cangkir minuman saat bertemu dengan Munir di Coffee Bean, Bandara Changi. Karena keterangannya itulah, Pollycarpus divonis 20 tahun penjara.
Pada 1 Desember 2005, JPU Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menuntut Polly dengan hukuman penjara seumur hidup karena terbukti terlibat dan merencanakan pembunuhan Munir, namun dia divonis hukuman 14 tahun penjara oleh majelis hakim.
Pada 25 Januari 2008, sekira pukul 23.00 WIB, tim dari kejaksaan menjemput Polly di rumahnya. Penjemputan ini merupakan lanjutan dari putusan Mahkamah Agung yang menerima PK dari tim pengacara Munir. Dalam putusan itu, MA memvonis Polly 20 tahun penjara karena terbukti dengan menyakinkan melakukan pembunuhan terhadap Munir.
Menolak lupa, Munir yang dilahirkan pada 8 Desember 1965, di Malang, Jawa Timur ini, dibunuh pada 7 September 2004, saat berada dalam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam, Belanda. Rencananya, Munir akan meneruskan pendidikan S2-nya mengambil hukum humaniter, di Universitas Utrecht.
Kematian Munir sangat mengejutkan. Kemudian, keluarga Munir melakukan otopsi di Belanda. Pada 12 November 2004, kepolisian Belanda (Institut Forensik Belanda) mengeluarkan hasilnya, ditemukan jejak-jejak senyawa arsenikum, racun yang sangat mematikan. Temuan ini langsung dilanjutkan ke pihak kepolisian di Indonesia dan langsung menggemparkan.
Saat berada dalam pesawat, Munir diketahui bertemu dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang biasa dipanggil Polly. Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew, yaitu kru yang terbang sebagai penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain. Mereka bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis.
Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui pintu belakang. Diawali percakapan dengan Polly, Munir berakhir di tempat duduk kelas bisnis, nomor 3K. Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir adalah 40G.
Polly selanjutnya naik ke kokpit di lantai dua untuk bersalaman dan mengobrol dengan awak kokpit yang bertugas. Saat pesawat mundur dan siap tinggal landas, Polly dipersilakan oleh purser (pimpinan kabin) Brahmanie untuk duduk di kelas premium karena banyak tempat duduk yang kosong di kelompok termahal itu.
Kemudian, Yeti Susmiarti, pramugari Garuda yang bertugas saat itu menyajikan welcome drink. Penumpang diminta mengambil gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus apel. Munir memilih jus jeruk. Selesai minuman pembuka, pramugari senior itu membagikan sauna towel (handuk panas) ke seluruh penumpang dan surat kabar yang ingin membacanya.
Semua layanan itu disajikan Yeti sendiri, dengan bantuan Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala keperluannya di pantry. Pukul 22.02 WIB pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot Sabur Muhammad Taufik itu tinggal landas. Untuk mengukur waktu tinggal landas dan mendarat secara tepat, industri penerbangan menggunakan istilah block off (waktu melepas ganjalan roda pesawat) dan block on (penanda waktu kedatangan pesawat).
Sekitar 15 menit setelah tinggal landas, pramugari menawarkan beberapa pilihan makanan dalam kemasan yang masih panas di atas nampan. Di kursi 3K, Munir memilih mi goreng. Selesai mi, Yeti kembali memberi tawaran minuman, kali ini lebih banyak pilihan daripada welcome drink. Tapi, Munir kembali memilih jus jeruk.
Setelah mengarungi langit pulau Jawa, Sumatera, dan laut di sekitarnya selama 1 jam 38 menit, pesawat GA 974 mendarat di Bandara Changi, Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Zona waktu Singapura satu jam lebih awal ketimbang WIB. Awak kabin memberi penumpang waktu untuk jalan-jalan atau kegiatan apa saja di Bandara Changi selama 45 menit.
Di bandara ini, Munir kembali bertemu dan mengobrol dengan Polly. Tempat pertemuan dilakukan di Coffee Bean. Pertemuan Munir dengan Polly disaksikan Ongen yang saat itu juga tengah transit saat akan terbang ke Belanda dengan keperluan manggung. Ongen mengaku, melihat Polly membawakan dua gelas minuman.
Setelah mengobrol, Munir kembali naik pesawat melanjutkan perjalanannya ke Belanda. Sedang Polly melanjutkan tugasnya dan bertahan di Singapura. Munir naik pesawat melaui gerbang D 42. Di perjalanan menuju pintu Garuda, dia bertemu dengan dr. Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita. Dokter inilah yang sempat menolong Munir saat sedang kejang di dalam pesawat.
Tak lama setelah pesawat mengangkasa, Munir mulai merasakan pusing pada kepala dan mual pada perutnya. Dia juga sempat meminta obat kepada pramugari dan mengira sakitnya itu karena maagnya kambuh. Dalam hitungan menit, sakitnya semakin parah. Munir menjadi sering ke kamar mandi untuk buang air, bahkan disertai muntah hingga badannya sangat lemas.
Disaat itulah, Munir meminta bantuan dokter yang ditemui saat akan naik pesawat. Setelah diantar pramugari dan bertemu dengan Tarmizi, Munir langsung diperiksa dan diketahui denyut nadinya menjadi sangat lemah. Karena khawatir, tempat duduk Munir dipindah dekat dengan dokter itu agar mudah terpantau.
Dari situ, sebenarnya Tarmizi mulai curiga dengan penyakit Munir dan mengambil inisiatif untuk menyuntiknya dengan obat darurat. Sesaat, suntikan obat itu membuat Munir lebih baik. Tapi tak bertahan lama. Kemudian, sakit perut Munir kambuh kembali. Dia kembali ke kamar mandi untuk buang air dan muntah-muntah.
Sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat, ketika sarapan masih berlangsung dan lampu kabin masih menyala, Munir menghembuskan nafas terakhirnya. Mulutnya mengeluarkan air liur, tapi tidak berbusa, telapak tangannya membiru dan terasa dingin.
Diduga, Munir diracun saat makan dan minum dalam pesawat. Hal itu sesuai dengan karakter racun yang ditemukan dalam tubuh Munir selesai otopsi. Racun itu dapat merusak ginjal, sulit dideteksi, karena tidak memiliki rasa yang khas atau menonjol. Gejala keracunan arsenik adalah sakit di kerongkongan, sukar menelan, menyusul rasa nyeri lambung dan muntah-muntah.
Istri almarhum Munir, Suciwati mengatakan, peran Ongen dalam kasus pembunuhan Munir sangat besar. Berkat kesaksiannya itulah, Polly berhasil di penjara. Meski dalam persidangan pemeriksaan berkas Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan Munir di Pengadilan Negeri (PN), Jakarta Pusat, dengan tersangka Indra Setiawan dan Rohainil Aini, Ongen sempat mencabut keterangannya dalam BAP yang menjadi novum baru bagi PK.
Namun, saat berada di tingkat Mahkamah Agung (MA), Ongen kembali mengakui keterangan awalnya dengan mengatakan Pollycarpus membawa dua cangkir minuman saat bertemu dengan Munir di Coffee Bean, Bandara Changi. Karena keterangannya itulah, Pollycarpus divonis 20 tahun penjara.
Pada 1 Desember 2005, JPU Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menuntut Polly dengan hukuman penjara seumur hidup karena terbukti terlibat dan merencanakan pembunuhan Munir, namun dia divonis hukuman 14 tahun penjara oleh majelis hakim.
Pada 25 Januari 2008, sekira pukul 23.00 WIB, tim dari kejaksaan menjemput Polly di rumahnya. Penjemputan ini merupakan lanjutan dari putusan Mahkamah Agung yang menerima PK dari tim pengacara Munir. Dalam putusan itu, MA memvonis Polly 20 tahun penjara karena terbukti dengan menyakinkan melakukan pembunuhan terhadap Munir.
()