Endang Rahayu, Namru & bisnis Amerika (bagian-4 habis)
A
A
A
Sindonews.com - Dicap sebagai antek Amerika, dituding menjual virus flu burung ke luar negeri, hingga bersahabat dengan pelacur Kramat Tunggak, itulah sosok kontroversi mantan Menteri Kesehatan periode 2009–2014, Endang Rahayu Sedyaningsih.
Wanita yang akrab disapa Enny ini juga dikenal sebagai pekerja keras yang peduli dengan rakyat kecil. Hal itu tampak pada program 100 hari kerja yang dicanangkan olehnya saat menjabat sebagai menteri.
Program kesehatan yang diusung Endang antara lain, pemenuhan hak setiap individu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan program jaminan kesehatan masyarakat, dan peningkatan kesehatan masyarakat melalui percepatan dan pencapaian target tujuan pembangunan milenium (MDGs), seperti mengurangi angka kematian bayi, serta angka kematian ibu melahirkan.
Selain itu, melakukan pencegahan dan penularan menyakit menular akibat bencana, pemerataan dan distribusi tenaga kesehatan di daerah terpencil, kepulauan, perbatasan, serta daerah tertinggal.
Pada hari ke-75 setelah menjabat, Endang mengklaim telah berhasil menjalankan 12 rencana aksi yang menjadi prioritas utamanya. Di antara program yang sudah berjalan adalah memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin dan tidak mampu hingga mencapai 19,1 juta rumah tangga miskin.
Selain itu, Endang juga dinyatakan berhasil membuat terobosan dengan mewajibkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif yang dikuatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP), melarang iklan dan tenaga medis menyebarkan pemberian susu formula, mewajibkan perkantoran untuk membuat ruang menyusui.
Tak hanya itu, Endang juga dinilai berhasil memberikan Jampersal (jaminan persalinan) untuk ibu melahirkan dari keluarga tak mampu agar bisa bersalin gratis dengan imbalan mau ikut KB.
Terkait kasus penyakit flu burung yang sempat mencoret citra dirinya, Endang juga bisa dikatakan berhasil melatih tenaga medis di rumah sakit, bandara maupun pelabuhan. Dia juga yang mewajibkan tiap rumah sakit utama di daerah memiliki ruang isolasi flu Burung.
Perjuangan Endang melawan virus flu burung di Indonesia juga dilanjutkan ke forum internasional. Melalui kedekatannya dengan WHO, Endang berhasil melakukan lobi agar organisasi kesehatan dunia itu menyepakati resolusi virus sharing yang diperjuangkan Indonesia sejak 2007.
Atas usahanya tersebut, Endang dianugrahi penghargaan Sulianti Award atas jasanya dalam melakukan pencegahan penyakit dan manajeman kesehatan. Endang juga pernah menyabet penghargaan sebagai penulis artikel terbaik ke-2 dari Badan Litbangkes tahun 2000, dan presentasi poster terbaik ke-3 pada Conferensi Asia Pasifik ke-3 tentang Perjalanan Kesehatan.
Tak hanya itu, Endang juga dikenal peduli dengan kesehatan buruh. Hal itu dia buktikan dengan mendukung program Badan Pengamanan Jaringan Sosial (BPJS). Sayang, Endang belum bisa menyelesaikan pekerjaannya. Tepat saat peringatan hari pendidikan nasional, pada Rabu 2 Mei 2012 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Endang menghembuskan nafas terakhirnya, karena kanker paru-paru yang dideritanya.
Endang lahir di Jakarta, pada 1 Februari 1955. Dia berhasil menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1979 dan memperoleh gelar Master on Public Health dan Doktor Kesehatan Masyarakat di Harvard University, Amerika Serikat, pada tahun 1992 dan 1997.
Endang menikah dengan dr. MJN Mamahit dan dikaruniai dua orang putra serta satu orang putri yaitu Arinanda Wailan Mamahit (31), Awandha Raspati Mamahit (27), dan Rayinda Raumanen Mamahit (21), serta seorang menantu Sara Ratna Qanti (30).
Endang memulai karirnya sebagai dokter pada tahun 1979, di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta. Dia bergabung pada pelayanan kesehatan masyarakat pada tahun 1980 dan bekerja di daerah terpencil sebagai Kepala Puskesmas Waipare di Nusa Tenggara Timur (NTT) selama tiga tahun.
Pada tahun 1983, dia pindah ke Jakarta dan meneruskan bekerja di Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jakarta. Pada tahun 1997, dia bergabung dengan Badan Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dia bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian Pengendalian dan Pengembangan Program Penyakit, NIHRD untuk lebih dari satu dekade. Selama 6 bulan pada tahun 2001, dia menghabiskan waktunya dengan bekerja pada Kantor Pusat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss.
Dia diangkat sebagai Direktur Pusat Penelitian Biomedis dan Program Pengembangan, National Institute of Health Research and Development (NIHRD), pada tahun 2007. Pada Oktober 2009, dia diangkat sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan bergabung dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. (san)
Wanita yang akrab disapa Enny ini juga dikenal sebagai pekerja keras yang peduli dengan rakyat kecil. Hal itu tampak pada program 100 hari kerja yang dicanangkan olehnya saat menjabat sebagai menteri.
Program kesehatan yang diusung Endang antara lain, pemenuhan hak setiap individu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan program jaminan kesehatan masyarakat, dan peningkatan kesehatan masyarakat melalui percepatan dan pencapaian target tujuan pembangunan milenium (MDGs), seperti mengurangi angka kematian bayi, serta angka kematian ibu melahirkan.
Selain itu, melakukan pencegahan dan penularan menyakit menular akibat bencana, pemerataan dan distribusi tenaga kesehatan di daerah terpencil, kepulauan, perbatasan, serta daerah tertinggal.
Pada hari ke-75 setelah menjabat, Endang mengklaim telah berhasil menjalankan 12 rencana aksi yang menjadi prioritas utamanya. Di antara program yang sudah berjalan adalah memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat miskin dan tidak mampu hingga mencapai 19,1 juta rumah tangga miskin.
Selain itu, Endang juga dinyatakan berhasil membuat terobosan dengan mewajibkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif yang dikuatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP), melarang iklan dan tenaga medis menyebarkan pemberian susu formula, mewajibkan perkantoran untuk membuat ruang menyusui.
Tak hanya itu, Endang juga dinilai berhasil memberikan Jampersal (jaminan persalinan) untuk ibu melahirkan dari keluarga tak mampu agar bisa bersalin gratis dengan imbalan mau ikut KB.
Terkait kasus penyakit flu burung yang sempat mencoret citra dirinya, Endang juga bisa dikatakan berhasil melatih tenaga medis di rumah sakit, bandara maupun pelabuhan. Dia juga yang mewajibkan tiap rumah sakit utama di daerah memiliki ruang isolasi flu Burung.
Perjuangan Endang melawan virus flu burung di Indonesia juga dilanjutkan ke forum internasional. Melalui kedekatannya dengan WHO, Endang berhasil melakukan lobi agar organisasi kesehatan dunia itu menyepakati resolusi virus sharing yang diperjuangkan Indonesia sejak 2007.
Atas usahanya tersebut, Endang dianugrahi penghargaan Sulianti Award atas jasanya dalam melakukan pencegahan penyakit dan manajeman kesehatan. Endang juga pernah menyabet penghargaan sebagai penulis artikel terbaik ke-2 dari Badan Litbangkes tahun 2000, dan presentasi poster terbaik ke-3 pada Conferensi Asia Pasifik ke-3 tentang Perjalanan Kesehatan.
Tak hanya itu, Endang juga dikenal peduli dengan kesehatan buruh. Hal itu dia buktikan dengan mendukung program Badan Pengamanan Jaringan Sosial (BPJS). Sayang, Endang belum bisa menyelesaikan pekerjaannya. Tepat saat peringatan hari pendidikan nasional, pada Rabu 2 Mei 2012 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Endang menghembuskan nafas terakhirnya, karena kanker paru-paru yang dideritanya.
Endang lahir di Jakarta, pada 1 Februari 1955. Dia berhasil menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1979 dan memperoleh gelar Master on Public Health dan Doktor Kesehatan Masyarakat di Harvard University, Amerika Serikat, pada tahun 1992 dan 1997.
Endang menikah dengan dr. MJN Mamahit dan dikaruniai dua orang putra serta satu orang putri yaitu Arinanda Wailan Mamahit (31), Awandha Raspati Mamahit (27), dan Rayinda Raumanen Mamahit (21), serta seorang menantu Sara Ratna Qanti (30).
Endang memulai karirnya sebagai dokter pada tahun 1979, di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta. Dia bergabung pada pelayanan kesehatan masyarakat pada tahun 1980 dan bekerja di daerah terpencil sebagai Kepala Puskesmas Waipare di Nusa Tenggara Timur (NTT) selama tiga tahun.
Pada tahun 1983, dia pindah ke Jakarta dan meneruskan bekerja di Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jakarta. Pada tahun 1997, dia bergabung dengan Badan Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dia bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian Pengendalian dan Pengembangan Program Penyakit, NIHRD untuk lebih dari satu dekade. Selama 6 bulan pada tahun 2001, dia menghabiskan waktunya dengan bekerja pada Kantor Pusat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss.
Dia diangkat sebagai Direktur Pusat Penelitian Biomedis dan Program Pengembangan, National Institute of Health Research and Development (NIHRD), pada tahun 2007. Pada Oktober 2009, dia diangkat sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan bergabung dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. (san)
()