Kabar baik, batas PTKP bakal naik
A
A
A
Sindonews.com - Kabar baik yang berpihak pada masyarakat berpendapatan rendah akhirnya berhembus juga. Dalam waktu dekat pemerintah berencana menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari Rp15,8 juta per tahun menjadi Rp24 juta per tahun.
Hal itu berarti pegawai negeri sipil dan pekerja swasta yang bergaji sekitar Rp2 juta per bulan tidak dikenakan kewajiban membayar pajak penghasilan. Misi dibalik kebijakan tersebut sebagai salah satu upaya mendongkrak daya beli golongan masyarakat berpendapatan rendah. Di level eksekutif kebijakan yang berbau populis itu sudah tidak ada masalah lagi, tinggal menunggu restu dari para wakil rakyat yang bermarkas di Senayan.
Masalahnya, restu dari DPR tentu harus melalui sebuah proses yang panjang sehingga hasrat masyarakat untuk menikmati gaji tanpa potongan pajak secepat mungkin masih sebatas angan-angan. Proses panjang tersebut terkait perubahan Undang-Undang (UU) No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, namun bukan berarti tiada jalan pintas. Niat baik pemerintah itu jangan sampai tertunda. Jalan pintas yang bisa ditempuh, menurut versi Kementerian Keuangan, adalah menerbitkan aturan dalam bentuk peraturan menteri keuangan (PMK) atas persetujuan DPR.
Karena itu,kita berharap regulasi yang memang menyentuh kehidupan masyarakat bawah jangan sampai menjadi komoditas politik lagi yang biasanya berakhir tanpa keputusan. Pengalaman selama ini, seringkali beberapa rumusan kebijakan dari legislatif yang berpihak kepada rakyat kecil justru layu sebelum berkembang di tangan wakil rakyat sendiri. Pengenaan kenaikan batas PTKP menjadi sebesar Rp24 juta per tahun memang akan memangkas potensi penerimaan pajak yang mencapai Rp12 triliun per tahun.
Namun, pemerintah optimistis potensi pajak yang hilang tersebut akan beralih menjadi penerimaan negara dalam bentuk lain. Sebagaimana diungkapkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, uang yang tidak dibayarkan wajib pajak dalam bentuk pajak akan kembali lagi ke negara dalam bentuk pajak yang lain lewat konsumsi dan investasi. Meski kebijakan tersebut masih sebatas rencana, kalangan pengusaha merespons positif.
Bagi CEO Bosowa Grup Erwin Aksa, langkah itu sebuah terobosan yang memberi angin segar terhadap dunia usaha.Menurut mantan ketua umum HIPMI itu, tidak sedikit pengusaha memasukkan unsur kewajiban pajak penghasilan (PPh) dalam struktur gaji karyawan di dalam income pekerja (regular income tax) atau dengan kata lain perusahaan membayarkan PPh karyawan. Suara senada datang dari kalangan pengembang properti.
Mereka menilai kebijakan peningkatan batas pengenaan PTKP bakal berdampak langsung terhadap kemampuan cicilan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mewujudkan rumah impian. Jadi, selintas tidak alasan bagi pemerintah maupun DPR untuk tidak segera mewujudkan kebijakan tersebut. Selain meningkatkan daya beli masyarakat bawah, juga mengurangi beban kalangan pengusaha yang harus menanggung PPh karyawan.
Direktorat Jenderal Pajak tentu saja yang kena getahnya karena harus menutupi potensi pajak yang tak tertagih tersebut. Tetapi, tidak perlu khawatir sebab selama lima tahun terakhir ini seiring pertumbuhan ekonomi telah muncul kelas menengah baru yang diperkirakan bertambah 9 juta orang per tahun.
Berdasarkan versi Bank Dunia, sebanyak 56,5 persen dari total populasi Indonesia masuk kategori kelas menengah. Salah satu indikatornya, kelas menengah itu mengeluarkan uang belanja sebesar USD2 hingga USD20 per hari. Nah, masyarakat kelas menengah baru inilah yang harus menjadi fokus garapan para petugas pajak.(azh)
Hal itu berarti pegawai negeri sipil dan pekerja swasta yang bergaji sekitar Rp2 juta per bulan tidak dikenakan kewajiban membayar pajak penghasilan. Misi dibalik kebijakan tersebut sebagai salah satu upaya mendongkrak daya beli golongan masyarakat berpendapatan rendah. Di level eksekutif kebijakan yang berbau populis itu sudah tidak ada masalah lagi, tinggal menunggu restu dari para wakil rakyat yang bermarkas di Senayan.
Masalahnya, restu dari DPR tentu harus melalui sebuah proses yang panjang sehingga hasrat masyarakat untuk menikmati gaji tanpa potongan pajak secepat mungkin masih sebatas angan-angan. Proses panjang tersebut terkait perubahan Undang-Undang (UU) No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, namun bukan berarti tiada jalan pintas. Niat baik pemerintah itu jangan sampai tertunda. Jalan pintas yang bisa ditempuh, menurut versi Kementerian Keuangan, adalah menerbitkan aturan dalam bentuk peraturan menteri keuangan (PMK) atas persetujuan DPR.
Karena itu,kita berharap regulasi yang memang menyentuh kehidupan masyarakat bawah jangan sampai menjadi komoditas politik lagi yang biasanya berakhir tanpa keputusan. Pengalaman selama ini, seringkali beberapa rumusan kebijakan dari legislatif yang berpihak kepada rakyat kecil justru layu sebelum berkembang di tangan wakil rakyat sendiri. Pengenaan kenaikan batas PTKP menjadi sebesar Rp24 juta per tahun memang akan memangkas potensi penerimaan pajak yang mencapai Rp12 triliun per tahun.
Namun, pemerintah optimistis potensi pajak yang hilang tersebut akan beralih menjadi penerimaan negara dalam bentuk lain. Sebagaimana diungkapkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo, uang yang tidak dibayarkan wajib pajak dalam bentuk pajak akan kembali lagi ke negara dalam bentuk pajak yang lain lewat konsumsi dan investasi. Meski kebijakan tersebut masih sebatas rencana, kalangan pengusaha merespons positif.
Bagi CEO Bosowa Grup Erwin Aksa, langkah itu sebuah terobosan yang memberi angin segar terhadap dunia usaha.Menurut mantan ketua umum HIPMI itu, tidak sedikit pengusaha memasukkan unsur kewajiban pajak penghasilan (PPh) dalam struktur gaji karyawan di dalam income pekerja (regular income tax) atau dengan kata lain perusahaan membayarkan PPh karyawan. Suara senada datang dari kalangan pengembang properti.
Mereka menilai kebijakan peningkatan batas pengenaan PTKP bakal berdampak langsung terhadap kemampuan cicilan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mewujudkan rumah impian. Jadi, selintas tidak alasan bagi pemerintah maupun DPR untuk tidak segera mewujudkan kebijakan tersebut. Selain meningkatkan daya beli masyarakat bawah, juga mengurangi beban kalangan pengusaha yang harus menanggung PPh karyawan.
Direktorat Jenderal Pajak tentu saja yang kena getahnya karena harus menutupi potensi pajak yang tak tertagih tersebut. Tetapi, tidak perlu khawatir sebab selama lima tahun terakhir ini seiring pertumbuhan ekonomi telah muncul kelas menengah baru yang diperkirakan bertambah 9 juta orang per tahun.
Berdasarkan versi Bank Dunia, sebanyak 56,5 persen dari total populasi Indonesia masuk kategori kelas menengah. Salah satu indikatornya, kelas menengah itu mengeluarkan uang belanja sebesar USD2 hingga USD20 per hari. Nah, masyarakat kelas menengah baru inilah yang harus menjadi fokus garapan para petugas pajak.(azh)
()