Kursi tak jelas picu manipulasi suara

Jum'at, 27 April 2012 - 09:14 WIB
Kursi tak jelas picu...
Kursi tak jelas picu manipulasi suara
A A A
Sindonews.com - Potensi penggelembungan suara pada pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 sangat besar. Potensi tersebut dipicu oleh ketidaksempurnaan pembagian alokasi kursi DPR di daerah.

Konsultan Matematika Pemilu dari Kemitraan August Mellaz mengatakan, selain alokasi kursi, penggelembungan suara juga rawan terjadi pada pengumpulan data penduduk yang digunakan sebagai dasar dalam pembentukan daerah pemilihan (dapil).

“Dari pengalaman sebelumnya di Pileg 2009, ada kecenderungan alokasi jumlah kursi lebih besar dibandingkan data sensus kependudukan yang berlaku. Dengan demikian, manipulasi perolehan suara rentan terjadi,” kata dia kepada wartawan di Jakarta kemarin.

Dia menjelaskan, ketidakjelasan acuan data pembentukan dapil ini mengakibatkan beberapa provinsi mendapat kursi perwakilan lebih dari seharusnya (over representation) misalnya Sulawesi Selatan, Sumatera Barat,dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Selain permasalahan alokasi jumlah kursi, dia mengutarakan, potensi penggelembungan suara juga timbul akibat utak-atik daerah wilayah yang tidak utuh, namun dipaksakan sebagai satu kesatuan demi menggalang suara bagi calon tertentu.

“Contohnya daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat III yang terdiri atas Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur. Padahal Kota Bogor jelas-jelas dikelilingi oleh Kabupaten Bogor dan tidak ada kesatuan secara geografis dengan Kabupaten Cianjur,” tandasnya.

Dengan situasi demikian, August menyebutkan, proses kampanye akan susah ditempuh. Sambil menyindir dia mengatakan, jika ada kampanye dari Kota Bogor ke Kabupaten Cianjur, caleg mungkin harus naik helikopter.

Perjalanan dari Kota Bogor ke Kabupaten Cianjur harus melewati Kabupaten Bogor. Mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU Pemilu DPR Arif Wibowo mengemukakan, pertanyaan berbagai pihak mengenai idealisasi pembentukan dapil sebenarnya merupakan perdebatan lama.

Namun, hingga kapan pun hal tersebut susah direalisasikan. Jika penghitungan kursi mengacu pada idealisasi pembentukan dapil sesuai geografis wilayah, harga kursi DPR harus direviu kembali.

Harga kursi akan disproporsional antara dapil dan provinsi. Jika direviu kembali, justru akan sulit pasalnya pembagian kursi DPR nasional tidak akan merata. “Kalau idealisasi itu yang dipakai, 60 persen kursi nanti ada di Pulau Jawa karena pemilih mayoritas ada di Pulau Jawa. Itu akan merugikan caleg di daerah lain di luar Pulau Jawa. Sementara saat ini harga kursi tertinggi ada di Kepulauan Riau,” imbuhnya.

Mantan Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu DPR Arwani Thomafi berpendapat, penggelembungan dan manipulasi suara pada penyelenggaraan pemilu tidak berangkat dari pembagian dapil yang tidak ideal.

Itu tidak ada korelasinya dengan penggelembungan sura. Hal ini, dia melanjutkan, terlebih bisa muncul jika kinerja dari penyelenggara pemilu tidak optimal. Karena itu, pihaknya tetap akan mengawasi beberapa hal penting terkait administrasi pemilu melalui data pemilih.

“Jadi validitasnya data pemilih ini yang harus dioptimalkan. Selain itu, persoalan manipulasi suara ini juga kembali ke moralitas caleg. Jika caleg yang bersangkutan berpikiran positif untuk memajukan pemilu, tidak akan ada upaya untuk memanipulasi suara,” ungkap dia.

Sementara itu, anggota Komisi II DPR Abdul Malik Haramain mengatakan, tidak diakomodasinya aturan mengenai pembatasan dana kampanye bisa berdampak pada menghalalkan berbagai cara untuk menang pileg.

Pihaknya menyatakan kecewa klausul tersebut tidak dicantumkan dalam UU Pemilu. “Saya agak kecewa tidak ditentukannya pembatasan dana kampanye caleg. Hal ini akan mengakibatkan liberalisasi politik. Caleg juga akan melakukan segala cara untuk duduk di parlemen,” tandas dia.(lin)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0571 seconds (0.1#10.140)