KPU disarankan gunakan data sensus
A
A
A
Sindonews.com - Aturan penyusunan daerah pemilihan (dapil) DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/ kota yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Pemilu dinilai akan menimbulkan persoalan ke depannya.
Dalam UU Pemilu disebutkan bahwa penyusunan dapil menggunakan Data Agregat Kependudukan (DAK-2), yang akan disediakan pemerintah selambat-lambatnya 16 bulan sebelum hari H pemilu.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, ketersediaan DAK-2 yang dibatasi paling lambat 16 bulan sebelum hari H pemilu justru bisa menyulitkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), partai politik (parpol), calon, sekaligus pemilih.
Menurut Titi, idealnya dapil untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sudah tersedia dua tahun atau 24 bulan sebelum hari H pemilu.
“Pembentukan dapil yang lebih awal itu akan memudahkan partai politik dalam mengajukan calon dan memudahkan pemilih dan calon untuk saling mengenal,” ungkap Titi kepada SINDO kemarin.
Menurut Titi, dalam sistem pemilu proporsional terbuka atau suara terbanyak, mengharuskan adanya hubungan dekat antara pemilih dan calon terpilihnya.
Hal itu bertujuan agar pemilih tidak salah memilih atau calon tidak salah mengenalkan diri kepada pemilih.
“Waktu yang mepet (16 bulan sebelum hari H pemilu) membuat KPU tergesa-gesa dalam membentuk dapil, sehingga hasil pembentukan dapil baru tidak berkualitas,” paparnya.
Padahal, lanjut Titi, selain banyak daerah pemekaran, pembentukan dapil untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/ kota mutlak dilakukan. Jika berkaca pada Pemilu 2009, banyak dapil DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang memiliki lebih dari 12 kursi.
“Itu adalah akibat dari ketentuan kabupaten/kota dan kecamatan tidak bisa dipecah,” ungkapnya.
Menurut Titi, penggunaan DAK-2 sebagai basis data pembentukan dapil DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota bisa menimbulkan kesalahan dalam pembentukan dapil.
Pasalnya, DAK-2 disusun pemerintah berdasarkan laporan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota. Padahal, akurasi data dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota selama ini diragukan, baik karena metode yang tidak tepat dalam mendata penduduk, maupun motif kesengajaan mengubah jumlah penduduk.
Motif mengubah jumlah penduduk ini sangat mungkin dilakukan. Jika jumlah penduduk semakin besar maka akan semakin banyak jumlah kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
“Akibatnya, sangat mungkin DAK-2 digelembungkan oleh setiap pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,” tandasnya.
Konsultan Matematika Pemilu Kemitraan August Mellaz mengungkapkan, masalah-masalah yang akan ditimbulkan apabila pembentukan dapil DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota menggunakan DAK-2 adalah kepastian tenggat waktu atas data, akurasi data,juga tidak adanya panduan atau tata cara alokasi kursi dan pembentukan dapil yang diatur oleh UU.
Menurut August, persoalan krusial tersebut tidak akan terjadi jika DPR dan pemerintah mau menggunakan data Sensus Penduduk 2010 sebagai dasar untuk mengalokasikan dan membentuk dapil. Menurut dia, data sensus penduduk lebih netral dan lebih kredibel.(lin)
Dalam UU Pemilu disebutkan bahwa penyusunan dapil menggunakan Data Agregat Kependudukan (DAK-2), yang akan disediakan pemerintah selambat-lambatnya 16 bulan sebelum hari H pemilu.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, ketersediaan DAK-2 yang dibatasi paling lambat 16 bulan sebelum hari H pemilu justru bisa menyulitkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), partai politik (parpol), calon, sekaligus pemilih.
Menurut Titi, idealnya dapil untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sudah tersedia dua tahun atau 24 bulan sebelum hari H pemilu.
“Pembentukan dapil yang lebih awal itu akan memudahkan partai politik dalam mengajukan calon dan memudahkan pemilih dan calon untuk saling mengenal,” ungkap Titi kepada SINDO kemarin.
Menurut Titi, dalam sistem pemilu proporsional terbuka atau suara terbanyak, mengharuskan adanya hubungan dekat antara pemilih dan calon terpilihnya.
Hal itu bertujuan agar pemilih tidak salah memilih atau calon tidak salah mengenalkan diri kepada pemilih.
“Waktu yang mepet (16 bulan sebelum hari H pemilu) membuat KPU tergesa-gesa dalam membentuk dapil, sehingga hasil pembentukan dapil baru tidak berkualitas,” paparnya.
Padahal, lanjut Titi, selain banyak daerah pemekaran, pembentukan dapil untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/ kota mutlak dilakukan. Jika berkaca pada Pemilu 2009, banyak dapil DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang memiliki lebih dari 12 kursi.
“Itu adalah akibat dari ketentuan kabupaten/kota dan kecamatan tidak bisa dipecah,” ungkapnya.
Menurut Titi, penggunaan DAK-2 sebagai basis data pembentukan dapil DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota bisa menimbulkan kesalahan dalam pembentukan dapil.
Pasalnya, DAK-2 disusun pemerintah berdasarkan laporan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota. Padahal, akurasi data dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota selama ini diragukan, baik karena metode yang tidak tepat dalam mendata penduduk, maupun motif kesengajaan mengubah jumlah penduduk.
Motif mengubah jumlah penduduk ini sangat mungkin dilakukan. Jika jumlah penduduk semakin besar maka akan semakin banyak jumlah kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
“Akibatnya, sangat mungkin DAK-2 digelembungkan oleh setiap pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,” tandasnya.
Konsultan Matematika Pemilu Kemitraan August Mellaz mengungkapkan, masalah-masalah yang akan ditimbulkan apabila pembentukan dapil DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota menggunakan DAK-2 adalah kepastian tenggat waktu atas data, akurasi data,juga tidak adanya panduan atau tata cara alokasi kursi dan pembentukan dapil yang diatur oleh UU.
Menurut August, persoalan krusial tersebut tidak akan terjadi jika DPR dan pemerintah mau menggunakan data Sensus Penduduk 2010 sebagai dasar untuk mengalokasikan dan membentuk dapil. Menurut dia, data sensus penduduk lebih netral dan lebih kredibel.(lin)
()