Penetapan kursi DPR tak berdasar
A
A
A
Sindonews.com - Penetapan alokasi kursi untuk DPR di 33 provinsi pada Pemilu 2014 seperti yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Pemilu dinilai tidak berdasar.
Pasalnya, tidak ada data kuat untuk mendukung penetapan alokasi kursi tersebut. Konsultan Matematika Pemilu dari Kemitraan August Mellaz mengatakan, penetapan alokasi kursi DPR seharusnya mengacu pada sumber data penduduk, metode penetapan alokasi kursi DPR di tiap daerah.
Namun, kedua sumber data itu belumlah ada. Tetapi dalam UU Pemilu yang baru saja disahkan DPR, sudah diatur mengenai alokasi kursi DPR. “Saya pikir alokasi kursi DPR dalam UU Pemilu itu siluman. Tidak ada sumber data kependudukan yang dipakai. Rincian alokasi kursi dari total 560 kursi DPR untuk Pemilu 2014 hanya mengambil lampiran UU Pemilu lama, yakni UU No10/ 2008,” ungkap August di Jakarta kemarin.
August mengatakan, jika mengacu pada hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir pada 2010, ada perbedaan jumlah alokasi kursi yang ditetapkan DPR. Contohnya, alokasi kursi yang ditetapkan DPR untuk Provinsi Jawa Barat hanya 91 kursi.
Padahal jika mengacu sensus 2010, seharusnya 101 kursi. Selain itu, alokasi kursi untuk Provinsi Banten hanya 22 kursi berdasarkan penetapan DPR. Seharusnya jika mengacu pada sensus terbaru, Banten memiliki jatah 25 kursi.
Kemudian untuk alokasi kursi Sumatera Barat yang ditetapkan sebanyak 14 kursi. Padahal, seharusnya berdasarkan sensus hanya 11 kursi. “Perbedaan juga terjadi di provinsi lainnya. Ini harus diperjelas. Berbagai perubahan alokasi kursi di berbagai provinsi sudah banyak terjadi. UU Pemilu sekarang tidak mengakomodasi perubahan-perubahan tersebut. Ini harus dicermati secara serius,” tandasnya.
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto mengungkapkan, penetapan alokasi kursi DPR telah melanggar prinsip kesetaraan suara. Bahkan, dia menilai hal ini telah melanggar UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi, warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Selain alokasi kursi DPR, Didik juga menilai penetapan alokasi kursi untuk DPRD tingkat provinsi dan DPRD tingkat kabupaten/ kota berpotensi bermasalah. Pasalnya, penetapan alokasi kursi DPRD di tiap daerah memakai data agregat kependudukan per kecamatan (DAK2).
Dalam UU Pemilu, ungkapnya, data DAK2 itu harus sudah diberikan pemerintah kepada KPU paling lambat 16 bulan sebelum pemungutan suara. Masalah akan muncul jika pemerintah tidak mampu menyerahkan data itu sesuai jadwal.
Selain itu, Didik menduga ada manipulasi data di daerah tertentu dengan menggelembungkan jumlah penduduk. Hal Itu dilakukan untuk penambahan kursi, sebab semakin banyak penduduk maka semakin banyak pula jatah kursi yang didapatkan.(lin)
Pasalnya, tidak ada data kuat untuk mendukung penetapan alokasi kursi tersebut. Konsultan Matematika Pemilu dari Kemitraan August Mellaz mengatakan, penetapan alokasi kursi DPR seharusnya mengacu pada sumber data penduduk, metode penetapan alokasi kursi DPR di tiap daerah.
Namun, kedua sumber data itu belumlah ada. Tetapi dalam UU Pemilu yang baru saja disahkan DPR, sudah diatur mengenai alokasi kursi DPR. “Saya pikir alokasi kursi DPR dalam UU Pemilu itu siluman. Tidak ada sumber data kependudukan yang dipakai. Rincian alokasi kursi dari total 560 kursi DPR untuk Pemilu 2014 hanya mengambil lampiran UU Pemilu lama, yakni UU No10/ 2008,” ungkap August di Jakarta kemarin.
August mengatakan, jika mengacu pada hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir pada 2010, ada perbedaan jumlah alokasi kursi yang ditetapkan DPR. Contohnya, alokasi kursi yang ditetapkan DPR untuk Provinsi Jawa Barat hanya 91 kursi.
Padahal jika mengacu sensus 2010, seharusnya 101 kursi. Selain itu, alokasi kursi untuk Provinsi Banten hanya 22 kursi berdasarkan penetapan DPR. Seharusnya jika mengacu pada sensus terbaru, Banten memiliki jatah 25 kursi.
Kemudian untuk alokasi kursi Sumatera Barat yang ditetapkan sebanyak 14 kursi. Padahal, seharusnya berdasarkan sensus hanya 11 kursi. “Perbedaan juga terjadi di provinsi lainnya. Ini harus diperjelas. Berbagai perubahan alokasi kursi di berbagai provinsi sudah banyak terjadi. UU Pemilu sekarang tidak mengakomodasi perubahan-perubahan tersebut. Ini harus dicermati secara serius,” tandasnya.
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto mengungkapkan, penetapan alokasi kursi DPR telah melanggar prinsip kesetaraan suara. Bahkan, dia menilai hal ini telah melanggar UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi, warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Selain alokasi kursi DPR, Didik juga menilai penetapan alokasi kursi untuk DPRD tingkat provinsi dan DPRD tingkat kabupaten/ kota berpotensi bermasalah. Pasalnya, penetapan alokasi kursi DPRD di tiap daerah memakai data agregat kependudukan per kecamatan (DAK2).
Dalam UU Pemilu, ungkapnya, data DAK2 itu harus sudah diberikan pemerintah kepada KPU paling lambat 16 bulan sebelum pemungutan suara. Masalah akan muncul jika pemerintah tidak mampu menyerahkan data itu sesuai jadwal.
Selain itu, Didik menduga ada manipulasi data di daerah tertentu dengan menggelembungkan jumlah penduduk. Hal Itu dilakukan untuk penambahan kursi, sebab semakin banyak penduduk maka semakin banyak pula jatah kursi yang didapatkan.(lin)
()