Pilkada diusulkan hanya satu putaran
A
A
A
Sindonews.com - Mayoritas partai politik (parpol) di parlemen mengusulkan agar sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) ke depan diubah. Mereka meminta agar pilkada dua putaran dihapus dan hanya digelar satu putaran.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain mengatakan, pilkada gubernur, wali kota, maupun bupati sebaiknya diadakan satu putaran. Berkaca pada pilkada sebelumnya, mayoritas pemenang pada putaran pertama juga menang pada putaran kedua. Karena itu, pilkada putaran kedua dinilai sebagai tindakan yang sia-sia dan tidak efisien.
"Kenapa efisien, menurut kajian kita (PKB), dapat menghemat 30–40% dana jika pilkada hanya satu putaran dibandingkan dengan dua putaran. Itu usulan kami dalam RUU Pilkada," tandas Malik saat dihubungi, kemarin.
Menurut dia, RUU Pilkada belum dibahas Komisi II DPR. Namun,draf dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah diterima Komisi II DPR. Pada Mei 2012 DPR akan membentuk panitia kerja (panja). Setelah itu masuk dalam tahap pembahasan. Malik menjelaskan, selain mengurangi anggaran, pilkada satu putaran juga untuk mengantisipasi kejenuhan masyarakat.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengatakan, gagasan agar RUU Pilkada mengatur pelaksanaan pilkada dalam satu putaran memang cukup logis. Aturan ini bisa menekan dampak negatif pelaksanaan pilkada langsung selama ini.
"Dalam pembahasan RUU Pilkada, memang akan mengarah pada penyederhanaan sistem dan efisiensi pilkada. Adapun penegasan agar pilkada dilakukan satu putaran saja termasuk salah satu solusi yang bisa dimatangkan," ungkap Hakam.
Menurut dia,usulan agar pilkada satu putaran berpijak pada alasan logis bahwa pilkada yang berlangsung dua putaran terlalu mahal. Baik dari sisi ongkos penyelenggaraan dan biaya politik maupun dari sisi waktu kepastian kepemimpinan di daerah seperti selama ini.
Apalagi, ujarnya, banyak pilkada yang harus berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga memakan waktu lama. Berpijak dari pengalaman tersebut, RUU Pilkada memang diwajibkan memberi solusi agar pilkada tidak lagi mahal, rakyat tidak jenuh, serta bisa melahirkan pejabat yang baik dan tidak korup.
Meski demikian, Hakam mengatakan bahwa pilkada satu putaran hanyalah satu alternatif yang akan ditawarkan. Solusi lain yang juga bisa ditawarkan adalah penurunan persentase suara untuk mendapat pemenang pilkada. Selama ini aturan yang ditetapkan adalah 30% plus satu bagi pilkada gubernur, bupati, dan wali kota.Hanya di DKI Jakarta yang mengatur bahwa pemenang harus mendapatkan suara 50% plus satu.
"Jadi, bisa saja nanti diatur soal penurunan persentase dukungan untuk menjadi pemenang. Apakah misalnya cukup 25% plus satu atau berapa. Ini juga memberi ruang agar pilkada tidak terjadi dua putaran," paparnya.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arif Wibowo mengatakan, semangat menggelar pilkada yang sederhana dan efisien memang harus didukung.Namun, dia tidak menjamin bahwa upaya efektivitas dan efisiensi itu bisa dilakukan cukup dengan mengatur pilkada harus selesai satu putaran.
"Dari sisi legitimasi tentu penegasan soal ini bisa lemah. Misalnya, kalau ada enam sampai tujuh calon, bisa saja pemenangnya tidak sampai meraih 20% suara. Apakah seperti ini bisa dinyatakan menang karena dari sisi legitimasi lemah. Ini harus dihitung juga," ucap Arif.
Menurut dia, aturan pilkada cukup satu putaran bisa saja dipolitisasi dengan mengusung calon-calon yang hanya iseng dan ingin memecah suara lawan. Hal ini sudah tentu mengurangi makna pilkada untuk menjaring calon yang serius ingin mengabdi menjadi kepala daerah.
"Tapi, bukan berarti saya tidak sepakat dengan usulan pilkada satu putaran. Hanya perlu pemikiran lebih dalam apakah ini layak atau tidak sebab ada juga usulan lebih dramatis, yakni membawa pilkada cukup dipilih DPRD. Ini kan wacana yang perlu solusi- solusi," ungkapnya.
Arif menuturkan, draf RUU Pilkada saat ini sudah ada di Komisi II DPR.Pembahasannya akan dilakukan setelah masa sidang pertama tahun ini selesai. Sejauh ini draf RUU Pilkada masih dibicarakan dalam rapat dengar pendapat (RDP) maupun penyerapan masukan-masukan dari berbagai kalangan.
"RUU Pilkada ini merupakan pecahan dari revisi UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pembahasannya mungkin akan sepaket dengan RUU Desa dan RUU Pemda," paparnya. (san)
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain mengatakan, pilkada gubernur, wali kota, maupun bupati sebaiknya diadakan satu putaran. Berkaca pada pilkada sebelumnya, mayoritas pemenang pada putaran pertama juga menang pada putaran kedua. Karena itu, pilkada putaran kedua dinilai sebagai tindakan yang sia-sia dan tidak efisien.
"Kenapa efisien, menurut kajian kita (PKB), dapat menghemat 30–40% dana jika pilkada hanya satu putaran dibandingkan dengan dua putaran. Itu usulan kami dalam RUU Pilkada," tandas Malik saat dihubungi, kemarin.
Menurut dia, RUU Pilkada belum dibahas Komisi II DPR. Namun,draf dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah diterima Komisi II DPR. Pada Mei 2012 DPR akan membentuk panitia kerja (panja). Setelah itu masuk dalam tahap pembahasan. Malik menjelaskan, selain mengurangi anggaran, pilkada satu putaran juga untuk mengantisipasi kejenuhan masyarakat.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengatakan, gagasan agar RUU Pilkada mengatur pelaksanaan pilkada dalam satu putaran memang cukup logis. Aturan ini bisa menekan dampak negatif pelaksanaan pilkada langsung selama ini.
"Dalam pembahasan RUU Pilkada, memang akan mengarah pada penyederhanaan sistem dan efisiensi pilkada. Adapun penegasan agar pilkada dilakukan satu putaran saja termasuk salah satu solusi yang bisa dimatangkan," ungkap Hakam.
Menurut dia,usulan agar pilkada satu putaran berpijak pada alasan logis bahwa pilkada yang berlangsung dua putaran terlalu mahal. Baik dari sisi ongkos penyelenggaraan dan biaya politik maupun dari sisi waktu kepastian kepemimpinan di daerah seperti selama ini.
Apalagi, ujarnya, banyak pilkada yang harus berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga memakan waktu lama. Berpijak dari pengalaman tersebut, RUU Pilkada memang diwajibkan memberi solusi agar pilkada tidak lagi mahal, rakyat tidak jenuh, serta bisa melahirkan pejabat yang baik dan tidak korup.
Meski demikian, Hakam mengatakan bahwa pilkada satu putaran hanyalah satu alternatif yang akan ditawarkan. Solusi lain yang juga bisa ditawarkan adalah penurunan persentase suara untuk mendapat pemenang pilkada. Selama ini aturan yang ditetapkan adalah 30% plus satu bagi pilkada gubernur, bupati, dan wali kota.Hanya di DKI Jakarta yang mengatur bahwa pemenang harus mendapatkan suara 50% plus satu.
"Jadi, bisa saja nanti diatur soal penurunan persentase dukungan untuk menjadi pemenang. Apakah misalnya cukup 25% plus satu atau berapa. Ini juga memberi ruang agar pilkada tidak terjadi dua putaran," paparnya.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arif Wibowo mengatakan, semangat menggelar pilkada yang sederhana dan efisien memang harus didukung.Namun, dia tidak menjamin bahwa upaya efektivitas dan efisiensi itu bisa dilakukan cukup dengan mengatur pilkada harus selesai satu putaran.
"Dari sisi legitimasi tentu penegasan soal ini bisa lemah. Misalnya, kalau ada enam sampai tujuh calon, bisa saja pemenangnya tidak sampai meraih 20% suara. Apakah seperti ini bisa dinyatakan menang karena dari sisi legitimasi lemah. Ini harus dihitung juga," ucap Arif.
Menurut dia, aturan pilkada cukup satu putaran bisa saja dipolitisasi dengan mengusung calon-calon yang hanya iseng dan ingin memecah suara lawan. Hal ini sudah tentu mengurangi makna pilkada untuk menjaring calon yang serius ingin mengabdi menjadi kepala daerah.
"Tapi, bukan berarti saya tidak sepakat dengan usulan pilkada satu putaran. Hanya perlu pemikiran lebih dalam apakah ini layak atau tidak sebab ada juga usulan lebih dramatis, yakni membawa pilkada cukup dipilih DPRD. Ini kan wacana yang perlu solusi- solusi," ungkapnya.
Arif menuturkan, draf RUU Pilkada saat ini sudah ada di Komisi II DPR.Pembahasannya akan dilakukan setelah masa sidang pertama tahun ini selesai. Sejauh ini draf RUU Pilkada masih dibicarakan dalam rapat dengar pendapat (RDP) maupun penyerapan masukan-masukan dari berbagai kalangan.
"RUU Pilkada ini merupakan pecahan dari revisi UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pembahasannya mungkin akan sepaket dengan RUU Desa dan RUU Pemda," paparnya. (san)
()