Program legislasi DPR terus dapat catatan buruk
A
A
A
Sindonews.com – Sepanjang 2011, DPR tercatat sering menerbitkan regulasi yang justru memperkuat kewenangannya sendiri. Di sisi lain, target penyelesaian pembahasan undang-undang (UU) yang dipatok setiap tahun tidak pernah tercapai.
Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursamsi mengatakan, UU yang dianggap banyak memperkuat kewenangan DPR antara lain revisi UU No 8/2011 tentang Perubahan atas UU No 23/2004 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka memasukkan unsur legislatif sebagai salah satu anggota Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Anggota DPR juga menambahkan jumlah calon komisioner Komisi Yudisial (KY) dari dua orang menjadi tiga orang agar lebih leluasa memilih.
Contoh lain adalah UU tentang Penyelenggara Pemilu yang membolehkan mantan anggota parpol mendaftar menjadi anggota KPU tanpa jeda waktu pengunduran diri. “Jadi secara kualitas maupun kuantitas, produk legislasi harus diteliti,” ujar Fajri di Jakarta kemarin.
Pada 2011, lanjut dia, DPR hanya menghasilkan 24 UU atau 26 persen dari target 93 UU. Tahun-tahun sebelumnya juga sama, target tidak pernah tercapai 100 persen.
Menurut Fajri, persoalan ini sebenarnya sudah teridentifikasi sejak lama. Proses pembahasan RUU yang lambat disebabkan perencanaan dalam Program Legislasi Nasional yang tidak matang.
Faktor lain adanya permasalahan teknis dalam proses pembahasan maupun persiapan RUU dan sering terjadinya perdebatan yang tidak substantif. Prolegnas saat ini lebih tepat dimaknai sebagai daftar harapan dibandingkan menjadi instrumen perencanaan legislasi pada tahun tertentu.
Anggota Komisi II DPR Ganjar Pranowo mengatakan, program legislasi merupakan salah satu fungsi terberat. Kualitas para anggota DPR memang tidak seragam sehingga sulit untuk melakukan pembahasan secara cepat, karena pada dasarnya DPR merupakan lembaga representasi, bukan perwakilan lembaga profesional.
“Dalam melaksanakan program legislasi, DPR dihadapkan pada problem politik yaitu sulit untuk mencapai konsensus,”akunya.(lin)
Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursamsi mengatakan, UU yang dianggap banyak memperkuat kewenangan DPR antara lain revisi UU No 8/2011 tentang Perubahan atas UU No 23/2004 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka memasukkan unsur legislatif sebagai salah satu anggota Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Anggota DPR juga menambahkan jumlah calon komisioner Komisi Yudisial (KY) dari dua orang menjadi tiga orang agar lebih leluasa memilih.
Contoh lain adalah UU tentang Penyelenggara Pemilu yang membolehkan mantan anggota parpol mendaftar menjadi anggota KPU tanpa jeda waktu pengunduran diri. “Jadi secara kualitas maupun kuantitas, produk legislasi harus diteliti,” ujar Fajri di Jakarta kemarin.
Pada 2011, lanjut dia, DPR hanya menghasilkan 24 UU atau 26 persen dari target 93 UU. Tahun-tahun sebelumnya juga sama, target tidak pernah tercapai 100 persen.
Menurut Fajri, persoalan ini sebenarnya sudah teridentifikasi sejak lama. Proses pembahasan RUU yang lambat disebabkan perencanaan dalam Program Legislasi Nasional yang tidak matang.
Faktor lain adanya permasalahan teknis dalam proses pembahasan maupun persiapan RUU dan sering terjadinya perdebatan yang tidak substantif. Prolegnas saat ini lebih tepat dimaknai sebagai daftar harapan dibandingkan menjadi instrumen perencanaan legislasi pada tahun tertentu.
Anggota Komisi II DPR Ganjar Pranowo mengatakan, program legislasi merupakan salah satu fungsi terberat. Kualitas para anggota DPR memang tidak seragam sehingga sulit untuk melakukan pembahasan secara cepat, karena pada dasarnya DPR merupakan lembaga representasi, bukan perwakilan lembaga profesional.
“Dalam melaksanakan program legislasi, DPR dihadapkan pada problem politik yaitu sulit untuk mencapai konsensus,”akunya.(lin)
()