Pengadaan alutsista, keterlibatan agen senjata sulit dihindarkan

Senin, 19 Maret 2012 - 09:17 WIB
Pengadaan alutsista,...
Pengadaan alutsista, keterlibatan agen senjata sulit dihindarkan
A A A
Sindonews.com - Pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) sulit dilepaskan dari keterlibatan agen. Hal ini membuat harga menjadi lebih mahal, apalagi jika pembiayaan memakai kredit ekspor.

Pengamat militer Universitas Indonesia Andi Widjajanto mengatakan, pelibatan pihak ketiga berupa perusahaan privat untuk impor alutsista dari Eropa Barat dan Amerika Serikat sangat sulit dihindarkan.

Biasanya pemerintah di sana, bahkan China, sudah menunjuk perusahaan di negerinya untuk mengendalikan seluruh proses ekspor senjata. Dia mencontohkan, untuk Rusia dipegang Rosoboronexport, sedangkan AS pelibatannya melalui tender.

“Broker dalam arti agen orang perorang itu yang berusaha dihilangkan. Kalau perusahaan privat, cenderung sulit dihindarkan,” ungkap Andi di Jakarta kemarin.

Karena itu, menurut dia, mau tidak mau minimal ada pelibatan pihak ketiga swasta dari negara pengekspor alutsista. “Normalnya, pihak ketiga itu juga cenderung akan meminta pemerintah Indonesia menunjuk perusahaan lain supaya mereka kemudian bisa B to B. Mereka menginginkan ini kontrak privat, bukan kontrak dengan negara,” paparnya.

Kondisi ini, ungkap Andi, makin sulit dihindari karena selain China, industri-industri pertahanan itu sudah milik swasta. Seperti di Rusia yang sudah diprivatisasi dan di AS justru sudah dari dulu dimiliki swasta.

Andi mengatakan, dengan melibatkan pihak ketiga, maka akan ada fee yang harus dibayarkan. Di Eropa, standar fee mencapai 3persen dari total nilai kontrak. Namun jika pembiayaan lewat kredit ekspor, ada fee lain yang harus dibayarkan, seperti administrasi dan asuransi.

“Kalau dibacakan aturan kredit ekspor dari negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development/ semacam Kadin di Eropa), itu sudah didetailkan. Fee untuk agen berapa, administrasi berapa, asuransi berapa, macam-macam. Ini belum termasuk bunga bank yang melakukan pembiayaan,” ungkapnya.

Sebelum OECD menyetujui kredit ekspor, lanjutnya, maka ada beberapa formulir yang diminta, termasuk persyaratan transparansi fee. Dengan demikian, di negara pengekspor transparansi tetap ada.

Aturan ini, menurut Andi, bersifat mengikat di negara-negara Eropa.“Yang jelas, government officer tidak mendapatkan apa-apa. Itu fee-nya betul-betul untuk perusahaan yang ditunjuk. Perusahaan itu macam-macam,” paparnya.

Dalam rencana pembelian enam unit Sukhoi oleh pemerintah Indonesia, Andi menilai seharusnya pembiayaan memakai kredit negara dari Pemerintah Federasi Rusia untuk Indonesia. Bukan lewat kredit ekspor, karena suku bunga kredit ekspor paling tinggi.

“Lebih tinggi sekitar 1,2 persen hingga lebih dari 2 persen dibandingkan suku bunga yang ditetapkan oleh pasar keuangan di London,” ungkapnya.

Namun, menurut Andi, nampaknya pemerintah kesulitan untuk mengelola kredit negara dari Rusia. “Pemerintah lebih akrab dengan kredit ekspor yang mekanismenya memakai standar global. Nah, kalau kredit ekspor maka yang harus mengamankan itu Menkeu, BI, Bappenas. Tidak melibatkan Kemhan dan TNI,” ujar Andi.

Dia mengatakan, kredit negara dari Rusia mirip dengan foregn military financing dari AS.
Prinsip dari pembiayaan ini adalah sebagian besar uang balik ke negeri pemberi pinjaman, sehingga akan memunculkan paksaan tertentu.

Misalnya ada tim Rusia berkunjung ke Indonesia untuk menginspeksi Sukhoi yang kita beli, maka aturannya akan dibuat sedemikian rupa sehingga biaya yang pemerintah keluarkan betul-betul kembali ke Rusia. “Contohnya, pesawat untuk mengangkut diupayakan itu dari National Carrier Rusia. Kesulitan-kesulitan itu ada di kredit negara,” paparnya.

Sedangkan jika lewat kredit ekspor, relatif tidak ada kesulitan, sebab pada dasarnya itu merupakan commercial loan yang mengikuti aturan pasar. Hanya, kelemahan kredit ekspor, selain suku bunga tinggi, rentang waktu pembayaran yang harus segera, baik pokok maupun bunga.

Tidak bisa seperti pinjaman lunak. Menurut aturan OECD, tambah Andi, sebenarnya kredit ekspor itu harus diarahkan untuk mendukung sektor-sektor produktif.

Misalnya pembangunan jalan tol dan infrastruktur listrik. Jadi, bisa langsung dilihat pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi nasional. “Biasanya, mereka tidak menyediakan kredit ekspor untuk persenjataan,” tandasnya.

Hingga 2014, menurut Andi, yang dianggarkan kredit ekspor untuk alutsista sebesar USD10,34 miliar. Keputusan pemakaiannya ada di pihak Kementerian Keuangan dan Bappenas.

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menuturkan, Kementerian Pertahanan harus menjelaskan secara detail terkait penggunaan anggaran USD470 juta dalam pengadaan Sukhoi SU 30 MK2. Sejauh ini, klarifikasi hanya sebatas garis besarnya saja, di antaranya untuk enam unit Sukhoi, 12 mesin, dan pelatihan 10 pilot.

Dia memperkirakan masih ada sisa dari anggaran itu sekitar USD56,7 juta atau sekitar Rp538,6 miliar. “Kemhan harus menjelaskan detil ruang lingkup USD470 juta ini untuk apa saja. Ini masih menjadi wilayah abu-abu yang tidak bisa dijelaskan pemerintah secara detil,” ujarnya.(lin)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9329 seconds (0.1#10.140)