Uji materi UU Pajak dan Retribusi Daerah

Senin, 19 Maret 2012 - 08:19 WIB
Uji materi UU Pajak dan Retribusi Daerah
Uji materi UU Pajak dan Retribusi Daerah
A A A
Sindonew.com - Ahli-ahli yang mengungkapkan pendapat mereka dalam uji materi Undang- Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) menyatakan definisi kendaraan bermotor dalam UU tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Aturan alat berat bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 1 dan 2 UUD 1945 dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Ahli Hukum Tata Negara dan Keuangan Daerah Philipus Hajon definisi kendaraan bermotor pada UU Pajak Daerah dan UU Lalu Lintas itu berbeda. Padahal, UU Lalu Lintas dapat dikatakan sebagai landasan dalam pengkategorian jenis-jenis kendaraan bermotor yang ada.

"Ini sebetulnya tidak boleh terjadi, sehingga demikian inkonstitusional dengan semestinya,” kata Philipus di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta. Hal ini, menurut Philipus, membuat pasal-pasal lain yang berkaitan dengan pengenaan pajak atas alat-alat berat dengan sendirinya inkonstitusional.

Inkonstitusional karena, dalam Pasal 28 UUD 1945 mengatur setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Serta, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Sementara, dari sisi defenisi kendaraan bermotor saja, antara UU Pajak Daerah dan UU Lalu Lintas sudah berbeda bunyinya.

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan yang juga bertindak sebagai ahli mengatakan, pengenakan pajak alat berat tidak tepat. Sebab, ada alat berat yang hanya beroperasi di areal persawahan, perkebunan, maupun pabrik.

Karena itu, jika dikenakan pajak, tidak adil dan memberatkan para pengusaha. “Berdasarkan perbincangan dengan pemohon, sebenarnya mereka tidak keberatan membayar pajak asal tidak dicari-cari jenis pajaknya. Alat berat itu seharusnya tidak ditarik pajak, sepanjang pajak itu adil dan tidak berlipat,” kata Bagir.

Cahyono Imawan yang juga Ketua Umum Assosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) mengatakan UU seharusnya dibuat dan berlaku untuk semua sektor dan semua masyarakat.

Namun, dalam praktiknya, UU Pajak Daerah hanya menarik pajak pada alat-alat berat yang bekerja di sektor pertambangan dan kehutanan semata, dan tidak pada alat-alat berat yang bekerja di sektor konstruksi, perkebunan, pertanian, industri, dan lainnya.
Selain itu, pajak-pajak alat berat ini juga tidak diberlakukan oleh seluruh daerah, tapi hanya di sebagian daerah saja, seperti daerah yang memiliki areal pertambangan yang luas seperti di Kalimantan.

“Jadi, dari sisi keadilan, jenis alat berat yang ditarik pajak itu juga nggak jelas kriterianya. Pengalaman anggota kami juga, tidak semua daerah memungut pajak alat-alat berat ini,” kata Cahyono Imawan.

Sebelumnya diberitakan, uji materi UU ini diajukan oleh tujuh perusahaan kontraktor pertambangan dan konstruksi yakni PT Bukit Makmur Mandiri Utama, PT Pama Persada Nusantara, PT Swa Kelola Sukses, PT Ricobana Abadi, PT Nipindo Prima Mesin, PT Lobunta Kencana Raya, dan PT Uniteda Arkato.

Mereka memohonkan pengujian Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal-pasal yang mengatur pengenaan pajak kendaraan bermotor di luar jalan umum yang termasuk alat-alat berat- /besar seperti buldozer, dumptruck, grader, tractor,dan backhoe, dinilai memberatkan dan merugikan hak konstitusional para pemohon yang menguasai alat-alat berat/besar.

Termasuk, jika tak bayar pajak ancaman pidananya alat-alat berat itu bisa disita atau dipasang police line. UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyamakan alat-alat berat dengan kendaraan bermotor.

Padahal, dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebelumnya (UU No 18 Tahun 1997,red) alat-alat berat bukan kendaraan bermotor karena alat-alat berat tidak menggunakan jalanan umum, tetapi punya jalan khusus yang dibuat oleh pemilik proyek.

Cahyono mengatakan sesungguhnya seluruh anggota Aspindo yang juga pengusaha jasa pertambangan yang memiliki alat-alat berat tidak berkeberatan untuk membayar pajak.

Terbukti, anggota-anggota Aspindo telah mendapatkan predikat sebagai wajib pajak patuh dari Direktor Pajak. Bahkan, dari setiap hasil kegiatan jasa yang dilakukan, setiap pengusaha juga sudah membayarkan pajak, mulai dari PPN, PPH, dan lainnya.

“Kami merasa bahwa alat berat itu bukan kendaraan bermotor sehingga pajaknya tidak bisa dikenakan seperti kendaraan bermotor. Perlu kami sampaikan, kami pengusaha di Aspindo tidak berkeberatan membayar pajak, sebagai warga negara, kami sadar bahwa kami harus bayar pajak, dan anggota-anggota kami adalah pembayar pajak semua, namun harus jelas aturan perundang-undangannya,” katanya.

Saksi dari pemerintah, Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) Gustafa Yandi mengatakan penarikan pajak alat-alat berat di daerahnya telah diberlakukan sejak 2008. Alasannya karena sebagian besar wilayah Kalsel adalah wilayah pertambangan.

Pada 2011, hasil pajak dari alat-alat berat di Kalsel mencapai Rp42,7 miliar. “Wilayah pertambangan di Kalsel tersebar di delapan kabupaten dari 2 kota dan 11 kabupaten yang ada di Kalsel,” ujarnya.(lin)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2077 seconds (0.1#10.140)