Belanja pegawai daerah yang sangat besar
A
A
A
Rencana pemerintah melakukan pembatasan belanja pegawai maksimal 50% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) perlu kita apresiasi.
Tujuannya memang sangat jelas yaitu melakukan optimalisasi anggaran di pemerintah daerah ke sektor pelayanan publik. Jika pelayanan publik bisa berjalan dengan optimal tentu yang diuntungkan adalah rakyat. Memang sangat mengejutkan ketika kita melihat serapan belanja pegawai. Belanja pegawai di sebuah daerah bisa mencapai 75% dari APBD. Artinya pembangunan di daerah tersebut hanya dibiayai oleh 25% APBD. Bahkan ada beberapa daerah kabupaten/kota yang terpaksa menjual asetnya untuk menutupi defisit APBD yang besar akibat besarnya anggaran di pos belanja pegawai.
Ini tentu sangat memprihatinkan.Kementerian Dalam Negeri mencatat kabupaten/ kota rata-rata menghabiskan 51% APBD-nya untuk menggaji pegawai. Dari 491 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, sebanyak 294 (lebih dari separuh) memiliki belanja pegawai di atas 50%. Bak sebuah perusahaan, pengelolaan anggaran dengan cara seperti itu (75% gaji pegawai dan 25% untuk pengembangan/pembangunan) tentu tidak sehat. Perusahaan dengan sistem pengelolaan anggaran seperti di atas dipastikan dalam hitungan tahun atau bulan akan terjadi kebangkrutan.
Kita tentu tidak ingin sebuah kabupaten/kota dinyatakan bangkrut karena tidak bisa mengelola anggaran dengan benar. Atau, seorang kepala daerah terus meninggalkan utang untuk menutupi defisit APBD. Kenapa daerah lebih sering mengatakan defisit anggaran terjadi karena memang pos belanja pegawai terlalu besar. Ditambah lagi setiap tahun setiap daerah melakukan penambahan pegawai baru dengan dalih kekurangan pegawai. Jika setiap tahun membutuhkan pegawai baru untuk me-replace pegawai yang pensiun atau keluar, tentu hal yang lumrah, namun banyak yang terjadi jumlah yang masuk lebih banyak dengan yang diterima.
Semakin banyaknya pegawai memang menunjukkan sifat dinamis sebuah kantor, namun jika salah kelola, justru menunjukkan kebobrokan manajemen. Beruntung pemerintah pada 2011 melakukan moratorium penerimaan pegawai baru demi membatasi jumlah pegawai dan anggaran yang besar. Hal yang perlu diingat kembali oleh pemerintah daerah dalam mengelola APBD adalah rakyat. Sebagian besar APBD bersumber dari uang rakyat terutama dari pajak. Pemerintah seharusnya menyadari bahwa APBD merupakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Ini artinya pemerintah daerah mempunyai amanah untuk mengelola uang rakyat. Kepala daerah pun dipilih oleh rakyat dan tujuannya untuk menyejahterakan rakyat. Jangan pemerintah daerah justru bermain-main dengan APBD yang notabene adalah uang rakyat. Maka itu, APBD yang merupakan uang rakyat sewajarnya lebih banyak digunakan untuk melakukan pembangunan, bukan lebih besar untuk memberikan gaji pegawai.
Kondisi ini pun diperburuk stigma dari masyarakat tentang kinerja para pekerja pemerintah. Lamban dan rumit karena birokrasi yang berbelit, mahal karena sering terjadi pungutan liar, serta malas karena bukan berorientasi melayani masyarakat. Wajar jika rakyat marah terhadap pemerintahan yang tidak memberikan apa-apa. Memang tak semua pemerintah daerah yang menggunakan sebagian besar anggarannya untuk belanja pegawai. Bahkan ada beberapa daerah yang hanya menggunakan 16-17% untuk menggaji pegawai. Namun, belanja pegawai yang sedikit di sebagian besar daerah-daerah pemekaran.
Nah, ini menjadi tantangan kepala daerah yang bersangkutan untuk melakukan pengelolaan dengan benar sebelum terjadi persoalan seperti daerah yang lain yang memakan lebih dari 70% untuk belanja pegawai.
Tujuannya memang sangat jelas yaitu melakukan optimalisasi anggaran di pemerintah daerah ke sektor pelayanan publik. Jika pelayanan publik bisa berjalan dengan optimal tentu yang diuntungkan adalah rakyat. Memang sangat mengejutkan ketika kita melihat serapan belanja pegawai. Belanja pegawai di sebuah daerah bisa mencapai 75% dari APBD. Artinya pembangunan di daerah tersebut hanya dibiayai oleh 25% APBD. Bahkan ada beberapa daerah kabupaten/kota yang terpaksa menjual asetnya untuk menutupi defisit APBD yang besar akibat besarnya anggaran di pos belanja pegawai.
Ini tentu sangat memprihatinkan.Kementerian Dalam Negeri mencatat kabupaten/ kota rata-rata menghabiskan 51% APBD-nya untuk menggaji pegawai. Dari 491 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, sebanyak 294 (lebih dari separuh) memiliki belanja pegawai di atas 50%. Bak sebuah perusahaan, pengelolaan anggaran dengan cara seperti itu (75% gaji pegawai dan 25% untuk pengembangan/pembangunan) tentu tidak sehat. Perusahaan dengan sistem pengelolaan anggaran seperti di atas dipastikan dalam hitungan tahun atau bulan akan terjadi kebangkrutan.
Kita tentu tidak ingin sebuah kabupaten/kota dinyatakan bangkrut karena tidak bisa mengelola anggaran dengan benar. Atau, seorang kepala daerah terus meninggalkan utang untuk menutupi defisit APBD. Kenapa daerah lebih sering mengatakan defisit anggaran terjadi karena memang pos belanja pegawai terlalu besar. Ditambah lagi setiap tahun setiap daerah melakukan penambahan pegawai baru dengan dalih kekurangan pegawai. Jika setiap tahun membutuhkan pegawai baru untuk me-replace pegawai yang pensiun atau keluar, tentu hal yang lumrah, namun banyak yang terjadi jumlah yang masuk lebih banyak dengan yang diterima.
Semakin banyaknya pegawai memang menunjukkan sifat dinamis sebuah kantor, namun jika salah kelola, justru menunjukkan kebobrokan manajemen. Beruntung pemerintah pada 2011 melakukan moratorium penerimaan pegawai baru demi membatasi jumlah pegawai dan anggaran yang besar. Hal yang perlu diingat kembali oleh pemerintah daerah dalam mengelola APBD adalah rakyat. Sebagian besar APBD bersumber dari uang rakyat terutama dari pajak. Pemerintah seharusnya menyadari bahwa APBD merupakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Ini artinya pemerintah daerah mempunyai amanah untuk mengelola uang rakyat. Kepala daerah pun dipilih oleh rakyat dan tujuannya untuk menyejahterakan rakyat. Jangan pemerintah daerah justru bermain-main dengan APBD yang notabene adalah uang rakyat. Maka itu, APBD yang merupakan uang rakyat sewajarnya lebih banyak digunakan untuk melakukan pembangunan, bukan lebih besar untuk memberikan gaji pegawai.
Kondisi ini pun diperburuk stigma dari masyarakat tentang kinerja para pekerja pemerintah. Lamban dan rumit karena birokrasi yang berbelit, mahal karena sering terjadi pungutan liar, serta malas karena bukan berorientasi melayani masyarakat. Wajar jika rakyat marah terhadap pemerintahan yang tidak memberikan apa-apa. Memang tak semua pemerintah daerah yang menggunakan sebagian besar anggarannya untuk belanja pegawai. Bahkan ada beberapa daerah yang hanya menggunakan 16-17% untuk menggaji pegawai. Namun, belanja pegawai yang sedikit di sebagian besar daerah-daerah pemekaran.
Nah, ini menjadi tantangan kepala daerah yang bersangkutan untuk melakukan pengelolaan dengan benar sebelum terjadi persoalan seperti daerah yang lain yang memakan lebih dari 70% untuk belanja pegawai.
()