Negeri pungli
A
A
A
Pungutan liar alias pungli dituding sebagai penyebab maraknya kecelakaan transportasi umum belakangan ini.
Tudingan disampaikan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) berdasar fakta yang mereka temukan, sekitar 25 persen pendapatan pengusaha transportasi umum tergerus oleh pungli, mulai dari pengurusan administrasi, uji kelaikan kendaraan, izin trayek,keluar-masuk terminal,hingga pungutan sopir di tengah jalan.
Jika diakumulasi, rangkaian pungli mulai dari yang bernilai recehan hingga puluhan juta mencapai Rp25 triliun per tahun! Semestinya dana tersebut bisa bermanfaat untuk perawatan kendaraan dan pembelian suku cadang orisinal, bukan abal-abal atau kanibal.
Benarkah tudingan tersebut? Bila memang benar, semua pihak harus prihatin karena persoalan tersebut sungguh keterlaluan. Sebab, ujung-ujungnya masyarakatlah yang menjadi korban.
Alih-alih bisa menikmati kenyamanan, mereka justru bersabung nyawa karena tidak ada jaminan keamanan transportasi umum yang mereka tumpangi. Tanpa harus memverifikasi langsung ke lapangan, masyarakat sudah mafhum dengan kondisi tersebut.
Munculnya tudingan Hipmi itu ibarat puncak gunung es yang meleleh karena ada rangkaian kecelakaan bus belakangan, dengan kecelakaan menimpa bus Karunia Bhakti di Cisarua, Puncak, yang menewaskan 14 orang.
Padahal fakta sebenarnya, korban-korban yang berjatuhan akibat pungli jauh lebih besar. Pungli sejatinya tidak hanya di sektor transportasi umum. Hampir semua sektor perekonomian tak pernah bisa bebas bergerak dari jeratan pungli, mulai dari kaki lima hingga perusahaan besar.
Di dunia usaha misalnya. Perusahaan yang ingin membangun pabrik di suatu daerah bukan hanya harus mengurus izin ke instansi terkait, melainkan juga meminta izin dari ‘penguasa’ wilayah setempat.
Begitu pun proses pembangunan,setiap keluarmasuk material juga membutuhkan ‘dana kelancaran’ yang tidak kecil jumlahnya.
Aneka ragam pungli seperti jasa keamanan ke oknum aparat kepolisian,oknum pemda,dan organisasi masyarakat (ormas) pun berlanjut hingga mereka sudah berlanjut hingga proses produksi.
Akibatnya bisa diduga, biaya produksi pun membengkak. Dalam penghitungan biaya produksi, tidak ada namanya biaya untuk pungli. Jika ternyata pungli menggerus biaya produksi, tentu harus ada yang ditekan atau bahkan dikorbankan.
Fakta selama ini menunjukkan bahwa buruh yang tidak berdaya selalu menjadi korbannya. Ibarat tubuh manusia, sendi-sendi perekonomian bangsa ini sudah digerogoti kanker ganas bernama pungli.
Negeri ini bahkan seolah sudah menjadi negeri pungli. Lihat saja, seperti di Jakarta, sudut-sudut kota sudah dikapling-kapling oleh posko-posko berbendera kelompok masyarakat yang menamakan dirinya sebagai ormas.
Mereka bukan sekadar sebagai kelompok budaya atau agama, melainkan juga sudah bermetamorfosis sebagai pemilik wilayah,pemegang kuasa,perizinan,hingga penegak keamanan.
Celakanya, di sisi lain banyak oknum aparat/petugas keamanan di level kelurahan, kecamatan, hingga kota madya yang semestinya mewakili negara menegakkan aturan dan hukum, dengan seragam dan kendaraan dinas mereka, malah memanfaatkan kondisi tersebut untuk mencari keuntungan.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah gambaran masyarakat kita. Kendati demikian, mereka selama ini diam saja. Entah kenapa? Karena pasrah menerima kenyataan dan risikonya? Karena takut atau tak berdaya? Karena tidak tahu kepada siapa akan mengadu?
Atau karena sudah bosan dan frustrasi karena keluhan mereka tidak pernah ada yang menanggapi? Kalau demikian adanya, negeri apa ini sejatinya kalau bukan negeri pungli.(*)
Tudingan disampaikan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) berdasar fakta yang mereka temukan, sekitar 25 persen pendapatan pengusaha transportasi umum tergerus oleh pungli, mulai dari pengurusan administrasi, uji kelaikan kendaraan, izin trayek,keluar-masuk terminal,hingga pungutan sopir di tengah jalan.
Jika diakumulasi, rangkaian pungli mulai dari yang bernilai recehan hingga puluhan juta mencapai Rp25 triliun per tahun! Semestinya dana tersebut bisa bermanfaat untuk perawatan kendaraan dan pembelian suku cadang orisinal, bukan abal-abal atau kanibal.
Benarkah tudingan tersebut? Bila memang benar, semua pihak harus prihatin karena persoalan tersebut sungguh keterlaluan. Sebab, ujung-ujungnya masyarakatlah yang menjadi korban.
Alih-alih bisa menikmati kenyamanan, mereka justru bersabung nyawa karena tidak ada jaminan keamanan transportasi umum yang mereka tumpangi. Tanpa harus memverifikasi langsung ke lapangan, masyarakat sudah mafhum dengan kondisi tersebut.
Munculnya tudingan Hipmi itu ibarat puncak gunung es yang meleleh karena ada rangkaian kecelakaan bus belakangan, dengan kecelakaan menimpa bus Karunia Bhakti di Cisarua, Puncak, yang menewaskan 14 orang.
Padahal fakta sebenarnya, korban-korban yang berjatuhan akibat pungli jauh lebih besar. Pungli sejatinya tidak hanya di sektor transportasi umum. Hampir semua sektor perekonomian tak pernah bisa bebas bergerak dari jeratan pungli, mulai dari kaki lima hingga perusahaan besar.
Di dunia usaha misalnya. Perusahaan yang ingin membangun pabrik di suatu daerah bukan hanya harus mengurus izin ke instansi terkait, melainkan juga meminta izin dari ‘penguasa’ wilayah setempat.
Begitu pun proses pembangunan,setiap keluarmasuk material juga membutuhkan ‘dana kelancaran’ yang tidak kecil jumlahnya.
Aneka ragam pungli seperti jasa keamanan ke oknum aparat kepolisian,oknum pemda,dan organisasi masyarakat (ormas) pun berlanjut hingga mereka sudah berlanjut hingga proses produksi.
Akibatnya bisa diduga, biaya produksi pun membengkak. Dalam penghitungan biaya produksi, tidak ada namanya biaya untuk pungli. Jika ternyata pungli menggerus biaya produksi, tentu harus ada yang ditekan atau bahkan dikorbankan.
Fakta selama ini menunjukkan bahwa buruh yang tidak berdaya selalu menjadi korbannya. Ibarat tubuh manusia, sendi-sendi perekonomian bangsa ini sudah digerogoti kanker ganas bernama pungli.
Negeri ini bahkan seolah sudah menjadi negeri pungli. Lihat saja, seperti di Jakarta, sudut-sudut kota sudah dikapling-kapling oleh posko-posko berbendera kelompok masyarakat yang menamakan dirinya sebagai ormas.
Mereka bukan sekadar sebagai kelompok budaya atau agama, melainkan juga sudah bermetamorfosis sebagai pemilik wilayah,pemegang kuasa,perizinan,hingga penegak keamanan.
Celakanya, di sisi lain banyak oknum aparat/petugas keamanan di level kelurahan, kecamatan, hingga kota madya yang semestinya mewakili negara menegakkan aturan dan hukum, dengan seragam dan kendaraan dinas mereka, malah memanfaatkan kondisi tersebut untuk mencari keuntungan.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah gambaran masyarakat kita. Kendati demikian, mereka selama ini diam saja. Entah kenapa? Karena pasrah menerima kenyataan dan risikonya? Karena takut atau tak berdaya? Karena tidak tahu kepada siapa akan mengadu?
Atau karena sudah bosan dan frustrasi karena keluhan mereka tidak pernah ada yang menanggapi? Kalau demikian adanya, negeri apa ini sejatinya kalau bukan negeri pungli.(*)
()