Akibat sanksi yang tak tegas
A
A
A
Beberapa peristiwa kecelakaan yang melibatkan bus antarkota hingga menimbulkan korban jiwa membuat masyarakat geram.
Tidak ada sanksi tegas dari pemerintah terhadap pihak-pihak yang bersalah membuat kecelakaan demi kecelakaan hingga menelan korban jiwa terus berjatuhan.
Ketidaktegasan pemerintah sebagai pemegang dan pengawas aturan ini berimbas kepada korban dari masyarakat sebagai pengguna regulasi. Wajar jika masyarakat geram dengan kondisi ini.
Hingga kemarin tercatat sudah delapan kali terjadi kecelakaan hingga menelan korban jiwa. Padahal sebelumnya yaitu pada 2011 telah terjadi serangkaian kecelakaan bus hingga menelan korban jiwa.
Penyebab kecelakaan maut tersebut di antaranya kondisi bus yang tak layak jalan, sopir yang mengantuk, ugal-ugalan, ataupun dipengaruhi oleh narkoba ataupun minuman keras.
Bus tidak layak jalan karena rem yang sudah aus, ban sudah tipis, ataupun kelayakan jalan lainnya.
Terulangnya peristiwa tragis ini akibat lemahnya sanksi dari pemerintah terhadap pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab.
Selama ini sanksi yang diberikan hanya kepada sopir atau pengendara bus. Padahal, jika ditengok dari tingkat kesalahan, sanksi bisa diberikan kepada pengawas bus, pemilik bus, perusahaan bus, ataupun pemberi izin kelayakan bus.
Pada kecelakaan yang diakibatkan oleh tidak layaknya bus untuk berjalan, pemerintah seharusnya berani memberikan sanksi tegas hingga kepada pengawas, pemilik, dan perusahaan bus. Dalam kelayakan sebuah bus, bukan hanya sopir yang memiliki tanggung jawab.
Namun, apa yang kita saksikan selama ini,hanya sopir yang ditetapkan tersangka hingga harus divonis di pengadilan.
Dalam kecelakaan Bus Karunia Bakti di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Jumat (10/2) yang diduga akibat rem tidak berfungsi seharusnya pemerintah atau aparat berwenang bisa bertindak lebih tegas.
Aparat hanya menetapkan sopir menjadi tersangka tanpa ada langkah-langkah lain. Semestinya pihak berwenang tegas, memeriksa pemilik bus dan pengawas bus di perusahaan Karunia Bakti untuk diminta pertanggungjawabannya.
Selanjutnya pihak yang berwenang meminta semua Bus Karunia Bakti dikandangkan dan dilakukan pengecekan terhadap kelayakan jalan. Jika ditemukan kesalahan yang sangat fatal, aparat bisa mencabut secara permanen izin perusahaan bus atau membekukan sementara operasional perusahaan.
Jika ada pembiaran tentang perawatan bus, pemilik dan pengawas juga bisa diberikan sanksi. Inilah sanksi yang tegas secara menyeluruh tidak hanya setengah. Jika yang terjadi adalah kesalahan sopir karena mengantuk, ugal-ugalan, atau terpengaruh narkoba/minuman keras, sanksi tegas bisa saja kepada sopir dan tidak hanya menahan,tapi pencabutan secara permanen surat izin mengemudi yang bersangkutan.
Teguran juga diberikan kepada pemilik dan perusahaan bus. Jika kasus yang sama terjadi hingga beberapa kali, izin perusahaan bahkan bisa dibekukan baik permanen ataupun sementara.
Namun, yang terjadi tidaklah di atas.Pemerintah hanya berani memberikan sanksi kepada para sopir. Untuk mencabut izin perusahaan bus yang sudah jelas berulangkali melakukan pelanggaran, pemerintah tidak mempunyai nyali.
Padahal aturan tegas tentang berlalu lintas yaitu UU No 22 Tahun 2009 sudah sangat gamblang mengatur hal ini. Ketidaktegasan ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah hanya mampu membuat aturan tanpa bisa melakukan pengawasan. Menjalankan aturan tanpa pengawasan sama saja meletakkan anjing penjaga dalam keadaan terbius.
Semakin parah jika yang membius anjing penjaga itu adalah pemilik anjing. Aturan bisa menjadi bisu karena ada pungutan liar. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) bahkan menduga ada pungutan liar sebesar Rp25 triliun per tahun.(*)
Tidak ada sanksi tegas dari pemerintah terhadap pihak-pihak yang bersalah membuat kecelakaan demi kecelakaan hingga menelan korban jiwa terus berjatuhan.
Ketidaktegasan pemerintah sebagai pemegang dan pengawas aturan ini berimbas kepada korban dari masyarakat sebagai pengguna regulasi. Wajar jika masyarakat geram dengan kondisi ini.
Hingga kemarin tercatat sudah delapan kali terjadi kecelakaan hingga menelan korban jiwa. Padahal sebelumnya yaitu pada 2011 telah terjadi serangkaian kecelakaan bus hingga menelan korban jiwa.
Penyebab kecelakaan maut tersebut di antaranya kondisi bus yang tak layak jalan, sopir yang mengantuk, ugal-ugalan, ataupun dipengaruhi oleh narkoba ataupun minuman keras.
Bus tidak layak jalan karena rem yang sudah aus, ban sudah tipis, ataupun kelayakan jalan lainnya.
Terulangnya peristiwa tragis ini akibat lemahnya sanksi dari pemerintah terhadap pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab.
Selama ini sanksi yang diberikan hanya kepada sopir atau pengendara bus. Padahal, jika ditengok dari tingkat kesalahan, sanksi bisa diberikan kepada pengawas bus, pemilik bus, perusahaan bus, ataupun pemberi izin kelayakan bus.
Pada kecelakaan yang diakibatkan oleh tidak layaknya bus untuk berjalan, pemerintah seharusnya berani memberikan sanksi tegas hingga kepada pengawas, pemilik, dan perusahaan bus. Dalam kelayakan sebuah bus, bukan hanya sopir yang memiliki tanggung jawab.
Namun, apa yang kita saksikan selama ini,hanya sopir yang ditetapkan tersangka hingga harus divonis di pengadilan.
Dalam kecelakaan Bus Karunia Bakti di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada Jumat (10/2) yang diduga akibat rem tidak berfungsi seharusnya pemerintah atau aparat berwenang bisa bertindak lebih tegas.
Aparat hanya menetapkan sopir menjadi tersangka tanpa ada langkah-langkah lain. Semestinya pihak berwenang tegas, memeriksa pemilik bus dan pengawas bus di perusahaan Karunia Bakti untuk diminta pertanggungjawabannya.
Selanjutnya pihak yang berwenang meminta semua Bus Karunia Bakti dikandangkan dan dilakukan pengecekan terhadap kelayakan jalan. Jika ditemukan kesalahan yang sangat fatal, aparat bisa mencabut secara permanen izin perusahaan bus atau membekukan sementara operasional perusahaan.
Jika ada pembiaran tentang perawatan bus, pemilik dan pengawas juga bisa diberikan sanksi. Inilah sanksi yang tegas secara menyeluruh tidak hanya setengah. Jika yang terjadi adalah kesalahan sopir karena mengantuk, ugal-ugalan, atau terpengaruh narkoba/minuman keras, sanksi tegas bisa saja kepada sopir dan tidak hanya menahan,tapi pencabutan secara permanen surat izin mengemudi yang bersangkutan.
Teguran juga diberikan kepada pemilik dan perusahaan bus. Jika kasus yang sama terjadi hingga beberapa kali, izin perusahaan bahkan bisa dibekukan baik permanen ataupun sementara.
Namun, yang terjadi tidaklah di atas.Pemerintah hanya berani memberikan sanksi kepada para sopir. Untuk mencabut izin perusahaan bus yang sudah jelas berulangkali melakukan pelanggaran, pemerintah tidak mempunyai nyali.
Padahal aturan tegas tentang berlalu lintas yaitu UU No 22 Tahun 2009 sudah sangat gamblang mengatur hal ini. Ketidaktegasan ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah hanya mampu membuat aturan tanpa bisa melakukan pengawasan. Menjalankan aturan tanpa pengawasan sama saja meletakkan anjing penjaga dalam keadaan terbius.
Semakin parah jika yang membius anjing penjaga itu adalah pemilik anjing. Aturan bisa menjadi bisu karena ada pungutan liar. Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) bahkan menduga ada pungutan liar sebesar Rp25 triliun per tahun.(*)
()