Persoalan kompleks, gubernur DKI harus setingkat menteri
A
A
A
Sindonews.com - Kondisi permasalahan yang begitu kompleks di Jakarta, melahirkan sebuah ide baru agar gubernur DKI Jakarta memiliki kedudukan setingkat menteri atau dengan kata lain berada langsung di bawah presiden. Bukan seperti yang selama ini yaitu berada di bawah koordinasi Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri)
Sosiolog dari Universitas IndonesiaThamrin A Tomagola mengusulkan agar gubernur DKI Jakarta berada langsung di bawah presiden. "Seperti dulu zaman Presiden Soekarno pernah dilakukan. Gubernur DKI Jakarta itu harus setingkat menteri dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Selama gubernur dibawah Kementerian Dalam Negeri itu tidak bisa," kata Thamrin di Jakarta, Sabtu (11/2/2012).
Menurutnya, posisi Jakarta sebagai Ibu Kota negara mendorong kekuasaan yang dimiliki seorang gubernur DKI setara dengan menteri kabinet. "Seorang gunernur di DKI itu di sini gubernurnya cuma satu. Tapi menteri (kabinet pemerintahan) ada puluhan yang ada di Jakarta sini. Menteri kabinet ini lebih berkuasa daripada gubernur hingga kalaupun dia mau buat kebijakan apapun, apabila ada kebijakan dari pusat, dari menteri atau dari kementerian maka gubernur tidak bisa berbuat apa-apa," kata Thamrin.
Hal ini, menurut Thamrin, berakibat adanya konspirasi antara pengusaha dan penguasa."Hampir semua gubernur DKI tidak lepas dari jebakan itu. Akhirnya apa yang dia lakukan? Ada kongkalikong dengan pengusaha," katanya.
Ketika ditanya apakah kemungkinan jabatan gubernur DKI itu setingkat menteri,Thamrin mengatakan mungkin saja. "Mungkin saja, yang pertama harus dilakukan adalah amandemen Undang-Undang Dasar yang di situ disebutkan bahwa setiap daerah dipimpin oleh gubernur. Khusus untuk gubernur DKI Jakarta Raya, gubernurnya setingkat menteri, bisa itu," terangnya.
Thamrin mengambil contoh di salah satu negara bagian di Australia yang jabatan gubernurnya setingkat menteri. "Bisa dong, di Australia itu gubernur untuk Ibu Kota Canberra itu namanya ACT, Australian Capitol Territory. Itu langsung bertanggung jawab kepada gubernur jenderal. Karena itu sangat penting, sangat vital. Perlakuan khusus," kata Thamrin.
Dia menambahkan, di Indonesia ada empat daerah khusus yang berbeda-beda status kekhususannya. "Di Jogja, itu khusus karena adat istiadat. Untuk Aceh, perlakuan khusus karena penerapan syariat Islam. Untuk Papua ada perlakuan khusus karena dana untuk pembangunan yang dikerahkan banyak. Status perlakuan khusus itu perlu tetapi tidak perlu sama semuanya," katanya.
Dari pandangan sosiologis, status khusus untuk DKI Jakarta perlu sebagai langkah pengambilan kebijakan ke depannya. "Jadi bisa mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak terlalu didikte oleh kebijakan-kebijakan nasional, sehingga dia bebas untuk merumuskan kebijakan sendiri yang sesuai dengan dinamika dari kota Jakarta itu sendiri," katanya lagi.
Thamrin mengambil contoh, kebijakan penanggulangan banjir dan kebijakan pelarangan truk masuk dalam kota. "Itu kan ada proyek-proyek nasional yang sebenarnya ditentukan oleh Menteri Pekerjaan Umum," ujarnya.
Sosiolog dari Universitas IndonesiaThamrin A Tomagola mengusulkan agar gubernur DKI Jakarta berada langsung di bawah presiden. "Seperti dulu zaman Presiden Soekarno pernah dilakukan. Gubernur DKI Jakarta itu harus setingkat menteri dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Selama gubernur dibawah Kementerian Dalam Negeri itu tidak bisa," kata Thamrin di Jakarta, Sabtu (11/2/2012).
Menurutnya, posisi Jakarta sebagai Ibu Kota negara mendorong kekuasaan yang dimiliki seorang gubernur DKI setara dengan menteri kabinet. "Seorang gunernur di DKI itu di sini gubernurnya cuma satu. Tapi menteri (kabinet pemerintahan) ada puluhan yang ada di Jakarta sini. Menteri kabinet ini lebih berkuasa daripada gubernur hingga kalaupun dia mau buat kebijakan apapun, apabila ada kebijakan dari pusat, dari menteri atau dari kementerian maka gubernur tidak bisa berbuat apa-apa," kata Thamrin.
Hal ini, menurut Thamrin, berakibat adanya konspirasi antara pengusaha dan penguasa."Hampir semua gubernur DKI tidak lepas dari jebakan itu. Akhirnya apa yang dia lakukan? Ada kongkalikong dengan pengusaha," katanya.
Ketika ditanya apakah kemungkinan jabatan gubernur DKI itu setingkat menteri,Thamrin mengatakan mungkin saja. "Mungkin saja, yang pertama harus dilakukan adalah amandemen Undang-Undang Dasar yang di situ disebutkan bahwa setiap daerah dipimpin oleh gubernur. Khusus untuk gubernur DKI Jakarta Raya, gubernurnya setingkat menteri, bisa itu," terangnya.
Thamrin mengambil contoh di salah satu negara bagian di Australia yang jabatan gubernurnya setingkat menteri. "Bisa dong, di Australia itu gubernur untuk Ibu Kota Canberra itu namanya ACT, Australian Capitol Territory. Itu langsung bertanggung jawab kepada gubernur jenderal. Karena itu sangat penting, sangat vital. Perlakuan khusus," kata Thamrin.
Dia menambahkan, di Indonesia ada empat daerah khusus yang berbeda-beda status kekhususannya. "Di Jogja, itu khusus karena adat istiadat. Untuk Aceh, perlakuan khusus karena penerapan syariat Islam. Untuk Papua ada perlakuan khusus karena dana untuk pembangunan yang dikerahkan banyak. Status perlakuan khusus itu perlu tetapi tidak perlu sama semuanya," katanya.
Dari pandangan sosiologis, status khusus untuk DKI Jakarta perlu sebagai langkah pengambilan kebijakan ke depannya. "Jadi bisa mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak terlalu didikte oleh kebijakan-kebijakan nasional, sehingga dia bebas untuk merumuskan kebijakan sendiri yang sesuai dengan dinamika dari kota Jakarta itu sendiri," katanya lagi.
Thamrin mengambil contoh, kebijakan penanggulangan banjir dan kebijakan pelarangan truk masuk dalam kota. "Itu kan ada proyek-proyek nasional yang sebenarnya ditentukan oleh Menteri Pekerjaan Umum," ujarnya.
()