Dana riset pertanian rendah

Kamis, 09 Februari 2012 - 08:22 WIB
Dana riset pertanian...
Dana riset pertanian rendah
A A A
Sindonews.com - Mengantisipasi ancaman kelangkaan pangan, pemerintah berencana mencetak sawah baru. Bersama sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ditargetkan bakal lahir lahan pangan baru seluas 100.000 hektare.

Pengadaan sawah baru tersebut semestinya bukan sekadar untuk mengamankan kelangkaan pangan,tetapi yang jauh lebih penting adalah untuk menutupi peralihan fungsi lahan pertanian yang menjelma menjadi lahan komersial. Kementerian Pertanian pernah melansir bahwa tak kurang dari 110.000 hektare lahan pertanian, termasuk sawah, beralih fungsi setiap tahun.

Terlepas dari persoalan apakah angka peralihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan komersial akurat adanya, pemerintah memang berkewajiban menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat dan menjaga luas lahan yang ada. Dalam tiga tahun terakhir ini, persoalan pangan menjadi fokus perhatian dunia.

Di tengah suburnya pertumbuhan penduduk bumi,hal itu justru tidak dibarengi ketersediaan pangan yang memadai. Ketersediaan pangan yang terbatas adalah sebuah ancaman serius sehingga masalah tersebut menjadi salah satu topik hangat dalam setiap pertemuan internasional. Seharusnya, Indonesia bisa memainkan peran yang strategis dalam mengatasi kelangkaan pangan dunia, tetapi kenyataannya masih jauh dari harapan alias mimpi.

Kondisi di dalam negeri sendiri begitu tergantung pada komoditas (pangan) di mana hampir semua kebutuhan pangan pokok diperoleh lewat impor. Hal tersebut sungguh merisaukan, bahwa negeri yang berpenduduk terbesar keempat di dunia ini tergantung dari komoditas impor.Kita bisa bayangkan kesulitan apa yang akan terjadi seandainya harga pangan dunia terus meroket karena keterbatasan pasokan.

Yang lebih memprihatinkan, produktivitas pertanian semakin jauh dari target yang dipatok pemerintah. Padahal anggaran yang digelontorkan dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam tiga tahun belakangan ini pengalokasian anggaran telah meningkat di atas 100 persen. Pada 2009 anggaran yang dikucurkan sebesar Rp8,2 triliun dan menjadi Rp17,8 triliun, belum termasuk subsidi pupuk yang mencapai Rp1,6 triliun pada tahun ini.

Ternyata, anggaran yang terus melambung tersebut tidak berkorelasi langsung terhadap peningkatan produksi pertanian. Tengok saja data produksi sepanjang tahun lalu untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai yang mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.

Tahun lalu, produksi padi tercatat 65,39 juta ton gabah kering giling,terjadi penurunan sekitar 1,63 persen dibandingkan tahun 2010. Produksi jagung mencapai 17,2 juta ton pipilan kering, lebih rendah sekitar 5,99 persen, dan produksi kedelai sebesar 870.000 ton biji kering, melemah sekitar 4,08 persen.

Pertanyaannya, anggaran pertanian yang besar itu dibelanjakan untuk apa saja? Yang perlu diperjelas dari anggaran sebesar Rp17,8 triliun pada tahun ini, apakah sudah memadai dana yang diperuntukkan bagi kepentingan riset? Sebab salah satu kunci sukses peningkatan produktivitas pertanian adalah dukungan hasil riset.

Kita harus becermin terhadap Thailand yang sukses menggarap lahan pertanian berkat hasil riset yang unggul.Padahal,sebagian besar produksi unggulan pertanian dari Negeri Gajah Putih tersebut yang kemudian menyerbu pasar kita berbibit dari Indonesia.

Untuk tahun ini,Kementerian Pertanian menganggarkan dana untuk penelitian dan pengembangan (litbang) sebesar Rp1,4 triliun. Dana tersebut terbilang masih sangat kecil untuk mendapatkan hasil riset yang unggul.

Ironisnya, dana yang terbatas tersebut justru tersedot sebesar 60% buat gaji peneliti dan sisanya sebesar 40 persen untuk operasional. Jadi, jangan berharap banyak untuk mendapatkan riset hebat dengan dana terbatas. Cetak lahan pangan baru itu memang penting, tetapi riset jangan diabaikan.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0509 seconds (0.1#10.140)