Ujian Nasional, Mendikbud perlu perbaiki metode

Selasa, 31 Januari 2012 - 10:13 WIB
Ujian Nasional, Mendikbud perlu perbaiki metode
Ujian Nasional, Mendikbud perlu perbaiki metode
A A A
Sindonews.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk membenahi mekanisme pelaksanaan ujian nasional (UN).

Meski sebelumnya pemerintah sudah mengevaluasi UN, metode pelaksanaannya masih dipersoalkan oleh anggota legislatif. Hal tersebut terungkap dalam Rapat Kerja (Raker) Kemendikbud dengan Komisi X DPR di Jakarta kemarin.

Anggota Komisi X DPR Eko Hendro Purnomo menilai, pelaksanaan UN masih meninggalkan catatan penting yang harus dibenahi Kemendikbud, di antaranya masalah percetakan.

Menurut dia, percetakan soal UN memang sudah dipusatkan, namun banyak pemerintah daerah yang tidak mau bertanggung jawab jika terjadi kebocoran soal. Jika pertanggungjawaban ini masih ambigu, pelaksanaan UN dikhawatirkan akan terhambat.

Selain itu, menurut dia, saat ini masih banyak rektor yang menolak hasil UN sebagai syarat masuk perguruan tinggi. Karena itu, Eko meminta agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menindak tegas para rektor yang menolak UN sebagai syarat masuk kuliah di kampus negeri.

Dia juga menilai kuota 40 persen jalur undangan bagi peserta yang nilai rapornya sejak semester satu hingga tiga baik agar ditambah persentasenya.

Anggota Komisi X DPR Zulfahdli menyatakan, meskipun UN diadakan atas amanat UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, untuk tahun depan UN tidak dapat dipertahankan lagi dengan mekanisme seadanya.

“Ada perkembangan ilmu dan teknologi yang tidak mungkin diadopsi oleh UN saat ini,” tegas Zulfahdli di Jakarta kemarin.

Dia juga mengungkapkan, Kemendikbud memang sudah melakukan perubahan, namun masih sebatas hal teknis saja seperti kode rahasia di soal ujian. Padahal, ujarnya, perubahan mendasar harus dilakukan pada bobot UN sebagai penentu kelulusan yang saat ini masih mencapai 60 persen dan ujian sekolah hanya 40 persen.

“Kami meminta 50 persen - 50 persen agar kewenangan sekolah untuk meluluskan lebih besar. Ke depannya kami minta ada pengkajian kembali,” tegasnya.

Anggota Komisi X DPR Harbiah Salahuddin menyatakan Kemendikbud masih belum menemukan formula bagaimana mencegah kecurangan yang dilakukan guru atau kepala sekolah pada saat UN berlangsung di kelas.

Menurut dia, sentralisasi percetakan tidak mampu menangani hal ini, karena kecurangan justru terjadi di sekolah, di mana ada desakan dari kepala daerah agar hasil UN menjadi sebaik mungkin. “Kepala daerah melakukan hal itu agar dapat mencalonkan lagi pada periode berikutnya,” ujarnya.

Anggota Komisi X DPR Kahar Muzakir menilai, evaluasi UN yang dilakukan Kemendikbud masih belum sempurna karena masih menjadikan UN sebagai fasilitas siswa untuk mendapat ijazah saja.

Selain itu, jika memang ingin menjadikan UN sebagai parameter utama pendidikan, Kemendikbud harus menjadikan UN sebagai syarat utama dalam seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Faktanya, ujar Kahar,masih ada kampus yang menolak UN dan membuka jalur mandiri.

“Kumpulkan rektor dan perintahkan mereka untuk menguji siswa hanya dengan UN. Toh, yang memilih rektor itu adalah mendikbud,” tegasnya.

Menanggapi hal ini, Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan bahwa UN bukan suatu sistem yang terpisah dalam pendidikan, melainkan terintegrasi. Hal ini terwujud dalam keberlanjutan UN sebagai paspor untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri. Perguruan tinggi boleh melaksanakan seleksi masuk mandiri, namun 60 persen siswanya harus diterima melalui seleksi nasional.

Selain itu, jelas Mendikbud, UN juga memiliki aspek integrasi kewilayahan, di mana semua siswa mengerjakan soal yang sama sehingga menjadi satu kesatuan dalam konsep NKRI dan integrasi kualifikasi. Mengenai kecurangan, Nuh menyatakan Kemendikbud mulai pekan depan akan melakukan sosialisasi tentang pentingnya kejujuran dan prestasi dalam UN.(*)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7531 seconds (0.1#10.140)