Pencabutan moratorium TKI masih prematur
A
A
A
Sindonews.com - Ketua Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning menilai pencabutan moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia oleh pemerintah akhir tahun 2011 silam, dinilai sangat prematur. Pasalnya sejauh ini pemerintah belum memiliki payung hukum untuk melindungi para tenaga kerja di luar negeri.
"BNP2TKI menyatakan pengiriman TKI ke Malaysia sudah bisa kembali dilakukan mulai Maret mendatang. Masalahnya jika sampai ada kasus kekerasan lagi yang menimpa para tenaga kerja di luar negeri, pemerintah bisa berbuat apa? Sebab payung hukum untuk perlindungan tenaga kerja di luar negeri sampai saat ini belum ada. Seharusnya jangan terburu-buru mencabut moratorium pengiriman TKI," kata Ribka kepada wartawan, Minggu (22/1/2012).
Karenanya, lanjut Ribka, pencabutan moratorium pengiriman TKI ke Malaysia harus dikaji ulang, termasuk upaya mediasi yang dilakukan pemerintah untuk mencabut moratorium pengiriman TKI ke sejumlah negara di Timur Tengah. Pasalnya berdasarkan catatan Komisi IX DPR RI, jumlah kasus kekerasan yang dialami para TKI di Timur Tengah masih mencapai ratusan.
"Permasalahan kasus yang dialami para TKI di Timur Tengah masih banyak yang belum selesai. Biarkan kasus-kasus tersebut terselesaikan terlebih dahulu. Setelah itu pemerintah bisa menempuh langkah selanjutnya yakni pengiriman kembali TKI. Itu pun setelah adanya payung hukum soal perlindungan TKI," beber Ribka.
Dikatakannya lebih lanjut, dalam hal ketenagakerjaan di luar negeri, selama ini pemerintah hanya mengandalkan Undang-Undang No39 tahun 2004 tentang penempatan TKI. Padahal kondisinya perundang-undangan tersebut tidak bisa menembus ranah hukum di luar negeri. Hal inilah yang mengakibatkan pemerintah lemah dalam memberikan perlindungan kepada para TKI di luar negeri.
"Kami berupaya perundang-undangan itu bisa berlaku hingga lintas negara. Dengan begitu keberadaan para TKI dihormati di luar negeri. Karena itulah Komisi IX masih terus menggodok revisi perundang-undangan tersebut. Dalam revisi ini kami titik beratkan pada perlindungan hukumnya," jelasnya.
Sebelumnya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mendata sebanyak 323 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Jordania mengantre untuk segera dipulangkan ke tanah air. Dari jumlah tersebut sebesar 70 persen di antaranya merupakan TKI yang kabur dari majikannya.
Kepala Subdit Perlindungan dan Pemulangan Tenaga Kerja Kemenakertrans, Oscar Abdurachman, menerangkan ratusan TKI siap dipulangkan ini merupakan TKI bermasalah. Mayoritas permasalahan yang dihadapinya adalah masalah dengan majikannya masing-masing.
"Bisa dikatakan 70% dari 323 orang TKI ini beradqa di KJRI karena kabur dari rumah majikannya," terang Oscar saat berkunjung ke Sukabumi beberapa waktu lalu. Lebih lanjut, di antara ratusan TKI tersebut, dua orang dipulangkan dengan membawa bayi.
Disebutkannya seluruh TKI bermasalah tersebut telah memiliki kuasa hukum yang telah disediakan pemerintah Indonesia. Para kuasa hukum tersebut merupakan praktisi yang berasal dari Jordania. Keterlibatan mereka dalam upaya pembelaan bagi para TKI ini lebih disebabkan minimnya ruang kerja pengacara Indonesia di luar negeri.
"BNP2TKI menyatakan pengiriman TKI ke Malaysia sudah bisa kembali dilakukan mulai Maret mendatang. Masalahnya jika sampai ada kasus kekerasan lagi yang menimpa para tenaga kerja di luar negeri, pemerintah bisa berbuat apa? Sebab payung hukum untuk perlindungan tenaga kerja di luar negeri sampai saat ini belum ada. Seharusnya jangan terburu-buru mencabut moratorium pengiriman TKI," kata Ribka kepada wartawan, Minggu (22/1/2012).
Karenanya, lanjut Ribka, pencabutan moratorium pengiriman TKI ke Malaysia harus dikaji ulang, termasuk upaya mediasi yang dilakukan pemerintah untuk mencabut moratorium pengiriman TKI ke sejumlah negara di Timur Tengah. Pasalnya berdasarkan catatan Komisi IX DPR RI, jumlah kasus kekerasan yang dialami para TKI di Timur Tengah masih mencapai ratusan.
"Permasalahan kasus yang dialami para TKI di Timur Tengah masih banyak yang belum selesai. Biarkan kasus-kasus tersebut terselesaikan terlebih dahulu. Setelah itu pemerintah bisa menempuh langkah selanjutnya yakni pengiriman kembali TKI. Itu pun setelah adanya payung hukum soal perlindungan TKI," beber Ribka.
Dikatakannya lebih lanjut, dalam hal ketenagakerjaan di luar negeri, selama ini pemerintah hanya mengandalkan Undang-Undang No39 tahun 2004 tentang penempatan TKI. Padahal kondisinya perundang-undangan tersebut tidak bisa menembus ranah hukum di luar negeri. Hal inilah yang mengakibatkan pemerintah lemah dalam memberikan perlindungan kepada para TKI di luar negeri.
"Kami berupaya perundang-undangan itu bisa berlaku hingga lintas negara. Dengan begitu keberadaan para TKI dihormati di luar negeri. Karena itulah Komisi IX masih terus menggodok revisi perundang-undangan tersebut. Dalam revisi ini kami titik beratkan pada perlindungan hukumnya," jelasnya.
Sebelumnya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mendata sebanyak 323 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Jordania mengantre untuk segera dipulangkan ke tanah air. Dari jumlah tersebut sebesar 70 persen di antaranya merupakan TKI yang kabur dari majikannya.
Kepala Subdit Perlindungan dan Pemulangan Tenaga Kerja Kemenakertrans, Oscar Abdurachman, menerangkan ratusan TKI siap dipulangkan ini merupakan TKI bermasalah. Mayoritas permasalahan yang dihadapinya adalah masalah dengan majikannya masing-masing.
"Bisa dikatakan 70% dari 323 orang TKI ini beradqa di KJRI karena kabur dari rumah majikannya," terang Oscar saat berkunjung ke Sukabumi beberapa waktu lalu. Lebih lanjut, di antara ratusan TKI tersebut, dua orang dipulangkan dengan membawa bayi.
Disebutkannya seluruh TKI bermasalah tersebut telah memiliki kuasa hukum yang telah disediakan pemerintah Indonesia. Para kuasa hukum tersebut merupakan praktisi yang berasal dari Jordania. Keterlibatan mereka dalam upaya pembelaan bagi para TKI ini lebih disebabkan minimnya ruang kerja pengacara Indonesia di luar negeri.
()