Beli alutsista sesuai strategi
A
A
A
Sindonews.com - Pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI diharapkan lebih mengedepankan kualitas dan sejalan dengan strategi pertahanan yang dibutuhkan.
Pengamat militer dari Universitas Indonesia Connie Rahakundini Bakrie menuturkan, pengadaan alutsista TNI untuk memperkuat pertahanan memang sangat diperlukan. Hal ini juga telah disadari pemerintah dan DPR. Namun, setiap rencana pembelian hampir selalu menjadi pro dan kontra. Munculnya polemik tersebut karena sejumlah kalangan menilai Kementerian Pertahanan tidak mengindahkan aspek-aspek tersebut.
Pengadaan melalui hibah 24 unit F-16 dari Amerika Serikat dan rencana membeli 100 unit main battle tank (MBT) Leopard 2A6 milik Belanda adalah contoh polemik terhangatnya. Pengadaan itu ditentang karena baik F-16 maupun Leopard yang hendak dibeli sama- sama barang bekas sehingga kualitasnya diragukan. Pemerintah beralasan dengan membeli alutsista bekas, jumlah yang didapat bisa jauh lebih banyak ketimbang mendatangkan yang baru.
“Tank Leopard ini memang bisa memberi efek deterrence besar.Tapi harus dilihat bagaimana masa gunanya, jangan hanya lihat kuantitas seperti ketika menerima hibah F-16,” ujar Conni saat dihubungi Sindo, Sabtu 21 Januari 2012.
Dia menerangkan, 24 unit F- 16 bekas tersebut tidak lebih baik ketimbang apabila pemerintah membeli 10 pesawat tempur baru generasi anyar.
“Pesawat itu bisa langsung habis dihancurkan musuh ketika (pesawat) masih di darat. Kita pasti kalah. Lebih baik sedikit tapi berkualitas,” ucapnya.
Seharusnya setiap pengadaan alutsista diserahkan sesuai dengan kebutuhan pengguna. Namun, tetap harus ada road mapyang utuh sebagai patokan dalam membangun pertahanan.
“Sekarang ini kita kelihatan sekali tidak punya arah. Anggaran naik sedikit,dimainkan politik,”ungkap dia. Menurut Conni, sekarang ini ada konstelasi politik kedua yang paling strategis, tapi masih luput dari perhatian pemerintah, yakni keberadaan Selat Leti dan Selat Wetar yang menghubungkan dua negara tetangga, Australia dan Timor Leste.
Di sana juga ada 19 pulau kaya akan sumber daya alam tak terbarui. Tapi, blok strategis itu tidak diimbangi pertahanan yang kuat. Perhatian pemerintah masih terfokus pada Selat Malaka.
“Kalau Anda berdiri di pantainya, tiap beberapa jam sekali bisa melihat punggung kapal selam bertenaga nuklir melintas. Itu milik Amerika Serikat dan Australia,” kata Conni.
Padahal dalam sejarah peperangan, lanjut dia, ada tiga hal yang bisa memicu perang, yakni agama, resources (SDA), dan trade (perdagangan). Karenanya, dalam strategi pertahanan jangan memandangnya seolah-olah tidak ada perang.
“Aneh kalau berpikir seperti itu (tidak ada perang). Kita itu kaya resources, jantungnya Asia itu kita,” kata Conni.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Hartind Asrin menuturkan, polemik rencana pembelian alutsista mencuat setelah muncul besaran anggaran yang diperlukan. “Karena (pengadaan) itu harus ada persetujuan DPR juga,” ujarnya.
Dengan membeli Leopard bekas, lanjut dia, dengan anggaran yang sama pemerintah bisa mendapat tank lebih banyak.
“Pengadaan Leopard juga sudah sesuai dengan defence strategy kita. User (TNI AD) juga sudah meninjau ke lapangan untuk melihat spesifikasi teknisnya,” kata Hartind. Hartind mengakui adanya kelemahan dalam pertahanan di jalur yang masuk dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III itu.
“Semua ALKI kita prioritaskan. Di ALKI III ada selat yang ke Australia masih sering jebol,” imbuhnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menegaskan, DPR setuju dilakukan pengadaan perlengkapan yang canggih untuk TNI. “Tapi pemilihannya harus selektif, memperhatikan jangka panjang, dan harus melibatkan (industri pertahanan) dalam negeri,” ujarnya.
Menurut dia, hasil kajian Litbang Kementerian Pertahanan pada 2009–2010 menyebutkan Indonesia butuh tank medium, bukan heavy tank seperti MBT Leopard.
Pengamat militer dari Universitas Indonesia Connie Rahakundini Bakrie menuturkan, pengadaan alutsista TNI untuk memperkuat pertahanan memang sangat diperlukan. Hal ini juga telah disadari pemerintah dan DPR. Namun, setiap rencana pembelian hampir selalu menjadi pro dan kontra. Munculnya polemik tersebut karena sejumlah kalangan menilai Kementerian Pertahanan tidak mengindahkan aspek-aspek tersebut.
Pengadaan melalui hibah 24 unit F-16 dari Amerika Serikat dan rencana membeli 100 unit main battle tank (MBT) Leopard 2A6 milik Belanda adalah contoh polemik terhangatnya. Pengadaan itu ditentang karena baik F-16 maupun Leopard yang hendak dibeli sama- sama barang bekas sehingga kualitasnya diragukan. Pemerintah beralasan dengan membeli alutsista bekas, jumlah yang didapat bisa jauh lebih banyak ketimbang mendatangkan yang baru.
“Tank Leopard ini memang bisa memberi efek deterrence besar.Tapi harus dilihat bagaimana masa gunanya, jangan hanya lihat kuantitas seperti ketika menerima hibah F-16,” ujar Conni saat dihubungi Sindo, Sabtu 21 Januari 2012.
Dia menerangkan, 24 unit F- 16 bekas tersebut tidak lebih baik ketimbang apabila pemerintah membeli 10 pesawat tempur baru generasi anyar.
“Pesawat itu bisa langsung habis dihancurkan musuh ketika (pesawat) masih di darat. Kita pasti kalah. Lebih baik sedikit tapi berkualitas,” ucapnya.
Seharusnya setiap pengadaan alutsista diserahkan sesuai dengan kebutuhan pengguna. Namun, tetap harus ada road mapyang utuh sebagai patokan dalam membangun pertahanan.
“Sekarang ini kita kelihatan sekali tidak punya arah. Anggaran naik sedikit,dimainkan politik,”ungkap dia. Menurut Conni, sekarang ini ada konstelasi politik kedua yang paling strategis, tapi masih luput dari perhatian pemerintah, yakni keberadaan Selat Leti dan Selat Wetar yang menghubungkan dua negara tetangga, Australia dan Timor Leste.
Di sana juga ada 19 pulau kaya akan sumber daya alam tak terbarui. Tapi, blok strategis itu tidak diimbangi pertahanan yang kuat. Perhatian pemerintah masih terfokus pada Selat Malaka.
“Kalau Anda berdiri di pantainya, tiap beberapa jam sekali bisa melihat punggung kapal selam bertenaga nuklir melintas. Itu milik Amerika Serikat dan Australia,” kata Conni.
Padahal dalam sejarah peperangan, lanjut dia, ada tiga hal yang bisa memicu perang, yakni agama, resources (SDA), dan trade (perdagangan). Karenanya, dalam strategi pertahanan jangan memandangnya seolah-olah tidak ada perang.
“Aneh kalau berpikir seperti itu (tidak ada perang). Kita itu kaya resources, jantungnya Asia itu kita,” kata Conni.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Hartind Asrin menuturkan, polemik rencana pembelian alutsista mencuat setelah muncul besaran anggaran yang diperlukan. “Karena (pengadaan) itu harus ada persetujuan DPR juga,” ujarnya.
Dengan membeli Leopard bekas, lanjut dia, dengan anggaran yang sama pemerintah bisa mendapat tank lebih banyak.
“Pengadaan Leopard juga sudah sesuai dengan defence strategy kita. User (TNI AD) juga sudah meninjau ke lapangan untuk melihat spesifikasi teknisnya,” kata Hartind. Hartind mengakui adanya kelemahan dalam pertahanan di jalur yang masuk dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III itu.
“Semua ALKI kita prioritaskan. Di ALKI III ada selat yang ke Australia masih sering jebol,” imbuhnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menegaskan, DPR setuju dilakukan pengadaan perlengkapan yang canggih untuk TNI. “Tapi pemilihannya harus selektif, memperhatikan jangka panjang, dan harus melibatkan (industri pertahanan) dalam negeri,” ujarnya.
Menurut dia, hasil kajian Litbang Kementerian Pertahanan pada 2009–2010 menyebutkan Indonesia butuh tank medium, bukan heavy tank seperti MBT Leopard.
()