Menimbang kontroversi tank Leopard
A
A
A
Sindonews.com-Perlukah Indonesia memiliki Main Battle tank (MBT)? Pertanyaan yang berujung pro-kontra itu marak diperbincangkan belakangan ini atas rencana pembelian 100 tank Leopard 2A6 bekas dari Belanda.
Perdebatan yang berkembang meruncing pada persoalan apakah tank seberat 60 ton itu sesuai dengan kondisi Indonesia dan mengapa Indonesia tidak mengembangkan light tank atau middle tank sendiri yang prototipenya sudah dimiliki PT Pindad? Sekilas, argumentasi yang menyebut tank Leopard atau jenis MBT lainnya tidak sesuai dengan kebutuhan Indonesia merujuk pada kondisi alamiah yang terdiri atas hutan, gunung, sungai, dan dengan tanah berkontur lembek.
Dengan kondisi tersebut, dikhawatirkan tank berukuran besar dan berat tidak bisa bergerak lincah dan bermanuver sesuai dengan kapasitasnya. Namun, KSAD Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo sebagai pengguna bersikukuh tank produksi Jerman itu sangat dibutuhkan dalam rangka memperkuat dan memodernisasi alutsista matra darat.
Mantan Pangkostrad itu juga menegaskan pemilihan tank tersebut melalui kajian sejumlah aspek strategi militer dan teknologi yang dibenamkan di dalamnya. Perbedaan pendapat dalam negara demokrasi merupakan hal wajar.
Apalagi, pembelian itu membutuhkan dana APBN yang terhitung sangat besar,yakni Rp 14 triliun. Tapi apakah penolakan yang muncul serta-merta membatalkan rencana tersebut, tentu harus bersama-sama dipikirkan secara matang. Apalagi, sejauh ini, pihak penolak baru sebatas mendasarkan diri pada asumsiasumsi tanpa terlebih melakukan pengkajian mendalam.
Kritik yang dimunculkan pun harus berangkat dari orientasi pembangunan pertahanan,bukan tendensi politik tertentu. Pembelian memang harus memperhitungkan bagaimana alutsista akan bekerja maksimal di medan tempur.
Namun,dalam perspektif pertahanan, terutama dalam konteks hubungan antara negara, ada sejumlah pilihan strategis yang harus dipertimbangkan. Keberadaan alutsista canggih sebagaimana tank Leopard akan mampu menimbulkan daya tangkal (deterrence) bagi siapa pun pihak yang akan menyerang atau menginvasi.
Kebijakan pertahanan juga harus mempertimbangkan dampak psikologis yang akan ditimbulkan terhadap prajurit.Adagium man behind the gun tetap menjadi penentu akhir peperangan. Tapi dengan alutsista yang memadai, mental prajurit untuk memenangi perang semakin tinggi.
Terlebih, dalam konteks balance of power, negara-negara di kawasan yang relatif memiliki kondisi alamiah sama dengan Indonesia juga melengkapi tentaranya dengan MBT. Lihat saja Malaysia yang disokong 48 PT-91M buatan Polandia, Singapura dengan 96 Leopard 2A4 yang sudah dimiliki sejak 2007. Thailand pun tak mau kalah dengan mendatangkan 200 T92 Oplot dari Ukraina.
Kekuatan kendaraan tempur berlapis baja akan semakin jomplang jika dibandingkan dengan Australia yang ditulangpunggungi M1A1/2 Abrams buatan Amerika Serikat. Dukungan kekuatan 100 Leopard 2A6 sepadan untuk menandingi kekuatan mereka.
Berangkat dari pertimbangan itu, semestinya fokus perdebatan bukanlah pada kesesuaian tank Leopard dengan kebutuhan Indonesia, tapi apakah uang rakyat akan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukan? Selama TNI AD terbuka untuk proses audit, terlebih mekanismenya G to G,pembelian bisa dilanjutkan.
Pihak TNI AD juga harus bisa memastikan bahwa negeri asal tidak mencantelkan faktor politis dalam draf perjanjian jual beli dan pihak produsen, Rheimetal, menjamin ketersediaan suku cadang, syukur-syukur bersedia melakukan transfer of technology (ToT) yang akan sangat bermanfaat sebagai basis platform pembangunan tank dalam negeri.
Perdebatan yang berkembang meruncing pada persoalan apakah tank seberat 60 ton itu sesuai dengan kondisi Indonesia dan mengapa Indonesia tidak mengembangkan light tank atau middle tank sendiri yang prototipenya sudah dimiliki PT Pindad? Sekilas, argumentasi yang menyebut tank Leopard atau jenis MBT lainnya tidak sesuai dengan kebutuhan Indonesia merujuk pada kondisi alamiah yang terdiri atas hutan, gunung, sungai, dan dengan tanah berkontur lembek.
Dengan kondisi tersebut, dikhawatirkan tank berukuran besar dan berat tidak bisa bergerak lincah dan bermanuver sesuai dengan kapasitasnya. Namun, KSAD Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo sebagai pengguna bersikukuh tank produksi Jerman itu sangat dibutuhkan dalam rangka memperkuat dan memodernisasi alutsista matra darat.
Mantan Pangkostrad itu juga menegaskan pemilihan tank tersebut melalui kajian sejumlah aspek strategi militer dan teknologi yang dibenamkan di dalamnya. Perbedaan pendapat dalam negara demokrasi merupakan hal wajar.
Apalagi, pembelian itu membutuhkan dana APBN yang terhitung sangat besar,yakni Rp 14 triliun. Tapi apakah penolakan yang muncul serta-merta membatalkan rencana tersebut, tentu harus bersama-sama dipikirkan secara matang. Apalagi, sejauh ini, pihak penolak baru sebatas mendasarkan diri pada asumsiasumsi tanpa terlebih melakukan pengkajian mendalam.
Kritik yang dimunculkan pun harus berangkat dari orientasi pembangunan pertahanan,bukan tendensi politik tertentu. Pembelian memang harus memperhitungkan bagaimana alutsista akan bekerja maksimal di medan tempur.
Namun,dalam perspektif pertahanan, terutama dalam konteks hubungan antara negara, ada sejumlah pilihan strategis yang harus dipertimbangkan. Keberadaan alutsista canggih sebagaimana tank Leopard akan mampu menimbulkan daya tangkal (deterrence) bagi siapa pun pihak yang akan menyerang atau menginvasi.
Kebijakan pertahanan juga harus mempertimbangkan dampak psikologis yang akan ditimbulkan terhadap prajurit.Adagium man behind the gun tetap menjadi penentu akhir peperangan. Tapi dengan alutsista yang memadai, mental prajurit untuk memenangi perang semakin tinggi.
Terlebih, dalam konteks balance of power, negara-negara di kawasan yang relatif memiliki kondisi alamiah sama dengan Indonesia juga melengkapi tentaranya dengan MBT. Lihat saja Malaysia yang disokong 48 PT-91M buatan Polandia, Singapura dengan 96 Leopard 2A4 yang sudah dimiliki sejak 2007. Thailand pun tak mau kalah dengan mendatangkan 200 T92 Oplot dari Ukraina.
Kekuatan kendaraan tempur berlapis baja akan semakin jomplang jika dibandingkan dengan Australia yang ditulangpunggungi M1A1/2 Abrams buatan Amerika Serikat. Dukungan kekuatan 100 Leopard 2A6 sepadan untuk menandingi kekuatan mereka.
Berangkat dari pertimbangan itu, semestinya fokus perdebatan bukanlah pada kesesuaian tank Leopard dengan kebutuhan Indonesia, tapi apakah uang rakyat akan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukan? Selama TNI AD terbuka untuk proses audit, terlebih mekanismenya G to G,pembelian bisa dilanjutkan.
Pihak TNI AD juga harus bisa memastikan bahwa negeri asal tidak mencantelkan faktor politis dalam draf perjanjian jual beli dan pihak produsen, Rheimetal, menjamin ketersediaan suku cadang, syukur-syukur bersedia melakukan transfer of technology (ToT) yang akan sangat bermanfaat sebagai basis platform pembangunan tank dalam negeri.
()