Lahan terlantar boleh digarap petani
A
A
A
Sindonews.com - Anggota Komisi IV F-PKS Rofi Munawar mengatakan, lahan terlantar boleh digarap oleh petani. Hal itu tertuang dalam UU No 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan.
"UU itu menyatakan, tanah terlantar dapat dialihfungsikan saat tanah tersebut telah diberikan hak atasnya. Tetap sebagian atau seluruhnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak," ujarnya dalam rilis yang diterima Sindonews, Senin (16/1/2012).
Ditambahkan dia, tanah terlantar tersebut boleh digunakan selama tiga tahun atau lebih, jika tidak dimanfaatkan sejak tanggal pemberian hak diterbitkannya.
"Reforma Agraria harus memastikan penguasaan tanah, peran dan fungsi tanah yang mampu memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan kelestarian lingkungan, kedaulatan pangan, kemampuan produktivitas untuk melakukan re-investasi keluarga petani dan mendorong pembangunan ekonomi bangsa," tambahnya.
Pemerintah, tambah Rofi, perlu menanamkan budaya lahan kepada pemilik lahan pertanian. Setiap petani yang memiliki lahan harus mewariskan tanahnya, kepada salah satu anggota keluarganya untuk tetap dijadikan sebagai lahan pertanian.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memberikan berbagai macam insentif produksi, distribusi dan pemasaran untuk mendorong mereka bergairah dalam usaha petani. "Lahan pertanian tetap untuk pertanian, sedangkan lahan yang terlantar secara progresif dijadikan lahan pertanian sebelum untuk peruntukan lain," tegasnya.
Selama ini, lahan-lahan yang disengketakan atau tidak dimanfaatkan dibiarkan dalam ketidakjelasan. Jika pun dikelola, seringkali menyimpan konflik. Karena pengelolaan lahan tersebut mengesampingkan kepentingan umum, fungsi utama lahan, dan keberlanjutan lahan tersebut.
"Konflik agraria seringkali terjadi saat pengelolaan lahan dialihkan kepada pemilik modal yang mengesampingkan penggunaan lahan dan tata ruang. Desakan mengenai perlunya reformasi agraria lahir karena peralihan masif lahan pertanian kepada nonpertanian yang memprihatinkan selama ini," terangnya.
Reformasi agraria untuk mendorong pencetakan sawah, tambah Rofi, harus terus dilakukan mengingat desakan ketersediaan pangan dan ancaman krisis pangan mengintai sepanjang tahun. Penyelesaian konflik agraria seringkali hanya selesai di status kepemilikan, bukan pada subtansi penggunaan lahan tersebut.
Sepanjang tahun 1991-2008 konversi lahan sawah menjadi lahan nonpertanian sebesar 365.459 Ha, di kurun waktu yang sama penambahan luas sawah hanya sebesar 364.459 Ha. Sehingga hampir 18 tahun telah terjadi defisit sawah sekitar 1.000 Ha. Tahun 2006 sampai 2010 realisasi perluasan cetak sawah setiap tahunnya tidak pernah melebihi 25.000 Ha. (san)
"UU itu menyatakan, tanah terlantar dapat dialihfungsikan saat tanah tersebut telah diberikan hak atasnya. Tetap sebagian atau seluruhnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak," ujarnya dalam rilis yang diterima Sindonews, Senin (16/1/2012).
Ditambahkan dia, tanah terlantar tersebut boleh digunakan selama tiga tahun atau lebih, jika tidak dimanfaatkan sejak tanggal pemberian hak diterbitkannya.
"Reforma Agraria harus memastikan penguasaan tanah, peran dan fungsi tanah yang mampu memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan kelestarian lingkungan, kedaulatan pangan, kemampuan produktivitas untuk melakukan re-investasi keluarga petani dan mendorong pembangunan ekonomi bangsa," tambahnya.
Pemerintah, tambah Rofi, perlu menanamkan budaya lahan kepada pemilik lahan pertanian. Setiap petani yang memiliki lahan harus mewariskan tanahnya, kepada salah satu anggota keluarganya untuk tetap dijadikan sebagai lahan pertanian.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memberikan berbagai macam insentif produksi, distribusi dan pemasaran untuk mendorong mereka bergairah dalam usaha petani. "Lahan pertanian tetap untuk pertanian, sedangkan lahan yang terlantar secara progresif dijadikan lahan pertanian sebelum untuk peruntukan lain," tegasnya.
Selama ini, lahan-lahan yang disengketakan atau tidak dimanfaatkan dibiarkan dalam ketidakjelasan. Jika pun dikelola, seringkali menyimpan konflik. Karena pengelolaan lahan tersebut mengesampingkan kepentingan umum, fungsi utama lahan, dan keberlanjutan lahan tersebut.
"Konflik agraria seringkali terjadi saat pengelolaan lahan dialihkan kepada pemilik modal yang mengesampingkan penggunaan lahan dan tata ruang. Desakan mengenai perlunya reformasi agraria lahir karena peralihan masif lahan pertanian kepada nonpertanian yang memprihatinkan selama ini," terangnya.
Reformasi agraria untuk mendorong pencetakan sawah, tambah Rofi, harus terus dilakukan mengingat desakan ketersediaan pangan dan ancaman krisis pangan mengintai sepanjang tahun. Penyelesaian konflik agraria seringkali hanya selesai di status kepemilikan, bukan pada subtansi penggunaan lahan tersebut.
Sepanjang tahun 1991-2008 konversi lahan sawah menjadi lahan nonpertanian sebesar 365.459 Ha, di kurun waktu yang sama penambahan luas sawah hanya sebesar 364.459 Ha. Sehingga hampir 18 tahun telah terjadi defisit sawah sekitar 1.000 Ha. Tahun 2006 sampai 2010 realisasi perluasan cetak sawah setiap tahunnya tidak pernah melebihi 25.000 Ha. (san)
()