Pilkada Aceh, kewenangan ada di KPU dan Pemerintah
A
A
A
Sindonews.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak akan memberi pendapat hukum soal kisruh yang terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Aceh.
Lembaga ini tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan fatwa terkait implikasi hukum tindakan pemerintah pada suatu persoalan.
“MK tidak boleh memberi pendapat, apakah (Pilkada Aceh) harus diteruskan atau tidak. MK itu hanya boleh memutus kalau ada perkara di sini,” ujar MK Mahfud MD kemarin.
Mahfud memberikan penjelasan setelah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafidz Anshary, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo bertandang ke MK kemarin.
Mereka meminta pendapat MK tentang kelanjutan Pilkada Aceh yang saat ini menemui berbagai kendala.
Menurut Mahfud, kelanjutan Pilkada Aceh mutlak menjadi kewenangan KPU dan pemerintah. Kedua unsur inilah yang berwenang menentukan Pilkada Aceh akan diteruskan, dihentikan sementara, atau opsi lain. Sedangkan MK hanya mengadili sengketa pilkada yang diperkarakan pada pengadilan MK, bahkan bisa menyebabkan kekacauan perbedaan tugas antara eksekutif dan yudikatif.
“Menurut MK itu (kelanjutan Pilkada Aceh) bukan perkara. Jika sudah dilaksanakan dan ada yang memerkarakan di sini, MK baru buat putusan.Bentuknya putusan hukum bukan pendapat hukum,” ungkapnya.
Sebelumnya Mendagri Gamawan Fauzi mengajukan gugatan terhadap KPU ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut untuk meminta agar KPU selaku penyelenggara pemilu bersedia membuka kembali waktu pendaftaran dalam Pilkada Aceh.
Hingga setelah masa pendaftaran ditutup, masih ada partai politik lain yang berhak, tapi belum mendaftarkan calonnya. “Yang kita gugat pasal terkait tahapan penyelenggaraan pilkada,”sebut dia. Dia menuturkan, partai politik yang belum sempat mendaftar itu perlu diberi ruang oleh KPU.
“Ini demi pemerintahan yang aman dan nyaman, demi keberlangsungan pemerintahan Aceh lima tahun mendatang, dan demi terwujudnya Aceh yang damai,” sebut dia. (*)
Lembaga ini tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan fatwa terkait implikasi hukum tindakan pemerintah pada suatu persoalan.
“MK tidak boleh memberi pendapat, apakah (Pilkada Aceh) harus diteruskan atau tidak. MK itu hanya boleh memutus kalau ada perkara di sini,” ujar MK Mahfud MD kemarin.
Mahfud memberikan penjelasan setelah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafidz Anshary, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo bertandang ke MK kemarin.
Mereka meminta pendapat MK tentang kelanjutan Pilkada Aceh yang saat ini menemui berbagai kendala.
Menurut Mahfud, kelanjutan Pilkada Aceh mutlak menjadi kewenangan KPU dan pemerintah. Kedua unsur inilah yang berwenang menentukan Pilkada Aceh akan diteruskan, dihentikan sementara, atau opsi lain. Sedangkan MK hanya mengadili sengketa pilkada yang diperkarakan pada pengadilan MK, bahkan bisa menyebabkan kekacauan perbedaan tugas antara eksekutif dan yudikatif.
“Menurut MK itu (kelanjutan Pilkada Aceh) bukan perkara. Jika sudah dilaksanakan dan ada yang memerkarakan di sini, MK baru buat putusan.Bentuknya putusan hukum bukan pendapat hukum,” ungkapnya.
Sebelumnya Mendagri Gamawan Fauzi mengajukan gugatan terhadap KPU ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan tersebut untuk meminta agar KPU selaku penyelenggara pemilu bersedia membuka kembali waktu pendaftaran dalam Pilkada Aceh.
Hingga setelah masa pendaftaran ditutup, masih ada partai politik lain yang berhak, tapi belum mendaftarkan calonnya. “Yang kita gugat pasal terkait tahapan penyelenggaraan pilkada,”sebut dia. Dia menuturkan, partai politik yang belum sempat mendaftar itu perlu diberi ruang oleh KPU.
“Ini demi pemerintahan yang aman dan nyaman, demi keberlangsungan pemerintahan Aceh lima tahun mendatang, dan demi terwujudnya Aceh yang damai,” sebut dia. (*)
()