Lembaga independen harus steril dari Parpol
A
A
A
Sindonews.com - DPR akan menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Penyelenggara Pemilu sebagai rujukan legislasi. Perlu ada batasan waktu bagi kader parpol untuk mundur sebelum mendaftar jadi anggota lembaga negara.
“Kami terpaksa menghormati dan mematuhi putusan MK itu. Tetapi ini justru memberikan inspirasi bagi DPR untuk menyusun UU agar semua lembaga negara bisa steril dan ada standardisasinya,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Diberitakan sebelumnya, MK pekan lalu mengabulkan gugatan uji materi UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. MK telah membatalkan pasal dalam UU Penyelenggara Pemilu yang membuka peluang parpol masuk KPU-Bawaslu. Hanya orang yang sudah tak berpartai sekurang-kurangnya lima tahun boleh mendaftar.
MK juga membatalkan keanggotaan unsur parpol dan pemerintah dalam Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pasal yang dibatalkan adalah Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i sepanjang frase “mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon” karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “sekurang-kurangnya dalam jangka waktu lima tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon”.
Menurut MK, penyelenggaraan pemilu tidak dapat diserahkan kepada pemerintah atau partai politik sebab berpotensi dipengaruhi dan dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan. Uji materi UU Penyelenggara Pemilu diajukan Aliansi MasyarakatSelamatkan Pemilu (Amankan Pemilu) yang terdiri atas 23 lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan 113 individu.
Menurut mereka, UU Penyelenggara Pemilu yang mengizinkan kader parpol mendaftar tanpa jeda waktu untuk menjadi anggota KPU dan Bawaslu bertentangan dengan konstitusi karena mengganggu kemandirian dan mengikat lembaga tersebut padake pentingan partai dan peserta pemilu.
Priyo mengungkapkan, pada awalnya DPR punya tafsir bahwa sifat mandiri itu tidak ada kaitannya dengan berapa lama seseorang mundur dari parpol ataupun jabatan publik di pemerintah dan BUMN.Karena itu sudah menjadi putusan yang mengikat, DPR harus mengambil sisi positifnya.
“Kita punya pikiran ke depan akan melakukan revisi UU MK dan UU BPK untuk memberikan standar seperti itu. Kalau sekarang kan seperti Pak Mahfud tidak ada tenggat waktu mundur dari parpol saat mendaftar sebagai hakim MK,” ujarnya.
Menurut Priyo, untuk lembaga independen ke depan memang lebih baik punya standar sama yang adil dan tidak multitafsir. Dengan begitu, peluang kalangan profesional dan akademisi bisa lebih bisa dioptimalkan.
Wakil Ketua DPR dari PKS Anis Matta juga menyatakan ke depan perlu ada standar baku untuk pengisian lembaga negara yang berbasis profesionalisme. Tenggat waktu itu bisa fleksibel, berapa lama harus mundur. Tetapi, putusan MK bahwa ada batasan minimal lima tahun harus mundur dari parpol dan jabatan publik di pemerintah dan BUMN bisa menjadi acuan.
“Saya setuju semua jabatan publik yang berbasis profesionalisme dibuat standar. Orang partai tidak dilarang masuk,tetapiadastandarnya,” tandasnya. Pakar hukum tata negara dari UI yang juga mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, seharusnya memang ada standardisasi yang jelas untuk perekrutan anggota lembaga negara independen. “Karena itu, saya mendukung jika DPR punya pemikiran seperti itu,” katanya.
Jimly bahkan menekankan, MK dan BPK juga sejak awal melakukan revisi, sudah memasukkan standar tersebut. Apalagi MK yang menangani sengketa antarlembaga dan sengketa parpol.
Menurut Jimly, untuk lembaga seperti MK yang mengedepankan kenegarawanan seseorang harusnya jelas standarnya. Termasuk juga untuk lembaga lain seperti KPK, Komnas HAM,KPU, Bawaslu, BPK,serta KY. “Soal mandiri memang bisa ditafsirkan lain-lain. Tetapi penting untuk ada jarak psikologisnya,” katanya.
Juru bicara Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjelaskan, batasan minimal waktu lima tahun untuk mundur sebelum menduduki jabatan pada lembaga independen adalah konstitusional. Istilah mandiri dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 merujuk pada pengertian konsep nonpartisan yang tidak memihak pada partai atau kontestan pemilihan umum lainnya yang harus dimiliki para komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Pada beberapa negara memang anggota KPU bisa dari partai politik.Tapi,pilihan politik bangsa kita dalam konstitusi menjelaskan bahwa anggota KPU tidak boleh berasal dari partai. Itu pilihan politik,” katanya kemarin.
Dia meminta para legislator menahan emosi menyikapi putusan - putusan MK. Dalam pengujian UU, MK memang sering membuat putusan yang ekstrem dengan membatalkan banyak pasal krusial.
Namun, dalam putusan pengujian UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, MK hanya meluruskan makna mandiri berdasarkan UUD 1945 Pasal 22 E ayat 5 tentang penyelenggara pemilu yang harus independen dan bebas dari kepentingan parpol. Salah satu pertimbangannya adalah risalah perdebatan amendemen UUD 1945.
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) saat itu mengevaluasi bahwa pemilu harus dilaksanakan oleh lembaga independen berdasarkan evaluasi lembaga penyelenggara pemilu sebelumnya, yaitu saat di bawah pemerintah dan saat KPU diisi perwakilan partai. (*)
“Kami terpaksa menghormati dan mematuhi putusan MK itu. Tetapi ini justru memberikan inspirasi bagi DPR untuk menyusun UU agar semua lembaga negara bisa steril dan ada standardisasinya,” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Diberitakan sebelumnya, MK pekan lalu mengabulkan gugatan uji materi UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. MK telah membatalkan pasal dalam UU Penyelenggara Pemilu yang membuka peluang parpol masuk KPU-Bawaslu. Hanya orang yang sudah tak berpartai sekurang-kurangnya lima tahun boleh mendaftar.
MK juga membatalkan keanggotaan unsur parpol dan pemerintah dalam Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pasal yang dibatalkan adalah Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i sepanjang frase “mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon” karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “sekurang-kurangnya dalam jangka waktu lima tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon”.
Menurut MK, penyelenggaraan pemilu tidak dapat diserahkan kepada pemerintah atau partai politik sebab berpotensi dipengaruhi dan dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan. Uji materi UU Penyelenggara Pemilu diajukan Aliansi MasyarakatSelamatkan Pemilu (Amankan Pemilu) yang terdiri atas 23 lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan 113 individu.
Menurut mereka, UU Penyelenggara Pemilu yang mengizinkan kader parpol mendaftar tanpa jeda waktu untuk menjadi anggota KPU dan Bawaslu bertentangan dengan konstitusi karena mengganggu kemandirian dan mengikat lembaga tersebut padake pentingan partai dan peserta pemilu.
Priyo mengungkapkan, pada awalnya DPR punya tafsir bahwa sifat mandiri itu tidak ada kaitannya dengan berapa lama seseorang mundur dari parpol ataupun jabatan publik di pemerintah dan BUMN.Karena itu sudah menjadi putusan yang mengikat, DPR harus mengambil sisi positifnya.
“Kita punya pikiran ke depan akan melakukan revisi UU MK dan UU BPK untuk memberikan standar seperti itu. Kalau sekarang kan seperti Pak Mahfud tidak ada tenggat waktu mundur dari parpol saat mendaftar sebagai hakim MK,” ujarnya.
Menurut Priyo, untuk lembaga independen ke depan memang lebih baik punya standar sama yang adil dan tidak multitafsir. Dengan begitu, peluang kalangan profesional dan akademisi bisa lebih bisa dioptimalkan.
Wakil Ketua DPR dari PKS Anis Matta juga menyatakan ke depan perlu ada standar baku untuk pengisian lembaga negara yang berbasis profesionalisme. Tenggat waktu itu bisa fleksibel, berapa lama harus mundur. Tetapi, putusan MK bahwa ada batasan minimal lima tahun harus mundur dari parpol dan jabatan publik di pemerintah dan BUMN bisa menjadi acuan.
“Saya setuju semua jabatan publik yang berbasis profesionalisme dibuat standar. Orang partai tidak dilarang masuk,tetapiadastandarnya,” tandasnya. Pakar hukum tata negara dari UI yang juga mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, seharusnya memang ada standardisasi yang jelas untuk perekrutan anggota lembaga negara independen. “Karena itu, saya mendukung jika DPR punya pemikiran seperti itu,” katanya.
Jimly bahkan menekankan, MK dan BPK juga sejak awal melakukan revisi, sudah memasukkan standar tersebut. Apalagi MK yang menangani sengketa antarlembaga dan sengketa parpol.
Menurut Jimly, untuk lembaga seperti MK yang mengedepankan kenegarawanan seseorang harusnya jelas standarnya. Termasuk juga untuk lembaga lain seperti KPK, Komnas HAM,KPU, Bawaslu, BPK,serta KY. “Soal mandiri memang bisa ditafsirkan lain-lain. Tetapi penting untuk ada jarak psikologisnya,” katanya.
Juru bicara Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjelaskan, batasan minimal waktu lima tahun untuk mundur sebelum menduduki jabatan pada lembaga independen adalah konstitusional. Istilah mandiri dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 merujuk pada pengertian konsep nonpartisan yang tidak memihak pada partai atau kontestan pemilihan umum lainnya yang harus dimiliki para komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Pada beberapa negara memang anggota KPU bisa dari partai politik.Tapi,pilihan politik bangsa kita dalam konstitusi menjelaskan bahwa anggota KPU tidak boleh berasal dari partai. Itu pilihan politik,” katanya kemarin.
Dia meminta para legislator menahan emosi menyikapi putusan - putusan MK. Dalam pengujian UU, MK memang sering membuat putusan yang ekstrem dengan membatalkan banyak pasal krusial.
Namun, dalam putusan pengujian UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, MK hanya meluruskan makna mandiri berdasarkan UUD 1945 Pasal 22 E ayat 5 tentang penyelenggara pemilu yang harus independen dan bebas dari kepentingan parpol. Salah satu pertimbangannya adalah risalah perdebatan amendemen UUD 1945.
Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) saat itu mengevaluasi bahwa pemilu harus dilaksanakan oleh lembaga independen berdasarkan evaluasi lembaga penyelenggara pemilu sebelumnya, yaitu saat di bawah pemerintah dan saat KPU diisi perwakilan partai. (*)
()