Komnas HAM: Polisi salahi protap di Bima
A
A
A
Sindonews.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas) HAM kembali menemukan fakta baru terkait bentrok massa dengan aparat di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Polisi telah melakukan pelanggaran tahapan penanganan massa.
Menurut anggota Komnas HAM M Ridha Saleh, dari hasil investigasi langsung yang dilakukan pihaknya disimpulkan, aparat telah melakukan pelanggaran saat membubarkan massa. Jika polisi berdalih sudah sesuai prosedur tetap (protap) berarti mereka telah melompati dua tahapan, yang seharusnya melewati lima tahanan lebih dulu.
"Polisi dalam membubarkan massa sudah melompati dua tahapan dari lima tahapan yang seharusnya dilaksanakan. Mereka langsung menggunakan senjata api melawan pendemo, ini jelas pelanggaran HAM," kata Ridha.
Saat menggelar demo, warga memang melengkapi diri dengan senjata tajam, tapi senjata tajam tu hanyalah simbol perlawanan terhadap keberadaan perusahaan tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara. Bukan untuk melawan dan melakukan perusakan seperti alasan polisi selama ini.
Fakta lain berdasarkan keterangan warga setempat, sekira pukul 06.00, 24 Desember 2011, sebelum menangani demo polisi telah melakukan gelar pasukan sebanyak 897 personel di Polsek Sape, dengan dipimpin Kapolresta Bima.
Mereka diimbau untuk melakukan tindakan hukum. Padahal, sehari sebelumnya sudah ada dialog bupati dengan masyarakat dan disepakati untuk menghentikan sementara operasional PT SMN itu.
Selain investigasi, berdasar bukti video milik Komnas HAM, terekam jelas tindakan represif polisi. Para pendemo yang jumlahnya kurang lebih 100 orang sebenarnya sudah memenuhi perintah polisi untuk duduk dan meletakkan senjata tajam tanpa perlawanan. Tapi, anggota Brigadir Mobile (Brimob) tetap memukul dan menembaki. Pendemo yang menyerah dipukuli, diseret dan ditendang.
"Fungsi pengendali massa (Dalmas) ternyata tidak digunakan, polisi langusng menerjunkan Brimbob. Water cannon ternya juga tidak dipakai untuk menghalau massa, dengan alasan khawatir masuk ke laut," papar Ridha. Dalam video tersebut juga terlihat petugas tengah memunguti peluru yang berserakan di lokasi penembakan.
Sementara mengenai jumlah korban tewas akibat rusuh itu, menurut versi Komnas HAM tetap tiga. Temuan ini berbeda dengan versi kepolisian yang menyebut dua korban meninggal yakni Arif Rahman (19) dan Syaiful (17).
"Korban ketiga adalah Syarifudin (46), salah seorang demonstran yang telah mengikuti demo sejak 19 Desember. Korban ditemukan tewas di depan rumah dan terlihat bercakan darah di pantat," jelas Ridha.
Memang, lanjut Ridha, korban ketiga ini tidak diautopsi, karena keluarga menolak dengan alasan adat. Maka itu, Ridha meminta agar polisi berkaca dan mengevaluasi kinerjanya. "Mudah-mudahan temuan ini menjadi bahan pembelajaran dan evaluasi polri dalam melaksanakan protapnya," tambahnya.
Sekedar untuk diketahui, Protap yang selama ini digunakan polisi dalam menangani demo dibuat era Kapolri Jenderal (pur) Bambang Hendarso Danuri. Isi protap Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarkis terhadap pendemo isinya sebagai berikut:
Polri pertama kali berkewajiban memperingatkan. Jika tidak diindahkan maka Polri dapat membekuk. Jika melawan maka Polri boleh melumpuhkan dengan menembak bagian tubuh tertentu, seperti kaki agar tidak dapat berlari.
Kalau tindakan seseorang mengancam kehidupan anggota Polri seperti menodongkan pistol atau membawa senjata tajam, kemudian senjata itu memang disiapkan untuk menyerang Polri, maka bisa saja ditembak mati. (lin)
Menurut anggota Komnas HAM M Ridha Saleh, dari hasil investigasi langsung yang dilakukan pihaknya disimpulkan, aparat telah melakukan pelanggaran saat membubarkan massa. Jika polisi berdalih sudah sesuai prosedur tetap (protap) berarti mereka telah melompati dua tahapan, yang seharusnya melewati lima tahanan lebih dulu.
"Polisi dalam membubarkan massa sudah melompati dua tahapan dari lima tahapan yang seharusnya dilaksanakan. Mereka langsung menggunakan senjata api melawan pendemo, ini jelas pelanggaran HAM," kata Ridha.
Saat menggelar demo, warga memang melengkapi diri dengan senjata tajam, tapi senjata tajam tu hanyalah simbol perlawanan terhadap keberadaan perusahaan tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara. Bukan untuk melawan dan melakukan perusakan seperti alasan polisi selama ini.
Fakta lain berdasarkan keterangan warga setempat, sekira pukul 06.00, 24 Desember 2011, sebelum menangani demo polisi telah melakukan gelar pasukan sebanyak 897 personel di Polsek Sape, dengan dipimpin Kapolresta Bima.
Mereka diimbau untuk melakukan tindakan hukum. Padahal, sehari sebelumnya sudah ada dialog bupati dengan masyarakat dan disepakati untuk menghentikan sementara operasional PT SMN itu.
Selain investigasi, berdasar bukti video milik Komnas HAM, terekam jelas tindakan represif polisi. Para pendemo yang jumlahnya kurang lebih 100 orang sebenarnya sudah memenuhi perintah polisi untuk duduk dan meletakkan senjata tajam tanpa perlawanan. Tapi, anggota Brigadir Mobile (Brimob) tetap memukul dan menembaki. Pendemo yang menyerah dipukuli, diseret dan ditendang.
"Fungsi pengendali massa (Dalmas) ternyata tidak digunakan, polisi langusng menerjunkan Brimbob. Water cannon ternya juga tidak dipakai untuk menghalau massa, dengan alasan khawatir masuk ke laut," papar Ridha. Dalam video tersebut juga terlihat petugas tengah memunguti peluru yang berserakan di lokasi penembakan.
Sementara mengenai jumlah korban tewas akibat rusuh itu, menurut versi Komnas HAM tetap tiga. Temuan ini berbeda dengan versi kepolisian yang menyebut dua korban meninggal yakni Arif Rahman (19) dan Syaiful (17).
"Korban ketiga adalah Syarifudin (46), salah seorang demonstran yang telah mengikuti demo sejak 19 Desember. Korban ditemukan tewas di depan rumah dan terlihat bercakan darah di pantat," jelas Ridha.
Memang, lanjut Ridha, korban ketiga ini tidak diautopsi, karena keluarga menolak dengan alasan adat. Maka itu, Ridha meminta agar polisi berkaca dan mengevaluasi kinerjanya. "Mudah-mudahan temuan ini menjadi bahan pembelajaran dan evaluasi polri dalam melaksanakan protapnya," tambahnya.
Sekedar untuk diketahui, Protap yang selama ini digunakan polisi dalam menangani demo dibuat era Kapolri Jenderal (pur) Bambang Hendarso Danuri. Isi protap Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarkis terhadap pendemo isinya sebagai berikut:
Polri pertama kali berkewajiban memperingatkan. Jika tidak diindahkan maka Polri dapat membekuk. Jika melawan maka Polri boleh melumpuhkan dengan menembak bagian tubuh tertentu, seperti kaki agar tidak dapat berlari.
Kalau tindakan seseorang mengancam kehidupan anggota Polri seperti menodongkan pistol atau membawa senjata tajam, kemudian senjata itu memang disiapkan untuk menyerang Polri, maka bisa saja ditembak mati. (lin)
()