Dampak Corona, Pemutusan Kerja Sama Diharap Perhatikan Sisi Kemanusiaan
A
A
A
JAKARTA - Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat dilaporkan ke Ombudsman karena memutuskan kerja sama dengan PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) secara sepihak.
Pengaduan tersebut disampaikan oleh Kuasa Hukum PT SIM, Khresna Guntarto. Pengaduannya telah diterima oleh bagian pengaduan Ombudsman, Rabu (8/4/2020).
"Pemutusan kerja sama itu diduga sarat maladministrasi dan tidak manusiawi, karena dilakukan di tengah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) akibat mewabahnya penyakit virus corona 2019 (COVID-19)," jelas kuasa hukum PT SIM dalam keterangan pers, Rabu (8/4/2020).
"Keputusan Pemerintah Provinsi NTT juga kontradiktif dengan kebijakan relaksasi, stimulus dan insentif yang disampaikan Pemerintah Pusat untuk bidang perekonomian guna mengatasi dampak Covid-19," sambungnya.
Menurut kuasa hukum dalam rilisnya, PT SIM merupakan mitra kerja dalam pengelolaan asset Pemprov NTT di kawasan wisata patai Pede, Labuhan Bajo, Manggarai Barat, NTT.
PT SIM membangun Hotel dan beberapa stand di kawasan wisata pantai Pede. Hubungan kemitraan kerja antara PT SIM dan Pemerintah Provinsi NTT cq. Gubernur NTT sebagaimana Perjanjian Kerja sama No.HK.530 Tahun 2014-No.04/SIM/Dirut/V/14 tanggal 23 Mei 2014 (PKS tanggal 23 Mei 2014).
Kerja sama tersebut memiliki jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun terhitung sejak tanggal beroperasi dan memiliki besaran kontribusi yang telah ditetapkan berdasarkan penelaahan, penelitian dan penilaian oleh Pemerintah Provinsi NTT.
Keputusan Pemutusan Hubungan Kerja sepihak oleh Pemerintah Provinsi NTT kepada PT SIM dilakukan berdasarkan Surat Sekretariat Daerah Pemprov NTT Nomor: BU.030/60/BPAD/2020 tanggal 31 Maret 2020. Kemudian perintah pengosongan bangunan dilakukan berdasarkan Surat Peringatan Pertama (SP-1) dari Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi NTT Nomor: BU.030/61/BPAD/2020 tanggal 01 April 2020.
"Namun pada saat PT. SIM, yang mati-matian sedang mempertahankan usaha perhotelan dalam kondisi sulit seperti saat ini, malah dipaksa untuk gulung tikar akibat desakan Pemerintah Provinsi NTT kepada PT. SIM untuk menyerahkan bangunan dan meninggalkan lokasi Pantai Pede," kata Khresna Guntarto.
Menurut kuasa hukum PT SIM, Kesewenang-wenangan Pemerintah Provinsi NTT semakin terlihat jelas dengan mengabaikan tata cara pengakhiran perjanjian yang diatur di dalam Pasal 237 Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Pemutusan hubungan kerja dilakukan dengan jalan pintas tanpa didahului peringatan yang harus dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dan masing-masing peringatan memiliki jangka waktu 30 (tiga puluh hari) kalender.
"PT SIM menolak pemutusan secara sepihak dan keberatan untuk menyerahkan bangunan. Sebab, surat pemutusan kerja sama tersebut didasarkan pada fitnah yang bertentangan dengan fakta sesungguhnya. PT. SIM tidak pernah terlambat atau menunggak pembayaran biaya kontribusi tahunan pada 2015/2017 sebagaimana dituduhkan dalam surat pemutusan hubungan kerja," kata Khresna Guntarto.
PT SIM, lanjut keterangan dalam rilis kuasa hukum, selalu membayar biaya kontribusi tahunan sesuai Perjanjian Kerja Sama yang telah disepakati mulai dari tahun 2017 sampai 2019, serta terus berkomitmen untuk membayar kontribusi tahunan dan pembagian hasil sebesar 10% di tahun ke-10.
Pembayaran kontribusi baru dilakukan sejak 2017 karena tahun 2014 s/d 2016 adalah masa konstruksi yang belum dikenakan kewajiban membayar kontribusi.
"Klien kami PT SIM baru memulai kegiatan uji coba operasional setelah pembangunan hotel selesai dibangun pada bulan Juni tahun 2019. Selama proses pembangunan juga menghadapi banyak kendala.
Walau menghadapi kendala menurut Khresna, selama pembangunan dan baru memulai uji coba pada Juni 2019, PT SIM tetap melaksanakan pembayaran kontribusi tepat waktu sejak hotel selesai dibangun pada 2017 sesuai dengan PKS tanggal 23 Mei 2014.
"Oleh sebab itu, alasan pemutusan kerja sama tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur Pasal 236 Ayat (2) Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah," tegasnya.
"Gubernur Pemerintah Provinsi NTT sebagai Terlapor dapat dikategorikan melakukan perbuatan maladministrasi, karena telah mengabaikan kewajiban hukum dalam penyelenggaraan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Daerah dan Pemerintahan Daerah," sambung Khresna.
Lebih lanjut dia mengatakan, selain pengaduan kepada Ombudsman, PT SIM juga mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Presiden RI dan ke Menteri Dalam Negeri selaku pengawas jalannya pemerintahan daerah.
Permohonan perlindungan hukum disampaikan pada hari yang sama dengan pengaduan ke Ombudsman RI, Rabu (8/4/2020). PT SIM memohon kepada Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri RI dapat memerintahka.
"Atau mengingatkan Pemerintah Provinsi NTT agar bijaksana dan manusiawi terhadap para mitra kerja sama ataupun para pelaku usaha di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur," ungkapnya.
"PT SIM juga mengharapkan agar terwujud penyelesaian yang terbaik atas persoalan pemutusan hubungan kerja yang terjadi, dengan tetap memperhatikan situasi nasional dan internasional saat ini yang sedang menghadapi persoalan wabah penyakit COVID-19," tambahnya.
Pengaduan tersebut disampaikan oleh Kuasa Hukum PT SIM, Khresna Guntarto. Pengaduannya telah diterima oleh bagian pengaduan Ombudsman, Rabu (8/4/2020).
"Pemutusan kerja sama itu diduga sarat maladministrasi dan tidak manusiawi, karena dilakukan di tengah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) akibat mewabahnya penyakit virus corona 2019 (COVID-19)," jelas kuasa hukum PT SIM dalam keterangan pers, Rabu (8/4/2020).
"Keputusan Pemerintah Provinsi NTT juga kontradiktif dengan kebijakan relaksasi, stimulus dan insentif yang disampaikan Pemerintah Pusat untuk bidang perekonomian guna mengatasi dampak Covid-19," sambungnya.
Menurut kuasa hukum dalam rilisnya, PT SIM merupakan mitra kerja dalam pengelolaan asset Pemprov NTT di kawasan wisata patai Pede, Labuhan Bajo, Manggarai Barat, NTT.
PT SIM membangun Hotel dan beberapa stand di kawasan wisata pantai Pede. Hubungan kemitraan kerja antara PT SIM dan Pemerintah Provinsi NTT cq. Gubernur NTT sebagaimana Perjanjian Kerja sama No.HK.530 Tahun 2014-No.04/SIM/Dirut/V/14 tanggal 23 Mei 2014 (PKS tanggal 23 Mei 2014).
Kerja sama tersebut memiliki jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun terhitung sejak tanggal beroperasi dan memiliki besaran kontribusi yang telah ditetapkan berdasarkan penelaahan, penelitian dan penilaian oleh Pemerintah Provinsi NTT.
Keputusan Pemutusan Hubungan Kerja sepihak oleh Pemerintah Provinsi NTT kepada PT SIM dilakukan berdasarkan Surat Sekretariat Daerah Pemprov NTT Nomor: BU.030/60/BPAD/2020 tanggal 31 Maret 2020. Kemudian perintah pengosongan bangunan dilakukan berdasarkan Surat Peringatan Pertama (SP-1) dari Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi NTT Nomor: BU.030/61/BPAD/2020 tanggal 01 April 2020.
"Namun pada saat PT. SIM, yang mati-matian sedang mempertahankan usaha perhotelan dalam kondisi sulit seperti saat ini, malah dipaksa untuk gulung tikar akibat desakan Pemerintah Provinsi NTT kepada PT. SIM untuk menyerahkan bangunan dan meninggalkan lokasi Pantai Pede," kata Khresna Guntarto.
Menurut kuasa hukum PT SIM, Kesewenang-wenangan Pemerintah Provinsi NTT semakin terlihat jelas dengan mengabaikan tata cara pengakhiran perjanjian yang diatur di dalam Pasal 237 Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Pemutusan hubungan kerja dilakukan dengan jalan pintas tanpa didahului peringatan yang harus dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dan masing-masing peringatan memiliki jangka waktu 30 (tiga puluh hari) kalender.
"PT SIM menolak pemutusan secara sepihak dan keberatan untuk menyerahkan bangunan. Sebab, surat pemutusan kerja sama tersebut didasarkan pada fitnah yang bertentangan dengan fakta sesungguhnya. PT. SIM tidak pernah terlambat atau menunggak pembayaran biaya kontribusi tahunan pada 2015/2017 sebagaimana dituduhkan dalam surat pemutusan hubungan kerja," kata Khresna Guntarto.
PT SIM, lanjut keterangan dalam rilis kuasa hukum, selalu membayar biaya kontribusi tahunan sesuai Perjanjian Kerja Sama yang telah disepakati mulai dari tahun 2017 sampai 2019, serta terus berkomitmen untuk membayar kontribusi tahunan dan pembagian hasil sebesar 10% di tahun ke-10.
Pembayaran kontribusi baru dilakukan sejak 2017 karena tahun 2014 s/d 2016 adalah masa konstruksi yang belum dikenakan kewajiban membayar kontribusi.
"Klien kami PT SIM baru memulai kegiatan uji coba operasional setelah pembangunan hotel selesai dibangun pada bulan Juni tahun 2019. Selama proses pembangunan juga menghadapi banyak kendala.
Walau menghadapi kendala menurut Khresna, selama pembangunan dan baru memulai uji coba pada Juni 2019, PT SIM tetap melaksanakan pembayaran kontribusi tepat waktu sejak hotel selesai dibangun pada 2017 sesuai dengan PKS tanggal 23 Mei 2014.
"Oleh sebab itu, alasan pemutusan kerja sama tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur Pasal 236 Ayat (2) Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah," tegasnya.
"Gubernur Pemerintah Provinsi NTT sebagai Terlapor dapat dikategorikan melakukan perbuatan maladministrasi, karena telah mengabaikan kewajiban hukum dalam penyelenggaraan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Daerah dan Pemerintahan Daerah," sambung Khresna.
Lebih lanjut dia mengatakan, selain pengaduan kepada Ombudsman, PT SIM juga mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Presiden RI dan ke Menteri Dalam Negeri selaku pengawas jalannya pemerintahan daerah.
Permohonan perlindungan hukum disampaikan pada hari yang sama dengan pengaduan ke Ombudsman RI, Rabu (8/4/2020). PT SIM memohon kepada Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri RI dapat memerintahka.
"Atau mengingatkan Pemerintah Provinsi NTT agar bijaksana dan manusiawi terhadap para mitra kerja sama ataupun para pelaku usaha di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur," ungkapnya.
"PT SIM juga mengharapkan agar terwujud penyelesaian yang terbaik atas persoalan pemutusan hubungan kerja yang terjadi, dengan tetap memperhatikan situasi nasional dan internasional saat ini yang sedang menghadapi persoalan wabah penyakit COVID-19," tambahnya.
(maf)