Alur Permohonan PSBB Dinilai Membingungkan, Seharusnya Top Down
A
A
A
JAKARTA - Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini dinilai memperlambat penghentian mata rantai penyebaran wabah virus corona atau Covid-19.
Pasalnya, alur bagi Pemerintah Daerah (Pemda) yang hendak mengajukan itu cukup panjang dan membuat keputusan PSBB daerah menjadi lamban.
"Di permenkes ini diatur bagaimana prosedur permohonan pemda ke pemerintah pusat jika ingin daerahnya diputuskan sebagai PSBB oleh pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Kesehatan," kata Sekretaris Bendahara Fraksi Demokrat DPR Irwan saat dihubungi, Selasa (7/4/2020).
"Alurnya yakni, surat permohonan, data peningkatan menurut waktu, buat kurva epidemiologi, data dan peta penyebaran, transmisi lokal, kesiapan daerah, koordinasi dengan Gugus Tugas, dibahas Tim, dikirim ke Menteri, dipertimbangkan lalu diputuskan," tambahnya.
(Baca juga: Menkes Setujui PSBB Jakarta, Pemerintah Ungkap Manfaatnya)
Irwan menilai dengan alur tersebut, akhirnya virus sudah kadung berkembang biak di seluruh tubuh rakyat Indonesia. Alur tersebut membingungkan, karena Menkes sebagai penanggung jawab kedaruratan kesehatan harus menunggu permohonan dari Pemda untuk menerapkan PSBB.
Dia memahami, jika status kedaruratan ini sifatnya nasional. Sehingga, ditetapkan oleh Presiden lewat Kepres Nomor 11 Tahun 2020 tentang penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat, dan artinya itu adalah kewenangan Pemerintah Pusat. Tapi, dia mempertanyakan logika alur pengajuan itu.
"Jadi kenapa harus dibutuhkan permohonan pemerintah daerah dulu untuk menetapkan PSBB? Logikanya, logikaku ataupun logikamu. Kalau tergantung daerah ya enggak perlu ada status kedaruratan sekalipun maka pemda sudah pada karantina wilayah, bukan PSBB lagi," tukasnya.
Legislator asal Kalimantan Timur ini juga menemukan kejanggalan lain dalam Permenkes PSBB itu. Saat gubernur, bupati, wali kota dan ketua gugus tugas diminta mengusulkan kepada Menkes, lalu Menkes menetapkan. Tetapi, tidak diatur jika Menkes menolak itu atau jika Pemda tidak mengusulkan.
"Kelihatan amburadul. Lagian ini peraturan dibuat ceritanya agar demokratis, bottom up, menyerap dari bawah. Yang benar aja, dalam keadaan darurat justru yang logis harusnya top down. Tegas dari atas," tegas Irwan.
"Tentu kita bisa tebak. Tidak salah lagi. Penyebabnya itu lagi-itu lagi. Pemerintah pusat tidak ingin menanggung biaya PSBB. Tergantung pada kesiapan daerah. Daerah yang mengusulkan. Sudah jatuh ketimpa tangga pula," sesalnya.
Pasalnya, alur bagi Pemerintah Daerah (Pemda) yang hendak mengajukan itu cukup panjang dan membuat keputusan PSBB daerah menjadi lamban.
"Di permenkes ini diatur bagaimana prosedur permohonan pemda ke pemerintah pusat jika ingin daerahnya diputuskan sebagai PSBB oleh pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Kesehatan," kata Sekretaris Bendahara Fraksi Demokrat DPR Irwan saat dihubungi, Selasa (7/4/2020).
"Alurnya yakni, surat permohonan, data peningkatan menurut waktu, buat kurva epidemiologi, data dan peta penyebaran, transmisi lokal, kesiapan daerah, koordinasi dengan Gugus Tugas, dibahas Tim, dikirim ke Menteri, dipertimbangkan lalu diputuskan," tambahnya.
(Baca juga: Menkes Setujui PSBB Jakarta, Pemerintah Ungkap Manfaatnya)
Irwan menilai dengan alur tersebut, akhirnya virus sudah kadung berkembang biak di seluruh tubuh rakyat Indonesia. Alur tersebut membingungkan, karena Menkes sebagai penanggung jawab kedaruratan kesehatan harus menunggu permohonan dari Pemda untuk menerapkan PSBB.
Dia memahami, jika status kedaruratan ini sifatnya nasional. Sehingga, ditetapkan oleh Presiden lewat Kepres Nomor 11 Tahun 2020 tentang penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat, dan artinya itu adalah kewenangan Pemerintah Pusat. Tapi, dia mempertanyakan logika alur pengajuan itu.
"Jadi kenapa harus dibutuhkan permohonan pemerintah daerah dulu untuk menetapkan PSBB? Logikanya, logikaku ataupun logikamu. Kalau tergantung daerah ya enggak perlu ada status kedaruratan sekalipun maka pemda sudah pada karantina wilayah, bukan PSBB lagi," tukasnya.
Legislator asal Kalimantan Timur ini juga menemukan kejanggalan lain dalam Permenkes PSBB itu. Saat gubernur, bupati, wali kota dan ketua gugus tugas diminta mengusulkan kepada Menkes, lalu Menkes menetapkan. Tetapi, tidak diatur jika Menkes menolak itu atau jika Pemda tidak mengusulkan.
"Kelihatan amburadul. Lagian ini peraturan dibuat ceritanya agar demokratis, bottom up, menyerap dari bawah. Yang benar aja, dalam keadaan darurat justru yang logis harusnya top down. Tegas dari atas," tegas Irwan.
"Tentu kita bisa tebak. Tidak salah lagi. Penyebabnya itu lagi-itu lagi. Pemerintah pusat tidak ingin menanggung biaya PSBB. Tergantung pada kesiapan daerah. Daerah yang mengusulkan. Sudah jatuh ketimpa tangga pula," sesalnya.
(maf)