Kritik Telegram Kapolri, Imparsial: Polisi Jangan Eksesif dan Mengada-ada
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Imparsial Hussein Ahmad menilai Surat Telegram Kapolri Jenderal Idham Azis Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tertanggal 4 April 2020 sarat pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Poin krusial yang dikritiknya yaitu mengenai penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara.
“Surat tersebut sangat berpotensi membungkam kritik masyarakat yang kecewa dan tidak puas dengan cara pemerintah menangani pandemi Covid-19 yang amburadul. Padahal, pasal penghinaan presiden sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006,” ujar Hussein saat dihubungi SINDOnews, Selasa (7/4/2020). (Baca juga: Tangkap Orang Berkerumun di Tengah Wabah COVID-19, Langkah Polisi Dianggap Keliru )
Dia menduga arahan dari Kapolri tersebut justru seakan melarang kebebasan berpendapat. Sebab, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, kemerdekaan berpendapat merupakan bagaian dari hak asasi manusia yang pembatasannya hanya melalui UU.
“Jadi, TR (telegram rahasia) ini tidak boleh mengada-ngadakan aturan hukum yang membatasi HAM,” tegas dia.
Lebih lanjut Hussein menilai sebaiknya Korps Bhayangkara itu lebih memfokuskan pada masalah pokok yakni membantu pemerintah sipil dalam menangani pandemi COVID-19. Misalnya, menggalakkan Bhabinkamtibmas untuk menyosialisasikan bahaya COVID-19 ketimbang memenjarakan orang yang kritis pada kebijakan pemerintah.
Polisi juga harus mengedepankan fungsi perlindungan dan pengayoman. Bukan melakukan pendekatan penegakan hukum yang justru cenderung eksesif.
“Sederhananya, jangan malah sibuk sendiri menangkap masyarakat yang kini hidupnya juga sudah susah karena pandemi COVID-19. Kritik terhadap pemerintah seharusnya dipahami sebagai partisipasi masyarakat atas jalannya pemerintahan untuk mengkoreksi kebijakan-kebijak yang sangat mungkin salah,” keluh Hussein.
Kendati demikian, dia menilai polisi bisa saja melakukan penangkapan. Apalagi dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Termasuk adanya Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan yang isinya mengatur bahwa ‘Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)’.
“Tapi, polisi harus bertindak proporsional dan tetap hati-hati, jangan sampai eksesif. Karena kita juga sedang mengalami over populasi di rutan dan lapas,” singgung dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Markas Besar Kepolisian RI mengeluarkan Surat Telegram Polri No: ST/1100/IV/HUK.71./2020 yang ditujukan kepada Kabareskrim dan setiap Kapolda sebagai bentuk pedoman menangani tindak pidana pada ranah siber selama masa pandemi COVID-19.
Beberapa tindakan kejahatan yang menjadi fokus pada surat telegram tersebut adalah terkait penyebaran berita bohong atau hoaks dan penghinaan kepada Presiden atau pejabat pemerintah mengenai situasi COVID-19. (Baca juga: Kritisi Telegram Kapolri, YLBHI: Pasal Penghinaan Presiden Sudah Dicabut MK )
Selain itu, Kapolri menginstruksikan kepada jajarannya untuk melaksanakan patroli siber dan melakukan penegakan hukum secara tegas apabila ditemukan aktivitas penyebaran berita bohong dan penghinaan tersebut.
“Surat tersebut sangat berpotensi membungkam kritik masyarakat yang kecewa dan tidak puas dengan cara pemerintah menangani pandemi Covid-19 yang amburadul. Padahal, pasal penghinaan presiden sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006,” ujar Hussein saat dihubungi SINDOnews, Selasa (7/4/2020). (Baca juga: Tangkap Orang Berkerumun di Tengah Wabah COVID-19, Langkah Polisi Dianggap Keliru )
Dia menduga arahan dari Kapolri tersebut justru seakan melarang kebebasan berpendapat. Sebab, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, kemerdekaan berpendapat merupakan bagaian dari hak asasi manusia yang pembatasannya hanya melalui UU.
“Jadi, TR (telegram rahasia) ini tidak boleh mengada-ngadakan aturan hukum yang membatasi HAM,” tegas dia.
Lebih lanjut Hussein menilai sebaiknya Korps Bhayangkara itu lebih memfokuskan pada masalah pokok yakni membantu pemerintah sipil dalam menangani pandemi COVID-19. Misalnya, menggalakkan Bhabinkamtibmas untuk menyosialisasikan bahaya COVID-19 ketimbang memenjarakan orang yang kritis pada kebijakan pemerintah.
Polisi juga harus mengedepankan fungsi perlindungan dan pengayoman. Bukan melakukan pendekatan penegakan hukum yang justru cenderung eksesif.
“Sederhananya, jangan malah sibuk sendiri menangkap masyarakat yang kini hidupnya juga sudah susah karena pandemi COVID-19. Kritik terhadap pemerintah seharusnya dipahami sebagai partisipasi masyarakat atas jalannya pemerintahan untuk mengkoreksi kebijakan-kebijak yang sangat mungkin salah,” keluh Hussein.
Kendati demikian, dia menilai polisi bisa saja melakukan penangkapan. Apalagi dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Termasuk adanya Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan yang isinya mengatur bahwa ‘Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)’.
“Tapi, polisi harus bertindak proporsional dan tetap hati-hati, jangan sampai eksesif. Karena kita juga sedang mengalami over populasi di rutan dan lapas,” singgung dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Markas Besar Kepolisian RI mengeluarkan Surat Telegram Polri No: ST/1100/IV/HUK.71./2020 yang ditujukan kepada Kabareskrim dan setiap Kapolda sebagai bentuk pedoman menangani tindak pidana pada ranah siber selama masa pandemi COVID-19.
Beberapa tindakan kejahatan yang menjadi fokus pada surat telegram tersebut adalah terkait penyebaran berita bohong atau hoaks dan penghinaan kepada Presiden atau pejabat pemerintah mengenai situasi COVID-19. (Baca juga: Kritisi Telegram Kapolri, YLBHI: Pasal Penghinaan Presiden Sudah Dicabut MK )
Selain itu, Kapolri menginstruksikan kepada jajarannya untuk melaksanakan patroli siber dan melakukan penegakan hukum secara tegas apabila ditemukan aktivitas penyebaran berita bohong dan penghinaan tersebut.
(kri)