Pandemi COVID-19 Tidak Boleh Dijadikan Momen Bungkam Kebebasan Berpendapat
A
A
A
JAKARTA - Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 yang berisi pedoman penindakan terkait penyebaran hoaks, penghinaan presiden dan pejabat negara, dan penipuan daring alat-alat kesehatan dianggap bisa membungkam kebebasan berpendapat.
Telegram itu juga dinilai membuat polisi semakin agresif menggunakan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undnag-Undang Hukum Pidana (KHUP). “Meminta kepolisian agar segara menghentikan segala proses hukum terhadap setia orang yang menggunakan haknya untuk berekspresi secara sah,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Selasa (07/04/2020). (Baca juga: Diduga Hina Jokowi, Polisi Tangkap Pemilik Akun Medsos Ini )
ICJR menjabarkan pasal-pasal terkait penghinaan presiden, yakni 134, 136, dan 137, dalam KHUP itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu poin putusannya, MK menyatakan perbuatan kriminalisasi terhadap penghinaan presiden tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam masyarakat demokratis.
“MK juga menekankan bahwa tidak boleh lagi ada pengaturan sejenis dengan delik penghinaan presiden yang sudah diputuskan bertentangan dengan Konstitusi dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” terang Erasmus.
ICJR mempermasalahkan cantolan pasal dalam telegram itu. Misal, penggunaan Pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2) UU ITE, serta Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Kekuasaan. Pasal 27 UU ITE dan Pasal 207 KUHP, menurutnya, itu merupakan delik aduan. Sementara itu, yang dimaksud ujaran kebencian pada Pasal 28 ayat (2) itu yang bernada suku, agama, ras, dan antargolongan dan memicu perbuatan anarkis.
“Sama sekali tidak dapat digunakan untuk penghinaan individu apalagi penguasa. Tindakan Polisi menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE mencerminkan kesewenang-wenangan,” tandasnya. (Baca juga: Komisi III Nilai Telegram Polri Soal Penghina Presiden Berbahaya )
Telegram itu juga dinilai membuat polisi semakin agresif menggunakan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undnag-Undang Hukum Pidana (KHUP). “Meminta kepolisian agar segara menghentikan segala proses hukum terhadap setia orang yang menggunakan haknya untuk berekspresi secara sah,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Selasa (07/04/2020). (Baca juga: Diduga Hina Jokowi, Polisi Tangkap Pemilik Akun Medsos Ini )
ICJR menjabarkan pasal-pasal terkait penghinaan presiden, yakni 134, 136, dan 137, dalam KHUP itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu poin putusannya, MK menyatakan perbuatan kriminalisasi terhadap penghinaan presiden tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam masyarakat demokratis.
“MK juga menekankan bahwa tidak boleh lagi ada pengaturan sejenis dengan delik penghinaan presiden yang sudah diputuskan bertentangan dengan Konstitusi dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” terang Erasmus.
ICJR mempermasalahkan cantolan pasal dalam telegram itu. Misal, penggunaan Pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2) UU ITE, serta Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Kekuasaan. Pasal 27 UU ITE dan Pasal 207 KUHP, menurutnya, itu merupakan delik aduan. Sementara itu, yang dimaksud ujaran kebencian pada Pasal 28 ayat (2) itu yang bernada suku, agama, ras, dan antargolongan dan memicu perbuatan anarkis.
“Sama sekali tidak dapat digunakan untuk penghinaan individu apalagi penguasa. Tindakan Polisi menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE mencerminkan kesewenang-wenangan,” tandasnya. (Baca juga: Komisi III Nilai Telegram Polri Soal Penghina Presiden Berbahaya )
(kri)