Cegah Covid-19 dengan Bebaskan Napi?
A
A
A
Iqrak Sulhin
Kriminolog Universitas Indonesia
Senin lalu saya menulis tentang bagaimana pencegahan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan (rutan) sebaiknya dilakukan. Tentu tulisan itu jauh dari komprehensif, namun saya berpendapat ada dua hal utama yang harus dilakukan. Pertama, membendung arus masuk tahanan dan narapidana baru. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan ketentuan KUHAP tentang penahanan di luar rutan.
Bila dinilai sulit, setidaknya dapat diprioritaskan pada kasus tentu seperti penyalah guna narkotika, pelaku kejahatan terkait properti yang tidak disertai kekerasan dan bukan pengulangan (residivis). Hakim pun dapat memutuskan pidana alternatif di luar penjara untuk tipologi kejahatan tertentu.
Kedua, mempertegas protokol pencegahan selama di dalam LP/rutan mengacu pada protokol pencegahan yang telah ditetapkan secara nasional. Terutama mengawasi arus keluar-masuk petugas hingga pengunjung. Berita baiknya, sejak awal LP/rutan telah mengubah model kunjungan menjadi daring.
Tanggal 30 Maret lalu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Di dalam keputusan itu diatur bahwa asimilasi dilakukan terhadap narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020, anak yang ½ masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020. Ketentuan ini tidak berlaku bagi narapidana dan anak yang terkait dengan PP Nomor 99/2012.
Untuk integrasi (seperti pembebasan bersyarat) dilakukan terhadap narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana, anak yang telah menjalani ½ masa pidana. Ketentuan ini juga tidak berlaku bagi narapidana dan anak yang terkait pengaturan PP 99/2012. Berdasarkan kepmen ini diperkirakan terdapat lebih dari 30.000 narapidana dan anak yang akan dibebaskan.
Tepatkah Dibebaskan?
Istilah ”dibebaskan” sebenarnya tidak tepat untuk digunakan karena yang dilakukan hanya melanjutkan masa pembinaan di luar LP untuk asimilasi dan mulai dilakukannya masa pembimbingan di masyarakat untuk integrasi. Dengan kata lain, selama menjalani pembinaan/pembimbingan di luar LP tetap akan dilakukan pengawasan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas). Namun, muncul pertanyaan, apakah memang melepaskan narapidana/anak ini merupakan cara yang tepat untuk mencegah peredaran Covid-19 di dalam LP/rutan?
Latar belakang paling utama dari kebijakan ini tentu saja kondisi di dalam LP/rutan yang sangat padat (overcrowded). Menerapkan physical distancing tentu sangat sulit dilakukan. Kepadatan ini pula yang menyebabkan rentannya penyakit, tidak hanya Covid-19. Karenanya, secara subjektif saya berpandangan, melepaskan narapidana/anak yang sudah memenuhi ketentuan waktu untuk mendapatkan asimilasi dan reintegrasi merupakan kebijakan yang tepat. (Baca: Antisipasi Corona Meluas, Waktunya Pencegahan Covid-19 di Lapas/Rutan)
Hanya, kontroversi muncul terhadap narapidana yang termasuk dalam kategori yang diatur di dalam PP Nomor 99/2012 mengenai pemenuhan hak-hak warga binaan. Di dalam PP ini terdapat ketentuan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat yang berbeda antara narapidana umumnya dan narapidana korupsi, terorisme, hingga narkotika. Bila untuk narapidana umum asimilasi sudah bisa dilakukan setelah menjalani ½ masa pidana, untuk narapidana khusus baru bisa diberikan setelah menjalani 2/3 masa pidana.
Untuk reintegrasi (pembebasan bersyarat), narapidana umum sudah bisa diberikan ketika sudah menjalani 2/3 masa pidana, sedangkan untuk narapidana khusus terdapat tambahan yaitu telah menjalani asimilasi paling sedikit ½ dari sisa masa pidana yang wajib dijalani dan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan. Untuk narapidana khusus ini, baik untuk asimilasi maupun pembebasan bersyarat, harus mendapatkan rekomendasi dari lembaga terkait (seperti BNN untuk narkotika atau BNPT untuk terorisme).
Kepmen 30 Maret telah menyebutkan bahwa yang akan dibebaskan adalah narapidana yang tidak diatur oleh PP Nomor 99/2012. Artinya, tidak termasuk mereka yang dipidana penjara karena melakukan terorisme, korupsi, narkotika, atau pelanggaran hak asasi manusia berat. Pertanyaannya, apakah mereka yang masuk dalam kategori ini tidak bisa dilakukan kebijakan yang sama?
Kondisi di dalam, khususnya komposisi narapidana, dapat dijadikan pertimbangan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Data per Februari 2020, dengan total narapidana sebanyak 204.393 dan narapidana khusus 144.822 orang atau sebesar 70.85%. Khusus untuk narapidana narkotika berjumlah 138.052 (67,54% dari total narapidana). Dari jumlah narapidana narkotika ini, 91.312 (44,67%) adalah bandar atau pengedar 46.740 (22,86%) adalah pengguna. Berdasarkan data ini, terlihat bahwa mayoritas jumlah narapidana justru berstatus narapidana khusus. Karenanya, apabila mengurangi kepadatan adalah keharusan dalam situasi pandemi Covid-19 ini, mengikutkan mereka yang diatur di dalam PP Nomor 99/2012 adalah keharusan.
Memilih Prioritas
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat prioritas tentang siapa saja yang dapat dikeluarkan atau dibebaskan untuk mengurangi kepadatan. Hal ini sekaligus mencegah peredaran Covid-19, yaitu melihat subjek narapidana dan melihat tipologi kejahatan. Untuk subjek, anak harus mendapatkan prioritas, termasuk narapidana yang masuk dalam kriteria lanjut usia yang dinilai rawan untuk penyakit infektif seperti Covid-19. (Baca: IPW: Rencana Menkumham Bebaskan Napi Korupsi Ciderai Rasa Keadilan Publik)
Termasuk bila ada narapidana perempuan yang sedang hamil atau mengasuh anak yang berusia di bawah dua tahun di dalam LP. Apabila kriteria subjek ini belum memenuhi ketentuan kepmen bertanggal 30 Maret tersebut, maka harus diberikan perhatian yang sangat khusus, seperti memberikan penempatan dan perlakuan khusus. Berdasarkan tipologi, di antara narapidana umum, dapat diprioritaskan untuk mereka yang masuk di dalam kategori kejahatan terkait properti (Pasal 362 dan 363 KUHP), tidak melibatkan kekerasan, dan bukan merupakan pengulangan kejahatan.
Kejahatan terkait properti secara kriminologis dilatarbelakangi motif ekonomi. Kejahatan yang mereka lakukan lebih merupakan model adaptasi individual terhadap kesulitan hidup. Inilah mengapa ada pertimbangan lain, yaitu bukan pengulangan dan tidak dengan kekerasan. Hal ini karena bila kejahatan terkait properti dilakukan sebagai pengulangan (residivisme) maka pelaku sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai karier kriminal.
Berdasarkan tipologinya, penyalah guna narkotika juga dapat dikategorikan pelaku kejahatan yang tidak berbahaya. Kerugian utama yang ditimbulkan adalah rusaknya kesehatan pelaku sehingga ada yang menyebutnya sebagai victimless crime (”kejahatan tanpa korban”). Dengan mempertimbangkan jumlah narapidana dalam kategori penyalah guna ini cukup besar proporsinya (22.86%) dari jumlah total narapidana, maka narapidana ini semestinya masuk di dalam prioritas.
Selain itu, fakta bahwa penyalahgunaan membutuhkan rehabilitasi, maka mengunci mereka di dalam LP bukanlah hal yang tepat. Kondisi kesehatan yang menurun hanya akan menambah besar risiko narapidana tertular berbagai penyakit, khususnya Covid-19. Karenanya, saya sendiri berpendapat, perlu perubahan kebijakan mereka yang berstatus narapidana khusus agar dapat masuk di dalam prioritas yang dapat dilepaskan/dibebaskan sebagai bagian upaya pencegahan Covid-19 di dalam LP/rutan.
Saya juga berpandangan, PP Nomor 99/2012 bukan merupakan kebijakan yang tepat dalam konteks pemasyarakatan, mengingat “memperberat” hukuman bukanlah sesuatu yang harus dibebankan kepada pemasyarakatan, khususnya LP sebagai pelaksana pidana. Terlepas dari hal ini, bila memang memunculkan kontroversi, Kemenkumham dapat mengajukan pengecualian untuk mereka yang berstatus penyalah guna terlebih dulu. (Baca: Demi Keluarga, Driver Ojol Tetap Mengaspal di Tengah Wabah Corona)
Di atas itu semua, jangan sampai publik menganggap keputusan melepaskan/membebaskan ini hanyalah cara untuk mengurangi kepadatan di dalam LP/rutan sehingga dapat diisi dengan tahanan/narapidana baru. Penegakan hukum, mengejar penjahat dilakukannya penahanan, bila diperlukan, adalah sesuatu yang tidak bisa dihentikan sehingga menjadi intake baru bagi LP/rutan. Perlu diingat, intake baru adalah resiko besar penyebaran. Sehingga penyidik perlu diikutkan dalam pencegahan dengan mengambil bentuk alternatif penahanan (penahanan rumah atau kota). Demikian pula dengan putusan hakim, memutus pidana nonpenjara untuk kejahatan tertentu, seperti dua tipologi yang diuraikan dalam tulisan ini.
Kriminolog Universitas Indonesia
Senin lalu saya menulis tentang bagaimana pencegahan Covid-19 di lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan (rutan) sebaiknya dilakukan. Tentu tulisan itu jauh dari komprehensif, namun saya berpendapat ada dua hal utama yang harus dilakukan. Pertama, membendung arus masuk tahanan dan narapidana baru. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan ketentuan KUHAP tentang penahanan di luar rutan.
Bila dinilai sulit, setidaknya dapat diprioritaskan pada kasus tentu seperti penyalah guna narkotika, pelaku kejahatan terkait properti yang tidak disertai kekerasan dan bukan pengulangan (residivis). Hakim pun dapat memutuskan pidana alternatif di luar penjara untuk tipologi kejahatan tertentu.
Kedua, mempertegas protokol pencegahan selama di dalam LP/rutan mengacu pada protokol pencegahan yang telah ditetapkan secara nasional. Terutama mengawasi arus keluar-masuk petugas hingga pengunjung. Berita baiknya, sejak awal LP/rutan telah mengubah model kunjungan menjadi daring.
Tanggal 30 Maret lalu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Di dalam keputusan itu diatur bahwa asimilasi dilakukan terhadap narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020, anak yang ½ masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020. Ketentuan ini tidak berlaku bagi narapidana dan anak yang terkait dengan PP Nomor 99/2012.
Untuk integrasi (seperti pembebasan bersyarat) dilakukan terhadap narapidana yang telah menjalani 2/3 masa pidana, anak yang telah menjalani ½ masa pidana. Ketentuan ini juga tidak berlaku bagi narapidana dan anak yang terkait pengaturan PP 99/2012. Berdasarkan kepmen ini diperkirakan terdapat lebih dari 30.000 narapidana dan anak yang akan dibebaskan.
Tepatkah Dibebaskan?
Istilah ”dibebaskan” sebenarnya tidak tepat untuk digunakan karena yang dilakukan hanya melanjutkan masa pembinaan di luar LP untuk asimilasi dan mulai dilakukannya masa pembimbingan di masyarakat untuk integrasi. Dengan kata lain, selama menjalani pembinaan/pembimbingan di luar LP tetap akan dilakukan pengawasan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas). Namun, muncul pertanyaan, apakah memang melepaskan narapidana/anak ini merupakan cara yang tepat untuk mencegah peredaran Covid-19 di dalam LP/rutan?
Latar belakang paling utama dari kebijakan ini tentu saja kondisi di dalam LP/rutan yang sangat padat (overcrowded). Menerapkan physical distancing tentu sangat sulit dilakukan. Kepadatan ini pula yang menyebabkan rentannya penyakit, tidak hanya Covid-19. Karenanya, secara subjektif saya berpandangan, melepaskan narapidana/anak yang sudah memenuhi ketentuan waktu untuk mendapatkan asimilasi dan reintegrasi merupakan kebijakan yang tepat. (Baca: Antisipasi Corona Meluas, Waktunya Pencegahan Covid-19 di Lapas/Rutan)
Hanya, kontroversi muncul terhadap narapidana yang termasuk dalam kategori yang diatur di dalam PP Nomor 99/2012 mengenai pemenuhan hak-hak warga binaan. Di dalam PP ini terdapat ketentuan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat yang berbeda antara narapidana umumnya dan narapidana korupsi, terorisme, hingga narkotika. Bila untuk narapidana umum asimilasi sudah bisa dilakukan setelah menjalani ½ masa pidana, untuk narapidana khusus baru bisa diberikan setelah menjalani 2/3 masa pidana.
Untuk reintegrasi (pembebasan bersyarat), narapidana umum sudah bisa diberikan ketika sudah menjalani 2/3 masa pidana, sedangkan untuk narapidana khusus terdapat tambahan yaitu telah menjalani asimilasi paling sedikit ½ dari sisa masa pidana yang wajib dijalani dan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan. Untuk narapidana khusus ini, baik untuk asimilasi maupun pembebasan bersyarat, harus mendapatkan rekomendasi dari lembaga terkait (seperti BNN untuk narkotika atau BNPT untuk terorisme).
Kepmen 30 Maret telah menyebutkan bahwa yang akan dibebaskan adalah narapidana yang tidak diatur oleh PP Nomor 99/2012. Artinya, tidak termasuk mereka yang dipidana penjara karena melakukan terorisme, korupsi, narkotika, atau pelanggaran hak asasi manusia berat. Pertanyaannya, apakah mereka yang masuk dalam kategori ini tidak bisa dilakukan kebijakan yang sama?
Kondisi di dalam, khususnya komposisi narapidana, dapat dijadikan pertimbangan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Data per Februari 2020, dengan total narapidana sebanyak 204.393 dan narapidana khusus 144.822 orang atau sebesar 70.85%. Khusus untuk narapidana narkotika berjumlah 138.052 (67,54% dari total narapidana). Dari jumlah narapidana narkotika ini, 91.312 (44,67%) adalah bandar atau pengedar 46.740 (22,86%) adalah pengguna. Berdasarkan data ini, terlihat bahwa mayoritas jumlah narapidana justru berstatus narapidana khusus. Karenanya, apabila mengurangi kepadatan adalah keharusan dalam situasi pandemi Covid-19 ini, mengikutkan mereka yang diatur di dalam PP Nomor 99/2012 adalah keharusan.
Memilih Prioritas
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat prioritas tentang siapa saja yang dapat dikeluarkan atau dibebaskan untuk mengurangi kepadatan. Hal ini sekaligus mencegah peredaran Covid-19, yaitu melihat subjek narapidana dan melihat tipologi kejahatan. Untuk subjek, anak harus mendapatkan prioritas, termasuk narapidana yang masuk dalam kriteria lanjut usia yang dinilai rawan untuk penyakit infektif seperti Covid-19. (Baca: IPW: Rencana Menkumham Bebaskan Napi Korupsi Ciderai Rasa Keadilan Publik)
Termasuk bila ada narapidana perempuan yang sedang hamil atau mengasuh anak yang berusia di bawah dua tahun di dalam LP. Apabila kriteria subjek ini belum memenuhi ketentuan kepmen bertanggal 30 Maret tersebut, maka harus diberikan perhatian yang sangat khusus, seperti memberikan penempatan dan perlakuan khusus. Berdasarkan tipologi, di antara narapidana umum, dapat diprioritaskan untuk mereka yang masuk di dalam kategori kejahatan terkait properti (Pasal 362 dan 363 KUHP), tidak melibatkan kekerasan, dan bukan merupakan pengulangan kejahatan.
Kejahatan terkait properti secara kriminologis dilatarbelakangi motif ekonomi. Kejahatan yang mereka lakukan lebih merupakan model adaptasi individual terhadap kesulitan hidup. Inilah mengapa ada pertimbangan lain, yaitu bukan pengulangan dan tidak dengan kekerasan. Hal ini karena bila kejahatan terkait properti dilakukan sebagai pengulangan (residivisme) maka pelaku sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai karier kriminal.
Berdasarkan tipologinya, penyalah guna narkotika juga dapat dikategorikan pelaku kejahatan yang tidak berbahaya. Kerugian utama yang ditimbulkan adalah rusaknya kesehatan pelaku sehingga ada yang menyebutnya sebagai victimless crime (”kejahatan tanpa korban”). Dengan mempertimbangkan jumlah narapidana dalam kategori penyalah guna ini cukup besar proporsinya (22.86%) dari jumlah total narapidana, maka narapidana ini semestinya masuk di dalam prioritas.
Selain itu, fakta bahwa penyalahgunaan membutuhkan rehabilitasi, maka mengunci mereka di dalam LP bukanlah hal yang tepat. Kondisi kesehatan yang menurun hanya akan menambah besar risiko narapidana tertular berbagai penyakit, khususnya Covid-19. Karenanya, saya sendiri berpendapat, perlu perubahan kebijakan mereka yang berstatus narapidana khusus agar dapat masuk di dalam prioritas yang dapat dilepaskan/dibebaskan sebagai bagian upaya pencegahan Covid-19 di dalam LP/rutan.
Saya juga berpandangan, PP Nomor 99/2012 bukan merupakan kebijakan yang tepat dalam konteks pemasyarakatan, mengingat “memperberat” hukuman bukanlah sesuatu yang harus dibebankan kepada pemasyarakatan, khususnya LP sebagai pelaksana pidana. Terlepas dari hal ini, bila memang memunculkan kontroversi, Kemenkumham dapat mengajukan pengecualian untuk mereka yang berstatus penyalah guna terlebih dulu. (Baca: Demi Keluarga, Driver Ojol Tetap Mengaspal di Tengah Wabah Corona)
Di atas itu semua, jangan sampai publik menganggap keputusan melepaskan/membebaskan ini hanyalah cara untuk mengurangi kepadatan di dalam LP/rutan sehingga dapat diisi dengan tahanan/narapidana baru. Penegakan hukum, mengejar penjahat dilakukannya penahanan, bila diperlukan, adalah sesuatu yang tidak bisa dihentikan sehingga menjadi intake baru bagi LP/rutan. Perlu diingat, intake baru adalah resiko besar penyebaran. Sehingga penyidik perlu diikutkan dalam pencegahan dengan mengambil bentuk alternatif penahanan (penahanan rumah atau kota). Demikian pula dengan putusan hakim, memutus pidana nonpenjara untuk kejahatan tertentu, seperti dua tipologi yang diuraikan dalam tulisan ini.
(ysw)