Peneliti BMKG-UGM Ungkap Pengaruh Suhu Udara dengan Pandemi Corona
A
A
A
JAKARTA - Hasil kajian tim peneliti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bersama Bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan ada indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Corona (Covid-19).
“Hasil kajian yang telah disampaikan kepada Presiden dan beberapa Kementerian terkait pada 26 Maret 2020 yang lalu ini, menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Covid-19,” tulis Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam keterangan tertulis BMKG, Jumat 3 April 2020.
Berdasarkan kesimpulan sementara, negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis.
Hal itu juga dicocokkan dengan kesimpulan para peneliti lainnya mengenai kombinasi temperatur dan kelembapan relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi Covid-19.
Kondisi udara ideal untuk virus corona adalah temperatur sekitar 8-10 derajat Celcius dan kelembaban 60-90%. Artinya, lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi llingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran kasus Covid-19.
Penelitian juga menemukan Covid-19 mempunyai penyebaran optimum pada suhu yang sangat rendah, antara 1-9 derajat Celcius. Dengan semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus Covid-19 harian akan semakin rendah.
Dwi mengatakan, kajian tim gabungan BMKG-UGM ini menjelaskan analisis statistik dan hasil pemodelan matematis di beberapa penelitian mengindikasikan cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada negara atau wilayah dengan lintang tinggi pada gelombang pertama.
“Berbeda dengan Indonesia, kondisi geografis di sekitar garis khatulistiwa yang bersuhu rata-rata antara 27- 30 derajat Celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70-95 persen dinilai bukan lingkungan ideal untuk Covid-19,” katanya.
Adapun meningkatnya kasus pada gelombang kedua saat ini di Indonesia disinyalir lebih kuat karena oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial. Padahal, kondisi cuaca atau iklim serta kondisi geografi di Indonesia sebenarnya relatif lebih rendah untuk berkembangnya wabah Covid-19.
Apalagi fakta menunjukkan terjadinya lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia sejak awal Maret 2020. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh ketimbang faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia.
Dwi menambahkan, ada beberapa rekomendasi yang diberikan Tim BMKG-UGM. Berdasarkan literatur dan penelitian itu. Mereka merekomendasikan bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi dan disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat, maka faktor suhu dan kelembaban udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut.
Kemudian, perlu diwaspadai dalam rentang April hingga Mei ini, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki pergantian musim yang sering ditandai dengan merebaknya wabah demam berdarah (DBD).
Tim BMKG-UGM ini juga merekomendasikan agar masyarakat terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat. Tak kalah penting, tetap menjaga jarak fisik (physical distancing), menghindari kerumunan atau berkumpul (social distancing) dan tetap tinggal di rumah.
“Hasil kajian yang telah disampaikan kepada Presiden dan beberapa Kementerian terkait pada 26 Maret 2020 yang lalu ini, menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Covid-19,” tulis Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam keterangan tertulis BMKG, Jumat 3 April 2020.
Berdasarkan kesimpulan sementara, negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis.
Hal itu juga dicocokkan dengan kesimpulan para peneliti lainnya mengenai kombinasi temperatur dan kelembapan relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi Covid-19.
Kondisi udara ideal untuk virus corona adalah temperatur sekitar 8-10 derajat Celcius dan kelembaban 60-90%. Artinya, lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi llingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran kasus Covid-19.
Penelitian juga menemukan Covid-19 mempunyai penyebaran optimum pada suhu yang sangat rendah, antara 1-9 derajat Celcius. Dengan semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus Covid-19 harian akan semakin rendah.
Dwi mengatakan, kajian tim gabungan BMKG-UGM ini menjelaskan analisis statistik dan hasil pemodelan matematis di beberapa penelitian mengindikasikan cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada negara atau wilayah dengan lintang tinggi pada gelombang pertama.
“Berbeda dengan Indonesia, kondisi geografis di sekitar garis khatulistiwa yang bersuhu rata-rata antara 27- 30 derajat Celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70-95 persen dinilai bukan lingkungan ideal untuk Covid-19,” katanya.
Adapun meningkatnya kasus pada gelombang kedua saat ini di Indonesia disinyalir lebih kuat karena oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial. Padahal, kondisi cuaca atau iklim serta kondisi geografi di Indonesia sebenarnya relatif lebih rendah untuk berkembangnya wabah Covid-19.
Apalagi fakta menunjukkan terjadinya lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia sejak awal Maret 2020. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh ketimbang faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia.
Dwi menambahkan, ada beberapa rekomendasi yang diberikan Tim BMKG-UGM. Berdasarkan literatur dan penelitian itu. Mereka merekomendasikan bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi dan disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat, maka faktor suhu dan kelembaban udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut.
Kemudian, perlu diwaspadai dalam rentang April hingga Mei ini, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki pergantian musim yang sering ditandai dengan merebaknya wabah demam berdarah (DBD).
Tim BMKG-UGM ini juga merekomendasikan agar masyarakat terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat. Tak kalah penting, tetap menjaga jarak fisik (physical distancing), menghindari kerumunan atau berkumpul (social distancing) dan tetap tinggal di rumah.
(dam)