Publik Butuh Kejelasan Tindakan Pemerintah Meredam Covid-19

Selasa, 31 Maret 2020 - 11:17 WIB
Publik Butuh Kejelasan...
Publik Butuh Kejelasan Tindakan Pemerintah Meredam Covid-19
A A A
JAKARTA - Publik saat ini butuh kejelasan tindakan apa yang akan diambil pemerintah pusat untuk meredam wabah virus corona (Covid-9) di Tanah Air. Jangan bikin publik makin bingung.
Pengamat kebijakan publik Achmad Nur Hidayat menilai, dalam rapat terbatas kemarin jelas sekali Presiden Joko Widodo meminta penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disertai pemberlakuan darurat sipil.

Namun, Juru bicara Presiden Fadjroel Rachman menegaskan ada pentahapan yang dilakukan terlebih dahulu bukan bersamaan PSBB dan Darurat Sipil. Tapi bila PSBB tidak efektif akan diterapkan darurat sipil sebagai tahap terakhir.

"Komunikasi publik pemerintah pada Senin 30 Maret 2020 tersebut sangat membingungkan publik khususnya terkait penerapan darurat sipil yang kontroversial," kata Achmad Nur Hidayat dalam siaran persnya, Selasa (31/3/2020). (Baca Juga: Jokowi Minta Pembatasan Sosial Skala Besar Dibarengi Kebijakan Darurat Sipil).

Pengamat yang akrab disapa Matnoer ini menilai, ambiguitas dalam komunikasi publik tersebut seharusnya tidak perlu terjadi di saat publik membutuhkan kejelasan tindakan apa langkah selanjutnya yang dapat meredam penambahan kasus positif dan korban meninggal akibat Covid-19 tersebut.

"Publik sekarang bertanya-tanya, manakah yang akan dilakukan Presiden apakah penerapan PSBB yang tegas disertai darurat sipil atau PSBB yang kemudian dievaluasi dan akan berlanjut ke kebijakan darurat sipil sebagai langkah terakhir? Publik makin bingung padahal di saat yang sama mereka belum memiliki jawaban yang memuaskan dari ketidakefektifan social distancing dan mereka sedang menunggu kebijakan yang lebih tegas dari UU Kekarantinaan Wilayah No. 06/2018 yaitu karantina wilayah yang disertai stimulus ekonomi. Namun mereka dihadapi pilihan PSBB dan darurat sipil (Perppu 23/1959)?"

Matnoer mengatakan, kebijakan PSSB diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang diakui oleh Gubernur DKI Jakarta bahwa DKI sudah menerapkannya dua pekan terakhir.

Pasal 59 ayat 3 mengatakan 'Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum'.

"Jelas sekali, PSBB sudah dijalankan dua pekan terakhir di berbagai provinsi dan hal tersebut dinilai publik perlu ditambah dengan kebijakan lain yang lebih tegas. PSBB yang dibicarakan oleh pemerintah pada Senin kemarin sebagai komunikasi yang out of date atau sudah usang karena faktanya masyarakat sudah melaksanakannya selama dua pekan terakhir sebagai bagian kebijakan pemerintah provinsi."

Mantan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) ini mengatakan, darurat sipil menggunakan aturan Perppu No. 23 Tahun 1959. Dalam pasal 17 Perppu 23/1959 tersebut penguasa dapat melarang percakapan telepon, melarang berita dan radio dan menetapkan peraturan yang membatasi atau melarang seluruh alat komunikasi. Pasal 19 penguasa dapat memaksa orang tetap di rumah tanpa ada kewajiban pemenuhan kebutuhan dasar.

"Pasal yang dinilai tepat untuk meredam CV19 adalah pasal 18 ayat 1 dan 2 dalam Perppu 23/1959 yaitu penguasa berhak melarang atau membatasi rapat umum, pertemuan umum, arak-arakan, penggunaan gedung pertemuan. Namun pada ayat 3 Pasal 18 aturan tersebut tidak sesuai meredam CV19 karena berbunyi Ketentuan ayat 1 dan 2 pasal ini tidak berlaku untuk peribadatan, pengajian, upacara agama dan adat. Jelas sekali aturan darurat sipil Perppu 23/1959 tidak mencukupi digunakan untuk meredam CV19 karena perppu darurat sipil untuk meredam gejolak politik terutama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bukan untuk mitigasi gangguan kesehatan publik. Aktivitas pertemuan adat dan agama tidak dilarang dalam Perppu 23/1959 Darurat Sipil karena tidak bersifat politik. Padahal, dalam situasi wabah CV19, seluruh kegiatan yang menghimpun jamaah atau umat beragama dan adat harus dibatasi untuk mencegah penyebaran virus CV19 lebih lanjut."

Dia mengatakan, ketimbang menggunakan aturan darurat sipil dalam Perppu 23/1959, seharusnya pemerintah tetap menggunakan UU No 6/2018 dengan menambah peraturan pemerintah (PP) yang memastikan social distancing menjadi efektif. Langkah lain adalah merevisi UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana karena dirasakan peran BNPB lemah tidak dapat menjadi command center atasi Covid-19.

"Peran BNPB saat ini terbatas tanpa ada penetapan status darurat bencana nasional atas CV19 sehingga BNPB tidak dapat bertindak cepat, efisien dan melakukan law enforcement yang dibenarkan hukum untuk menjaga semua orang tetap di rumah."

Menurutnya, alasan wacana darurat sipil oleh pemerintah saat ini bukan karena pemerintah tidak memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat dan binatang ternak yang terdampak karantina wilayah sebagaimana diatur UU 6/2018, namun lebih disebabkan untuk memberikan komitmen kuat agar orang tetap di rumah. (Baca Juga: Politikus Demokrat: Pemerintah Batasi Aktivitas tetapi Tidak Menanggung Hidup Rakyat).

"Namun, penerapan darurat sipil Perppu 23/1959 tidak tepat karena situasi kedaruratannya bukan motif kesehatan melainkan motif politik yang akan mengembalikan Indonesia kembali ke zaman otoritarian bahkan ke zaman fasisme yang memberikan tempat bagi pemimpin tunggal untuk menindas rakyatnya sendiri."

Menurut Matnoer, sebenarnya karantina wilayah juga membatasi hak-hak asasi manusia untuk berkumpul dan mencari nafkah. Namun, dalam UU Nomor 6/2018 disertai kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. "Inilah indahnya semangat demokrasi dalam UU Nomor 6/2018, hak asasi dibatasi namun diberikan kompensasi dan itu pun waktunya dibatasi ketika wabah yang mengganggu kesehatan masyarakat terjadi."

Dia mengatakan, dalam bingkai kebijakan publik, darurat sipil dapat diterapkan di tengah wabah Covid-19 bila karantina wilayah sudah diterapkan dan ada gangguan keamanan yang berupa kerusuhan massal sehingga menimbulkan ketakutan besar di tengah-tengah masyarakat sehingga menghambat pemberian logistik kepada masyarakat.

"Bila situasinya demikian, tetap saja pemerintah perlu melakukan revisi terhadap aturan darurat sipil Perppu 23/1959 yang masih memuat pasal-pasal out of date yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi saat ini," pungkasnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2415 seconds (0.1#10.140)