Cegah Corona, Guru Besar FK-UI Sarankan Jokowi untuk Local Lockdown
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Prof DR dr Siti setiati menyampaikan sejumlah imbauan kepada pemerintah dalam menangani kasus virus Corona yang sedang mewabah di Tanah Air.
Dalam suratnya yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), Siti Setiati menyampaikan tujuh imbauan. Salah satunya, mengimbau pemerintah melakukan local lockdown atau karantina wilayah.
Siti Setiati memaparkan karantina wilayah menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan merupakan sebuah langkah menutup sebuah wilayah/provinsi yang sudah terjangkit infeksi COVID-19.
"Dengan demikian diharapkan dapat memutuskan rantai penularan infeksi baik di dalam maupun di luar wilayah," kata Siti Setiati dalam suratnya tertanggal 26 Maret 2020.
Dia menjelaskan, karantina wilayah disarankan dilakukan selama minimal 14 hari di provinsi-provinsi yang menjadi episentrum (zona merah) penyebaran COVID-19 atau daerah lain dengan berbagai pertimbangan.
Karantina wilayah, lanjut dia, memudahkan negara untuk menghitung kebutuhan sumber daya untuk penanganan di rumah sakit seperti sumber daya manusia, alat pelindung diri (APD), fasilitas rumah sakit.
"Pelaksanaan local lockdown ini dilakukan dengan melibatkan kerja sama lintas sektor yang matang dan melibatkan pemerintah daerah," katanya. (Baca Juga: Gawat, Korban Corona di Indonesia Tembus 1.046 Orang, 87 Meninggal)
Menurut Siti, Indonesia berada pada ranking 5 kasus dengan case fatality rate (CFR) tertinggi ke-5 di dunia dengan CFR 8-19%. "Berdasarkan proyeksi CFR dunia sebagai CFR Indonesia, kemungkinan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia saat ini adalah sekitar 1.300 kasus," ujarnya.
Siti juga mengingatkan pentingnya ketersedian APD dalam kondisi COVID-19 untuk para tenaga medis. Bila APD tidak tersedia cukup, ditakutkan akan berdampak buruk bagi tenaga kesehatan maupun pelayanan kesehatan yang diberikan di Indonesia.
"APD yang cukup sangat diperlukan untuk semua fasilitas pelayanan kesehatan, terutama RS pemerintah, RS swasta perlu juga diberikan akses untuk membeli APD dengan harga yang pantas," tuturnya.
Aturan tegas, sambung dia, juga perlu diberlakukan untuk membuat rakyat tetap diam di rumah selama periode pembatasan sosial.
Denda spesifik diberikan untuk setiap individu maupun perusahaan yang melanggar.
"Kerja sama dan koordinasi pemerintah, seluruh elemen masyarakat (seperti TNI, Polri, pemimpin daerah, pemuka agama, tokoh adat) sangat dibutuhkan sehingga terjadi gerakan sosial," tuturnya.
Dengan tingkat kepatuhan tinggi (>70%) berdasarkan 16 penelitian, karantina di rumah efektif dalam memperlambat penyebaran penyakit.
Dia juga mengimbau tentang rencana mitigasi dan rencana strategis penanganan pasien suspect dan konfirmasi COVID-19.
"Dengan membagi perawatan di rumah untuk pasien orang dalam pemantauan (ODP) dengan melibatkan tenaga Puskesmas, Perawatan di RS untuk pasien-pasien dalam pengawasan (PDP)," tuturnya.
Strategi lain, kata dia, penguatan sistem pelayanan kesehatan, networking antarfasilitas kesehatan, penguatan sistem penunjang pelayanan kesehatan, dan jaminan asuransi untuk tenaga kesehatan dan sumber daya manusia penunjang lain yang terlibat.
Siti juga mengimbau perlunya koordinasi yang baik antarkementerian dan lembaga-lembaga terkait sangat diperlukan agar pelaksanaan di lapangan menjadi lebih terarah dan terlaksana dengan baik," tuturnya.
Siti mengimbau pemerintah dalam mengambil keputusan seyogyanya berbasis bukti (evidence based) dan melibatkan para pakar di bidangnya termasuk ahli komunikasi masyarakat.
Dalam suratnya yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), Siti Setiati menyampaikan tujuh imbauan. Salah satunya, mengimbau pemerintah melakukan local lockdown atau karantina wilayah.
Siti Setiati memaparkan karantina wilayah menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan merupakan sebuah langkah menutup sebuah wilayah/provinsi yang sudah terjangkit infeksi COVID-19.
"Dengan demikian diharapkan dapat memutuskan rantai penularan infeksi baik di dalam maupun di luar wilayah," kata Siti Setiati dalam suratnya tertanggal 26 Maret 2020.
Dia menjelaskan, karantina wilayah disarankan dilakukan selama minimal 14 hari di provinsi-provinsi yang menjadi episentrum (zona merah) penyebaran COVID-19 atau daerah lain dengan berbagai pertimbangan.
Karantina wilayah, lanjut dia, memudahkan negara untuk menghitung kebutuhan sumber daya untuk penanganan di rumah sakit seperti sumber daya manusia, alat pelindung diri (APD), fasilitas rumah sakit.
"Pelaksanaan local lockdown ini dilakukan dengan melibatkan kerja sama lintas sektor yang matang dan melibatkan pemerintah daerah," katanya. (Baca Juga: Gawat, Korban Corona di Indonesia Tembus 1.046 Orang, 87 Meninggal)
Menurut Siti, Indonesia berada pada ranking 5 kasus dengan case fatality rate (CFR) tertinggi ke-5 di dunia dengan CFR 8-19%. "Berdasarkan proyeksi CFR dunia sebagai CFR Indonesia, kemungkinan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia saat ini adalah sekitar 1.300 kasus," ujarnya.
Siti juga mengingatkan pentingnya ketersedian APD dalam kondisi COVID-19 untuk para tenaga medis. Bila APD tidak tersedia cukup, ditakutkan akan berdampak buruk bagi tenaga kesehatan maupun pelayanan kesehatan yang diberikan di Indonesia.
"APD yang cukup sangat diperlukan untuk semua fasilitas pelayanan kesehatan, terutama RS pemerintah, RS swasta perlu juga diberikan akses untuk membeli APD dengan harga yang pantas," tuturnya.
Aturan tegas, sambung dia, juga perlu diberlakukan untuk membuat rakyat tetap diam di rumah selama periode pembatasan sosial.
Denda spesifik diberikan untuk setiap individu maupun perusahaan yang melanggar.
"Kerja sama dan koordinasi pemerintah, seluruh elemen masyarakat (seperti TNI, Polri, pemimpin daerah, pemuka agama, tokoh adat) sangat dibutuhkan sehingga terjadi gerakan sosial," tuturnya.
Dengan tingkat kepatuhan tinggi (>70%) berdasarkan 16 penelitian, karantina di rumah efektif dalam memperlambat penyebaran penyakit.
Dia juga mengimbau tentang rencana mitigasi dan rencana strategis penanganan pasien suspect dan konfirmasi COVID-19.
"Dengan membagi perawatan di rumah untuk pasien orang dalam pemantauan (ODP) dengan melibatkan tenaga Puskesmas, Perawatan di RS untuk pasien-pasien dalam pengawasan (PDP)," tuturnya.
Strategi lain, kata dia, penguatan sistem pelayanan kesehatan, networking antarfasilitas kesehatan, penguatan sistem penunjang pelayanan kesehatan, dan jaminan asuransi untuk tenaga kesehatan dan sumber daya manusia penunjang lain yang terlibat.
Siti juga mengimbau perlunya koordinasi yang baik antarkementerian dan lembaga-lembaga terkait sangat diperlukan agar pelaksanaan di lapangan menjadi lebih terarah dan terlaksana dengan baik," tuturnya.
Siti mengimbau pemerintah dalam mengambil keputusan seyogyanya berbasis bukti (evidence based) dan melibatkan para pakar di bidangnya termasuk ahli komunikasi masyarakat.
(dam)