Wakil Rakyat Dapil Depok-Bekasi Sebut Pemerintah Lamban Tangani Corona
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Intan Fitriana Fauzi menilai langkah pemerintah lamban dalam penanganan wabah corona (COVID-19). Padahal, Indonesia punya payung hukum yang lengkap untuk melakukan berbagai kebijakan, termasuk karantina wilayah atau lockdown, yakni Undang-Undang Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Meskipun masih memerlukan Peraturan Pemerintah (PP), tapi dalam UU itu mengatur bahwa karantina menjadi kewenangan penuh eksekutif. Tinggal bagaimana political will dari pemerintah.
"Kita tidak perlu lagi menengok ke belakang. Harus ada tindakan yang sangat drastis, rapid test. Kita berharap itu dilakukan dengan prosedur. Karena yang paling membahayakan kesiapan tenaga medis dan rumah sakit. Kan kalau banyak pasien yang harus banyak dirawat di rumah sakit ini nggak bisa menampung," tutur Intan kepada SINDO Media, Jumat (20/3/2020).
Intan mengatakan, Komisi IX menerima laporan dari berbagai daerah, mereka tidak punya kelengkapan merawat pasien corona contohnya APD. "Mereka keteteran nggak punya, bukan karena distribusinya nggak ada tapi kalau beli pun makin mahal. Akhirnya seadanya. Dan ini sangat berisiko tinggi dan ini bisa menularkan pada yang lain lebih cepat." (Baca Juga: Tak Terlihat Bagikan Masker, Kader Parpol Sibuk Nyinyir soal Corona).
Menurut Intan, harus ada tindakan yang sangat drastis dari pemerintah untuk memutus mata rantai COVID-19. Dan, masyarakat memberikan kepercayaan kepada pemerintah bahwa mereka bisa menangani. Semestinya, Indonesia ini belajar dari otoritas Wuhan, China tempat virus ini berasal.
"Karena sebenarnya teori epidemologi banyak ahlinya sudah ada, ini kan suatu yang bisa diprediksi dini. Bukan suatu kejadian yang tiba-tiba," ujarnya.
Politikus PAN ini menuturkan bahwa landasan hukum Indonesia lengkap. Ada UU Kekarantinaan Kesehatan yang memuat tahapan-tahapannya secara jelas. Bahkan, dengan tahapan pembatasan wilayah yang meliputi tiga tempat, tempat pembelajaran, kantor, dan keagamaan serta pembatasan fasilitas umum. Termasuk juga karantina wilayah atau lockdown.
"Nggak usah pakai istilah susah-susah lockdown atau social distancing, semua ada. Pembatasan sosial secara besar-besaran, itu Pasal 59 mengacu pada social distancing. Lalu apa yang disebut lockdown itu kekarantinaan wilayah. Itu diatur, semua ada yang sudah ditandatangani Presiden pada 2018,” tegas Intan.
Legislator Dapil Kota Depok-Kota Bekasi ini memaparkan bahwa UU ini berlaku untuk semua virus dan penyakit, termasuk corona. Benar bahwa memang masih diperlukan PP untuk membuat kebijakan lockdown, tapi itu semua menjadi kewenangan penuh pemerintah.
"Iya (soal) political will. Karena memang Kepmenkeu (Keputusan Menteri Keuangan) sudah ada, di situ ada DAK (dana alokasi khusus) fisik bidang kesehatan, termasuk bantuan dana operasional bidang kesehatan. Harusnya bisa segera diakses oleh daerah-daerah karena mereka sangat membutuhkan untuk operasional isolasi, APD (alat pelindung diri) dan sebagainya. Kemudian di BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) ada dana siap pakai," bebernya.
Intan menegaskan bahwa persoalan ini harus ditangani. Jika tidak, Indonesia akan lebih banyak mengalami kerugian, bukan hanya korban jiwa tapi juga perekonomian nasional yang mengarah pada krisis.
Terlebih, dia menambahkan, dengan lockdown ini, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang ada dalam wilayah karantina. Dia melihat bahwa memang itu akan menimbulkan chaos atau keributan karena ketidaksiapan pemerintah maupun masyarakat. (Baca Juga: Kampanye Corona lewat RT/RW Dinilai Lebih Efektif Daripada Buzzer).
"Cuma mungkin akan lebih chaos dan kita tidak siap termasuk masyarakat tidak siap untuk itu. Ini kan hanya mendengar lockdown-lockdown tapi yang dimaksud lockdown seperti apa. Ini kan soal jaga jarak saja harus sosialisasi dengan masif," tandasnya.
Meskipun masih memerlukan Peraturan Pemerintah (PP), tapi dalam UU itu mengatur bahwa karantina menjadi kewenangan penuh eksekutif. Tinggal bagaimana political will dari pemerintah.
"Kita tidak perlu lagi menengok ke belakang. Harus ada tindakan yang sangat drastis, rapid test. Kita berharap itu dilakukan dengan prosedur. Karena yang paling membahayakan kesiapan tenaga medis dan rumah sakit. Kan kalau banyak pasien yang harus banyak dirawat di rumah sakit ini nggak bisa menampung," tutur Intan kepada SINDO Media, Jumat (20/3/2020).
Intan mengatakan, Komisi IX menerima laporan dari berbagai daerah, mereka tidak punya kelengkapan merawat pasien corona contohnya APD. "Mereka keteteran nggak punya, bukan karena distribusinya nggak ada tapi kalau beli pun makin mahal. Akhirnya seadanya. Dan ini sangat berisiko tinggi dan ini bisa menularkan pada yang lain lebih cepat." (Baca Juga: Tak Terlihat Bagikan Masker, Kader Parpol Sibuk Nyinyir soal Corona).
Menurut Intan, harus ada tindakan yang sangat drastis dari pemerintah untuk memutus mata rantai COVID-19. Dan, masyarakat memberikan kepercayaan kepada pemerintah bahwa mereka bisa menangani. Semestinya, Indonesia ini belajar dari otoritas Wuhan, China tempat virus ini berasal.
"Karena sebenarnya teori epidemologi banyak ahlinya sudah ada, ini kan suatu yang bisa diprediksi dini. Bukan suatu kejadian yang tiba-tiba," ujarnya.
Politikus PAN ini menuturkan bahwa landasan hukum Indonesia lengkap. Ada UU Kekarantinaan Kesehatan yang memuat tahapan-tahapannya secara jelas. Bahkan, dengan tahapan pembatasan wilayah yang meliputi tiga tempat, tempat pembelajaran, kantor, dan keagamaan serta pembatasan fasilitas umum. Termasuk juga karantina wilayah atau lockdown.
"Nggak usah pakai istilah susah-susah lockdown atau social distancing, semua ada. Pembatasan sosial secara besar-besaran, itu Pasal 59 mengacu pada social distancing. Lalu apa yang disebut lockdown itu kekarantinaan wilayah. Itu diatur, semua ada yang sudah ditandatangani Presiden pada 2018,” tegas Intan.
Legislator Dapil Kota Depok-Kota Bekasi ini memaparkan bahwa UU ini berlaku untuk semua virus dan penyakit, termasuk corona. Benar bahwa memang masih diperlukan PP untuk membuat kebijakan lockdown, tapi itu semua menjadi kewenangan penuh pemerintah.
"Iya (soal) political will. Karena memang Kepmenkeu (Keputusan Menteri Keuangan) sudah ada, di situ ada DAK (dana alokasi khusus) fisik bidang kesehatan, termasuk bantuan dana operasional bidang kesehatan. Harusnya bisa segera diakses oleh daerah-daerah karena mereka sangat membutuhkan untuk operasional isolasi, APD (alat pelindung diri) dan sebagainya. Kemudian di BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) ada dana siap pakai," bebernya.
Intan menegaskan bahwa persoalan ini harus ditangani. Jika tidak, Indonesia akan lebih banyak mengalami kerugian, bukan hanya korban jiwa tapi juga perekonomian nasional yang mengarah pada krisis.
Terlebih, dia menambahkan, dengan lockdown ini, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang ada dalam wilayah karantina. Dia melihat bahwa memang itu akan menimbulkan chaos atau keributan karena ketidaksiapan pemerintah maupun masyarakat. (Baca Juga: Kampanye Corona lewat RT/RW Dinilai Lebih Efektif Daripada Buzzer).
"Cuma mungkin akan lebih chaos dan kita tidak siap termasuk masyarakat tidak siap untuk itu. Ini kan hanya mendengar lockdown-lockdown tapi yang dimaksud lockdown seperti apa. Ini kan soal jaga jarak saja harus sosialisasi dengan masif," tandasnya.
(zik)