Regulasi Perlu Harmonisasi Agar Perimbangan Pusat dan Daerah Terwujud

Selasa, 03 Maret 2020 - 09:15 WIB
Regulasi Perlu Harmonisasi Agar Perimbangan Pusat dan Daerah Terwujud
Regulasi Perlu Harmonisasi Agar Perimbangan Pusat dan Daerah Terwujud
A A A
SEJATINYA, dana dekonsentrasi merupakan salah satu instrumen pendukung dan bentuk komitmen pemerintah pusat untuk melaksanakan, mendukung, dan mencapai tujuan kebijakan otonomi daerah. Ini sesuai dengan amanat UUD 1945, yakni meningkat kesejahteraan rakyat.

Secara teknis, dana dekonsentrasi dikucurkan dari pusat ke daerah. Pemerintah secara resmi sudah membuatkan regulasinya. Beleid itu tertuang melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248/PMK.07/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan/TP.

Regulasi tersebut juga menyebutkan bahwa dana dekonsentrasi adalah dana pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur untuk mendukung pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi yang berasal dari APBN dan tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Kegiatan dekonsentrasi yang dibiayai bersifat nonfisik dan mendukung penguatan pemberdayaan gubernur selaku wakil pemerintah pusat.

Harapannya, dalam regulasi itu, ada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah serta perimbangan keuangan pusat daerah. Lalu, harus terwujud pula harmonisasi dana dekonsentrasi dan koordinasinya dengan manajemen keuangan daerah.

Harmonisasi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah dengan manajemen keuangan negara juga harus diwujudkan. Lantas, apakah semua harmonisasi itu tercapai? Bisa jadi memang belum sempurna.

Pelaksanaan perimbangan keuangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah selama ini mengalami banyak kendala dan harus mendapat evaluasi. Bahkan, beberapa kalangan menyatakan bahwa pelimpahan kewenangan dekonsentrasi dilaksanakan sebelum pembagian kewenangan antarstrata pemerintahan. Sistemnya pun belum terbentuk secara memadai.

Kucuran dana dari pusat ke daerah sebagai pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah memang harus terus dievaluasi. Menurut pemerhati kebijakan daerah, Rizki Eka, beleid itu harus diatur dalam kebijakan yang lebih rinci dan tidak boleh tumpang tindih dengan pendanaan lainnya. “Kebijakan pelimpahan dana dekonsentrasi masih memiliki kelemahan. Jadi, pembagian kewenangan dan sistemnya mesti terbentuk secara memadai,” katanya.

Oleh sebab itu, ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan konsep kewenangan dekonsentrasi perlu diawasi dengan ketat. Selain itu, ketentuan pelaksanaan atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan mekanisme, kelembagaan, jangka waktu pelimpahan, dan pengendalian manajemen pelimpahan kewenangan dekonsentrasi harus terus diperkuat.

Akan tetapi, ada pertanyaan lain. Apakah nantinya pengelolaan dana dekonsentrasi seharusnya benar-benar murni menjadi urusan daerah? Ataukah hanya untuk menegaskan bahwa dana dekonsentrasi menjadi bagian APBD, baik melalui dana alokasi khusus (DAK), dana alokasi umum (DAU), atau dana otonomi lainnya? “Pertanyaan itu juga harus menjadi perhatian,” katanya.

Eliminasi Ego Sektoral

Kejelasan dan regulasi yang rinci akan mengurangi tumpang tindih perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan dan pertanggungjawabannya. Selain itu, kejelasan ini juga akan menjadi wujud upaya eliminasi ego sektoral kementerian/lembaga yang bisa dikatakan sekadar mencapai target tanpa melihat kepentingan nyata setiap daerah.

Terlebih lagi, masih ada peraturan perundang-undangan sektoral yang belum mengakomodasi asas dekonsentrasi. Intinya, pemerintah pusat dan daerah beserta pemangku kepentingan lain harus saling mendukung sebagai upaya pengembangan dan penyempurnaan sistem manajemen keuangan negara, khususnya mengenai perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sementara itu, dari segi kepemilikan, karena dana yang digunakan bersumber APBN, sudah tentu barang-barang yang diperoleh dari pelaksanaan dana dekonsentrasi merupakan barang milik negara (BMN). Artinya, penerima dana berkewajiban untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan setiap BMN yang diperolehnya dari pelaksanaan dana dekonsentrasi tersebut kepada pemerintah pusat, dalam hal ini kepada Menteri Keuangan selaku pengelola barang yang secara fungsional dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

Sebagaimana diketahui, PMK No.125/PMK.06/2011 mengatur mengenai kewenangan dan tanggung jawab pengelola barang (Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Kekayaan Negara) maupun pengguna barang (menteri/pimpinan lembaga), serta tata cara kegiatan pengelolaan BMN yang diperoleh dari Dana DK-TP sebelum Tahun Anggaran 2011.

Sementara itu, PMK No.120/PMK.06/2007 mengatur tata cara kegiatan penatausahaan BMN yang meliputi kegiatan pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan BMN, baik kepada pengguna barang/kuasa pengguna barang maupun kepada pengelola barang.

Jadi, terkait dana dekonsentrasi, ini bukan sekadar kepercayaan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mendukung tercapainya pembangunan nasional. Namun, ini juga menjadi wujud kesiapan perangkat daerah, baik ketertiban administrasi, sumber daya manusia berkualitas, serta aturan main dan perangkat hukum saat ini yang perlu dibenahi dan disempurnakan.

Tidak ada koordinasi yang baik akan memicu penyimpangan. Celah atas kurangnya koordinasi dan penguatan peran masing-masing menjadi isu yang lebih penting dan mendesak untuk diatasi. Kementerian/lembaga dan pembinaan secara aktif kepada gubernur, bupati, serta wali kota menjadi kunci dan faktor penting. Artinya, jika harmonisasi tercipta, pemerintah daerah akan merasakan dampak langsung capaian yang akan sejalan dengan programnya.

Sebaliknya, bila harmonisasi itu tidak terjadi, menurut pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) FX Sugiyanto, beberapa permasalahan akan muncul. Dua di antaranya adalah pelaporan dan pengawasan. Lalu, yang paling sensitif yakni persoalan akuntabilitas dan transparansi penggunaan alokasi dana. “Untuk itu, pengampu kebijakan harus terlibat secara penuh dalam proses pengelolaan, pengawasan, dan pelaporan. Itu sangat diperlukan,” ungkapnya beberapa waktu lalu. (Widaningsih)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6083 seconds (0.1#10.140)