Dokter Kepresidenan RSPAD Sarankan Terapi CAPD bagi Pasien Gagal Ginjal
A
A
A
JAKARTA - Bagi pasien dengan penyakit ginjal kronis, selain transplantasi ginjal dan hemodialisis (HD), terapi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) salah satu terapi yang lebih efektif dan efisien yang dapat dipertimbangkan.
Menurut dokter kepresidenan RSPAD Gatot Subroto, dr. Jonny, Sp.PD-KGH, M.Kes, MM, CAPD atau yang dikenal cuci darah yang dilakukan lewat perut adalah dialisis yang tidak berhenti selama 24 jam terus menerus dengan menggunakan membran peritoneum (selaput dalam rongga perut) sebagai filter untuk mengeluarkan sisa metabolisme dan cairan dari darah.
"Dialisis tidak menggunakan mesin, sehingga pasien bisa bergerak kemana saja, tanpa berada di rumah sakit seperti HD selama 4 atau lima jam," kata Jonny saat berbicara dalam seminar 'Meningkatkan Kualitas Terapi CAPD Pada Pasien Gagal Ginjal', di Jakarta, Minggu (01/03).
Acara yang digelar oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) bekerja sama dengan Fresenius Medical Care itu dihadiri kurang lebih 60 pasien gagal ginjal.
Jonny mengatakan, metode CAPD ini menggunakan peritoneum sebagai filter untuk mengeluarkan sisa sampah dari darah, ini bertindak sebagai ginjal buatan. "Ginjal buatan itu seperti mesin hemodialisa yang berada di rumah sakit. Kalau terapi CAPD ini menggunakan selaput rongga perut," imbuhnya.
Menurut Jonny, jika program CAPD dijalankan dengan baik maka kualitas pasien akan lebih baik dan kemudian bisa menghemat secara ekonomis. “Kalau kualitas pasien baik, kemungkinan dia butuh biaya perawatan lebih rendah. Ini akan menghemat biaya,” ujarnya.
Pemimpin program CAPD di rumah sakit kebanggaan TNI Angkatan Darat itu menambahkan, terapi CAPD lebih fleksibel dibandingkan terapi hemodialisis (HD) karena bisa dilakukan dimana saja dengan tetap mempertimbangkan ruangan yang bersih dan pencahayaan yang baik.
Tindakan ini, kata dia, bisa dilakukan di kantor bahkan dalam perjalanan. Produktifitas pun lebih baik dan hemat. "Kalau HD, pasien yang produktif akan kehilangan waktu kerja dan waktu bersosialisasi dengan lingkungan,” katanya.
Jonny mengatakan, CAPD juga bisa mempertahankan sisa fungsi ginjal ketimbang terapi HD. Pasalnya, proses pengeluaran cairan dilakukan setiap hari dan tubuh pasien akan terasa lebih sehat dan nyaman.
“Berbeda dengan HD, cairan yang berlebih ditarik dari dalam tubuh keluar ke mesin, maka di dalam pembuluh darah akan kekurangan air, sehingga kalau kurang, alirah darah ke ginjal berkurang, maka sel yang masih bagus akan terganggu. Itu kenapa orang HD lama-lama tidak bisa kencing,” ungkapnya.
Baginya terapi CAPD tidak serta merta bisa dijalankan semua pasien. Dokter yang masih terlihat muda ini memberi contoh, seperti pasien yang mempunyai riwayat kehilangan fungsi peritoneum.
“Yang mempunyai cacat mekanis yang tidak dapat diperbaiki sehingga meningkatkan resiko infeksi bila terapi dengan CAPD dipakai, seperti, hernia, omphalocele, gastroschisis, hernia diafragma, dan ekstropfi kandung kemih,” ungkapnya.
Dia berharap banyak tenaga kesehatan yang mau menjelaskan ketika pasien gagal ginjal sudah dinyatakan harus dialisis bahwa ada tiga terapi yang bisa dipilih sesuai kebutuhannya.
“Selama ini hanya diberi dua pilihan, kalau tidak cuci darah lewat mesin ya melakukan cangkok ginjal. Terapi perut harus juga dijadikan alternatif. Pasien harus mendapat informasi lengkap akan ketiga terapi itu. Biarkanlah pasien yang menentukan pilihannya, karena itu yang terbaik buat mereka,” katanya.
Sementara itu, senior business unit manager Fresenius Medical Care, Astry Tri Astuti berkomitmen untuk selalu mendukung adanya layanan dialisis, salah satunya CAPD di Indonesia dengan memberikan edukasi dan kesadaran kesehatan ginjal kepada masyarakat luas.
Menurutnya, untuk pasien CAPD kita sudah mempersiapkan dengan baik dan mempelajari kendala apa saja yang dihadapi pasien.
"Secara pelayanan dan service logistik, kami berkomitmen bisa melayani pasien sampai ke seluruh Indonesia dan membawa cairan yang mereka butuhkan sampai tiba ke rumah pasien," pungkasnya.
Menurut dokter kepresidenan RSPAD Gatot Subroto, dr. Jonny, Sp.PD-KGH, M.Kes, MM, CAPD atau yang dikenal cuci darah yang dilakukan lewat perut adalah dialisis yang tidak berhenti selama 24 jam terus menerus dengan menggunakan membran peritoneum (selaput dalam rongga perut) sebagai filter untuk mengeluarkan sisa metabolisme dan cairan dari darah.
"Dialisis tidak menggunakan mesin, sehingga pasien bisa bergerak kemana saja, tanpa berada di rumah sakit seperti HD selama 4 atau lima jam," kata Jonny saat berbicara dalam seminar 'Meningkatkan Kualitas Terapi CAPD Pada Pasien Gagal Ginjal', di Jakarta, Minggu (01/03).
Acara yang digelar oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) bekerja sama dengan Fresenius Medical Care itu dihadiri kurang lebih 60 pasien gagal ginjal.
Jonny mengatakan, metode CAPD ini menggunakan peritoneum sebagai filter untuk mengeluarkan sisa sampah dari darah, ini bertindak sebagai ginjal buatan. "Ginjal buatan itu seperti mesin hemodialisa yang berada di rumah sakit. Kalau terapi CAPD ini menggunakan selaput rongga perut," imbuhnya.
Menurut Jonny, jika program CAPD dijalankan dengan baik maka kualitas pasien akan lebih baik dan kemudian bisa menghemat secara ekonomis. “Kalau kualitas pasien baik, kemungkinan dia butuh biaya perawatan lebih rendah. Ini akan menghemat biaya,” ujarnya.
Pemimpin program CAPD di rumah sakit kebanggaan TNI Angkatan Darat itu menambahkan, terapi CAPD lebih fleksibel dibandingkan terapi hemodialisis (HD) karena bisa dilakukan dimana saja dengan tetap mempertimbangkan ruangan yang bersih dan pencahayaan yang baik.
Tindakan ini, kata dia, bisa dilakukan di kantor bahkan dalam perjalanan. Produktifitas pun lebih baik dan hemat. "Kalau HD, pasien yang produktif akan kehilangan waktu kerja dan waktu bersosialisasi dengan lingkungan,” katanya.
Jonny mengatakan, CAPD juga bisa mempertahankan sisa fungsi ginjal ketimbang terapi HD. Pasalnya, proses pengeluaran cairan dilakukan setiap hari dan tubuh pasien akan terasa lebih sehat dan nyaman.
“Berbeda dengan HD, cairan yang berlebih ditarik dari dalam tubuh keluar ke mesin, maka di dalam pembuluh darah akan kekurangan air, sehingga kalau kurang, alirah darah ke ginjal berkurang, maka sel yang masih bagus akan terganggu. Itu kenapa orang HD lama-lama tidak bisa kencing,” ungkapnya.
Baginya terapi CAPD tidak serta merta bisa dijalankan semua pasien. Dokter yang masih terlihat muda ini memberi contoh, seperti pasien yang mempunyai riwayat kehilangan fungsi peritoneum.
“Yang mempunyai cacat mekanis yang tidak dapat diperbaiki sehingga meningkatkan resiko infeksi bila terapi dengan CAPD dipakai, seperti, hernia, omphalocele, gastroschisis, hernia diafragma, dan ekstropfi kandung kemih,” ungkapnya.
Dia berharap banyak tenaga kesehatan yang mau menjelaskan ketika pasien gagal ginjal sudah dinyatakan harus dialisis bahwa ada tiga terapi yang bisa dipilih sesuai kebutuhannya.
“Selama ini hanya diberi dua pilihan, kalau tidak cuci darah lewat mesin ya melakukan cangkok ginjal. Terapi perut harus juga dijadikan alternatif. Pasien harus mendapat informasi lengkap akan ketiga terapi itu. Biarkanlah pasien yang menentukan pilihannya, karena itu yang terbaik buat mereka,” katanya.
Sementara itu, senior business unit manager Fresenius Medical Care, Astry Tri Astuti berkomitmen untuk selalu mendukung adanya layanan dialisis, salah satunya CAPD di Indonesia dengan memberikan edukasi dan kesadaran kesehatan ginjal kepada masyarakat luas.
Menurutnya, untuk pasien CAPD kita sudah mempersiapkan dengan baik dan mempelajari kendala apa saja yang dihadapi pasien.
"Secara pelayanan dan service logistik, kami berkomitmen bisa melayani pasien sampai ke seluruh Indonesia dan membawa cairan yang mereka butuhkan sampai tiba ke rumah pasien," pungkasnya.
(pur)