DPI Desak Pemerintah Rancang UU Periklanan, Ini Alasannya

Sabtu, 22 Februari 2020 - 17:13 WIB
DPI Desak Pemerintah Rancang UU Periklanan, Ini Alasannya
DPI Desak Pemerintah Rancang UU Periklanan, Ini Alasannya
A A A
JAKARTA - Kepemilikan modal asing di industri periklanan nasional begitu besar. Dewan Periklanan Indonesia (DPI) pun merasa risau atas arah konten-konten periklanan yang tidak sesuai etika periklanan Indonesia. Karena itu, DPI mendesak pemerintah untuk mulai merancang Undang-Undang Periklanan yang akan mengatur pembuatan konten yang sesuai dengan budaya Indonesia.

Ketua Presidium Dewan Periklanan Indonesia (DPI) Sancoyo Antarikso dalam acara Penyerahan Naskah Amendemen Etika Pariwara Indonesia (EPI) 2020 di Grha Unilever, Tangerang, Banten, Jumat (21/2/2020) mengatakan, beberapa hal yang menjadi perhatian DPI antara lain, konten-konten periklanan yang harus dilindungi dari pengaruh budaya asing, industri periklanan yang terdisrupsi dengan platform asing seperti Google, Facebook, dan Instagram yang menyerap semakin besar belanja iklan serta soal perlindungan data.

"Definisi periklanan saat ini bukan lagi yang kemarin kita diskusikan, sudah jauh berbeda dan dengan tren global yang semakin mendisrupsi kita butuh perundangan untuk meregulasi," kata Sancoyo, dalam rilis yang diterima SINDOnews, Sabtu (22/2/2020).

Anggota Presidium Dewan Periklanan Indonesia (DPI) Janoe Arijanto menambahkan, saat ini yang terjadi dalam industri periklanan adalah kompetisi yang tidak sehat karena tidak adanya aturan perundangan yang melindungi. Modal asing saat ini diperbolehkan menguasai 67% kepemilikan agensi periklanan, karena tidak lagi masuk dalam negatif list investasi asing.

"Padahal yang menyangkut hajat hidup orang banyak bukan hanya air dan kekayaan alam, tapi juga konten, informasi. Kalau ini dikuasai asing, kan ke depannya membahayakan. Karena itu perlu diatur oleh perundangan," tegas Janoe yang juga Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).

Mengamini Janoe, Ketua Dewan Perguruan Periklanan Indonesia (DP2I) RTS Masli mengatakan, apa yang terjadi di Indonesia berbanding terbalik dengan kondisi industri ini di negara lain, yakni modal asing dibatasi tidak lebih dari 51%. Hal ini terjadi karena mereka memahami bahwa konten tidak boleh dikuasai oleh pemilik modal asing. (Baca Juga: Sepanjang 2019 YouTube Raup Rp205 Triliun dari Iklan).

"Itu bahaya menurut mereka, sementara kita semakin membuka keran modal asing karena mengganggap makin banyak yang masuk maka makin banyak capital inflow. Padahal, industri kreatif itu bukan padat modal tapi padat kreatif," ujarnya.

Pembukaan keran modal asing di periklanan dimulai saat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berjalan. Tapi ternyata tidak terjadi capital inflow karena semua berhenti di Singapura sebagai Hub-nya ASEAN. "Mereka menaruh kantor operasional Asia di sana, bukan di Indonesia."

Lebih lanjut Masli mengingatkan agar para pemangku kepentingan di industri periklanan kembali kepada statuta DPI yaitu melindungi pengaruh dari budaya asing dan terciptanya industri periklanan yang sehat.

Dalam kesempatan tersebut diserahkan pula Buku Naskah Amendemen Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang disampaikan oleh Ketua Panitia Penyempurnaan EPI Hery Margono kepada Ketua Presidium Dewan Periklanan Indonesia Sancoyo Antarikso. EPI 2020 adalah penyempurnaan keempat kalinya, dengan penambahan banyak klausul baru seperti klausul agama, lingkungan, iklan pelaku usaha jasa keuangan, serta penambahan tentang sanksi.

"Kami berharap EPI 2020 yang disempurnakan ini dapat menjadi pedoman perilaku yang dipatuhi seluruh insan pariwara Nusantara."
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7589 seconds (0.1#10.140)