Warisan Budaya Nusantara Jadi Pengingat Jati Diri Bangsa
A
A
A
TEPAT pada tanggal spesial 12-12 tahun lalu, badan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization/UNESCO) menetapkan pencak silat sebagai warisan budaya dunia. Keputusan yang membanggakan Indonesia itu diambil melalui sidang ke-14 Komite Warisan Budaya Tak Benda UNESCO di Bogota, Kolombia.
UNESCO memandang pelestarian pencak silat telah mempererat persaudaraan serta mendorong kohesi sosial. Bukan saja di lingkup nasional, melainkan sudah mencapai kancah internasional. Pencak silat yang sejak lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia telah diadopsi berbagai negara. “Pendidikan pencak silat tidak hanya berfokus pada aspek olahraga dan seni bela diri, melainkan juga aspek budaya,” ujar Kama Pradipta, Direktur Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Kementerian Luar Negeri.
Bukan perkara gampang bagi pencak silat untuk memperoleh status sebagai warisan budaya dunia. Menurut Direktur Jenderal Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid, pemerintah sudah mengusulkan pencak silat sejak 2017. Seabrek bukti dan dokumen mesti disiapkan untuk meyakinkan UNESCO mengenai sejarah perkembangan pencak silat yang sudah ada sejak abad ke-7 atau berusia sekitar 1300 tahun.
Hilmar menjelaskan UNESCO pun menilai seberapa jauh masyarakat masih menghidupkan pencak silat. Ini juga berkaitan dengan upaya pelestarian dan tindak lanjut tanggung jawab masyarakat pada masa mendatang. “Sebab, kalau masyarakatnya enggak bergerak, itu akan dinilai UNESCO apakah warisan budaya tak benda itu masih dilestarikan atau tidak,” ujarnya.
Masuknya pencak silat dalam daftar warisan budaya dunia telah menambah koleksi budaya nasional nonfisik Indonesia yang diakui UNESCO. Sebelumnya, UNESCO telah mengakui wayang, batik, pelatihan batik, angklung, tari Saman, noken, dan tiga genre tradisi tari Bali sebagai warisan budaya dunia.
Itu baru budaya nonfisik. Warisan budaya fisik Indonesia juga tak kalah moncer. Kepulauan Nusantara kaya akan warisan budaya berbentuk benda yang juga diakui dunia. Bahkan, sudah sejak lama UNESCO mencatat sebagian di antaranya sebagai warisan budaya dunia. Sebut saja Borobudur dan Prambanan, dua candi yang menjadi simbol masa kekuasaan Buddha dan Hindu sebelum masuknya Islam. Kedua bangunan megah tersebut sudah mendapatkan pengakuan UNESCO pada 1991.
Lalu, apa untungnya bagi Indonesia? Seberapa bernilai pengakuan UNESCO terhadap budaya kita sehingga Indonesia mesti bersusah-susah mempertahankannya? Semua orang sepakat bahwa budaya adalah identitas sebuah bangsa. Arkeolog Universitas Indonesia Prof. Agus Aris Munandar menyebut warisan budaya sebagai pusaka bangsa. Sebagai pusaka, dia harus dijaga dan tidak boleh diganggu agar jati diri bangsa memiliki referensi. “Ini sebagai bukti dan pengingat bahwa kita punya riwayat masa lalu dengan kegemilangannya. Seperti orang Mesir kuno dengan piramidanya,” tutur Agus kepada SINDO Weekly, Rabu pekan lalu.
Sukronedi, kepala Balai Pelestari Cagar Budaya Jawa Tengah mengungkapkan bahwa ada nilai prestise pada status yang disematkan UNESCO. Ia mencontohkan Borobudur. “Otomatis banyak wisatawan yang akan datang karena sudah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia,” ujar dia kepada SINDO Weekly, Kamis pekan lalu.
SDM dan Anggaran
Pengakuan UNESCO terhadap budaya nasional sejatinya juga merupakan pengakuan terhadap harkat dan martabat bangsa Indonesia. Itu sebabnya bangsa Indonesia memiliki tanggung jawab, setidaknya secara moral, untuk memelihara warisan budayanya. Entah itu yang berbentuk nonfisik maupun yang fisik.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengungkapkan budaya memiliki nilai penting bagi sebuah bangsa. Oleh karena itu, pembangunan kebudayaan merupakan bagian tak terpisah dari program pembangunan nasional secara keseluruhan. “Pembangunan kebudayaan mencerminkan kepribadian bangsa,” katanya dalam Dialog Anugerah Kebudayaan yang merupakan rangkaian Hari Pers Nasional 2020 di Banjarmasin.
Salah satu upaya untuk menjaga dan memelihara budaya tersebut adalah regulasi. Pertama kali Indonesia mengatur perlindungan terhadap cagar budaya melalui Undang-Undang (UU) Nomor 5/1992. UU tersebut dibuat dengan tujuan melestarikan dan memanfaatkan cagar budaya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
UU tersebut lalu disempurnakan dengan UU Nomor 11/2010. UU baru ini menyebutkan bahwa cagar budaya perlu dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Dibandingkan dengan UU sebelumnya, dalam UU Nomor 11/2010, definisi cagar budaya menjadi lebih luas dan rinci.
Secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis UU baru tersebut berbeda dengan UU Nomor 5/1992. Secara filosofis, UU tidak terbatas mengatur benda yang disebut cagar budaya, melainkan meliputi bangunan, struktur, situs, serta kawasan yang terdapat darat dan/atau di air.
Secara sosiologis, UU Nomor 11/2010 mencakup kepemilikan, penguasaan, pengalihan, kompensasi, dan insentif. Pun secara yuridis, UU mengatur hal-hal berkenaan dengan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan yang merupakan bagian dari upaya pelestarian.
Kriteria cagar budaya dalam UU ini yaitu berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Sayangnya, masih ada ganjalan dari aspek regulasi ini. UU baru tersebut belum diturunkan dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan/atau petunjuk teknis sebagai dasar pelaksanaan. Sampai saat ini, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19/1995 yang menjadi petunjuk pelaksana UU Nomor 5/1992 masih digunakan. Padahal, regulasi di bawah UU, baik PP maupun keputusan presiden hingga keputusan menteri sangat diperlukan segera untuk mengimbangi dinamika perubahan masyarakat yang sangat cepat sehingga memunculkan tantangan-tantangan lain dalam upaya pelestarian cagar budaya.
Fahmi Prihantoro, anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Yogyakarta, mengungkapkan bahwa pelestarian cagar budaya tidak mudah. Hal itu berkaitan dengan perilaku masyarakat dan anggaran. “Ada tiga faktor utama problem pelestarian cagar budaya, yaitu perusakan, jual beli, dan biaya pemeliharaan,” ungkap Fahmi.
Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan anggaran antara Rp17 miliar hingga Rp20 miliar untuk renovasi dan perawatan cagar budaya. Jumlah itu terbilang kecil bila dilihat dari anggaran Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM) Kemendikbud. Berdasarkan rencana kerja 2018 lalu, misalnya, Direktorat PCBM mengalokasikan Rp280 miliar untuk seluruh program kerjanya. Jumlah tersebut naik pada 2019 menjadi Rp310 miliar. Namun, dalam dua tahun tersebut, kegiatan revitalisasi, pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya tidak sampai menyedot Rp50 miliar.
Agus Aris Munandar mengakui Indonesia masih banyak mengharap swasta agar memberikan dana kepada penelitian cagar budaya dan cagar alam geopark. Memang, lanjutnya, selama ini ada sejumlah lembaga swasta yang bersedia membantu membiayai riset. Hanya saja, secara persentase, jumlahnya tak lebih dari 1%.
Gara-gara minimnya SDM dan anggaran, banyak situs cagar budaya di wilayah terpencil hingga kini belum bisa diumumkan kepada publik. Namun, menurut Agus Aris Munandar, hal ini lebih bagus ketimbang terlalu gegabah mengumumkannya. Sebab, tidak ada jaminan pemerintah atau pihak berwenang mampu untuk melakukan penjagaan dan merawatnya. Seharusnya, masalah SDM menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah daerah setempat. “Di Indonesia itu hanya Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah yang sangat merawat dan memperhatikan peninggalan kuno,” katanya. (Muhibudin Kamali/Yohannes Tobing/Efi Susiyanti)
UNESCO memandang pelestarian pencak silat telah mempererat persaudaraan serta mendorong kohesi sosial. Bukan saja di lingkup nasional, melainkan sudah mencapai kancah internasional. Pencak silat yang sejak lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia telah diadopsi berbagai negara. “Pendidikan pencak silat tidak hanya berfokus pada aspek olahraga dan seni bela diri, melainkan juga aspek budaya,” ujar Kama Pradipta, Direktur Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Kementerian Luar Negeri.
Bukan perkara gampang bagi pencak silat untuk memperoleh status sebagai warisan budaya dunia. Menurut Direktur Jenderal Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid, pemerintah sudah mengusulkan pencak silat sejak 2017. Seabrek bukti dan dokumen mesti disiapkan untuk meyakinkan UNESCO mengenai sejarah perkembangan pencak silat yang sudah ada sejak abad ke-7 atau berusia sekitar 1300 tahun.
Hilmar menjelaskan UNESCO pun menilai seberapa jauh masyarakat masih menghidupkan pencak silat. Ini juga berkaitan dengan upaya pelestarian dan tindak lanjut tanggung jawab masyarakat pada masa mendatang. “Sebab, kalau masyarakatnya enggak bergerak, itu akan dinilai UNESCO apakah warisan budaya tak benda itu masih dilestarikan atau tidak,” ujarnya.
Masuknya pencak silat dalam daftar warisan budaya dunia telah menambah koleksi budaya nasional nonfisik Indonesia yang diakui UNESCO. Sebelumnya, UNESCO telah mengakui wayang, batik, pelatihan batik, angklung, tari Saman, noken, dan tiga genre tradisi tari Bali sebagai warisan budaya dunia.
Itu baru budaya nonfisik. Warisan budaya fisik Indonesia juga tak kalah moncer. Kepulauan Nusantara kaya akan warisan budaya berbentuk benda yang juga diakui dunia. Bahkan, sudah sejak lama UNESCO mencatat sebagian di antaranya sebagai warisan budaya dunia. Sebut saja Borobudur dan Prambanan, dua candi yang menjadi simbol masa kekuasaan Buddha dan Hindu sebelum masuknya Islam. Kedua bangunan megah tersebut sudah mendapatkan pengakuan UNESCO pada 1991.
Lalu, apa untungnya bagi Indonesia? Seberapa bernilai pengakuan UNESCO terhadap budaya kita sehingga Indonesia mesti bersusah-susah mempertahankannya? Semua orang sepakat bahwa budaya adalah identitas sebuah bangsa. Arkeolog Universitas Indonesia Prof. Agus Aris Munandar menyebut warisan budaya sebagai pusaka bangsa. Sebagai pusaka, dia harus dijaga dan tidak boleh diganggu agar jati diri bangsa memiliki referensi. “Ini sebagai bukti dan pengingat bahwa kita punya riwayat masa lalu dengan kegemilangannya. Seperti orang Mesir kuno dengan piramidanya,” tutur Agus kepada SINDO Weekly, Rabu pekan lalu.
Sukronedi, kepala Balai Pelestari Cagar Budaya Jawa Tengah mengungkapkan bahwa ada nilai prestise pada status yang disematkan UNESCO. Ia mencontohkan Borobudur. “Otomatis banyak wisatawan yang akan datang karena sudah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia,” ujar dia kepada SINDO Weekly, Kamis pekan lalu.
SDM dan Anggaran
Pengakuan UNESCO terhadap budaya nasional sejatinya juga merupakan pengakuan terhadap harkat dan martabat bangsa Indonesia. Itu sebabnya bangsa Indonesia memiliki tanggung jawab, setidaknya secara moral, untuk memelihara warisan budayanya. Entah itu yang berbentuk nonfisik maupun yang fisik.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengungkapkan budaya memiliki nilai penting bagi sebuah bangsa. Oleh karena itu, pembangunan kebudayaan merupakan bagian tak terpisah dari program pembangunan nasional secara keseluruhan. “Pembangunan kebudayaan mencerminkan kepribadian bangsa,” katanya dalam Dialog Anugerah Kebudayaan yang merupakan rangkaian Hari Pers Nasional 2020 di Banjarmasin.
Salah satu upaya untuk menjaga dan memelihara budaya tersebut adalah regulasi. Pertama kali Indonesia mengatur perlindungan terhadap cagar budaya melalui Undang-Undang (UU) Nomor 5/1992. UU tersebut dibuat dengan tujuan melestarikan dan memanfaatkan cagar budaya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
UU tersebut lalu disempurnakan dengan UU Nomor 11/2010. UU baru ini menyebutkan bahwa cagar budaya perlu dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Dibandingkan dengan UU sebelumnya, dalam UU Nomor 11/2010, definisi cagar budaya menjadi lebih luas dan rinci.
Secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis UU baru tersebut berbeda dengan UU Nomor 5/1992. Secara filosofis, UU tidak terbatas mengatur benda yang disebut cagar budaya, melainkan meliputi bangunan, struktur, situs, serta kawasan yang terdapat darat dan/atau di air.
Secara sosiologis, UU Nomor 11/2010 mencakup kepemilikan, penguasaan, pengalihan, kompensasi, dan insentif. Pun secara yuridis, UU mengatur hal-hal berkenaan dengan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan yang merupakan bagian dari upaya pelestarian.
Kriteria cagar budaya dalam UU ini yaitu berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Sayangnya, masih ada ganjalan dari aspek regulasi ini. UU baru tersebut belum diturunkan dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan/atau petunjuk teknis sebagai dasar pelaksanaan. Sampai saat ini, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19/1995 yang menjadi petunjuk pelaksana UU Nomor 5/1992 masih digunakan. Padahal, regulasi di bawah UU, baik PP maupun keputusan presiden hingga keputusan menteri sangat diperlukan segera untuk mengimbangi dinamika perubahan masyarakat yang sangat cepat sehingga memunculkan tantangan-tantangan lain dalam upaya pelestarian cagar budaya.
Fahmi Prihantoro, anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Yogyakarta, mengungkapkan bahwa pelestarian cagar budaya tidak mudah. Hal itu berkaitan dengan perilaku masyarakat dan anggaran. “Ada tiga faktor utama problem pelestarian cagar budaya, yaitu perusakan, jual beli, dan biaya pemeliharaan,” ungkap Fahmi.
Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan anggaran antara Rp17 miliar hingga Rp20 miliar untuk renovasi dan perawatan cagar budaya. Jumlah itu terbilang kecil bila dilihat dari anggaran Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM) Kemendikbud. Berdasarkan rencana kerja 2018 lalu, misalnya, Direktorat PCBM mengalokasikan Rp280 miliar untuk seluruh program kerjanya. Jumlah tersebut naik pada 2019 menjadi Rp310 miliar. Namun, dalam dua tahun tersebut, kegiatan revitalisasi, pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya tidak sampai menyedot Rp50 miliar.
Agus Aris Munandar mengakui Indonesia masih banyak mengharap swasta agar memberikan dana kepada penelitian cagar budaya dan cagar alam geopark. Memang, lanjutnya, selama ini ada sejumlah lembaga swasta yang bersedia membantu membiayai riset. Hanya saja, secara persentase, jumlahnya tak lebih dari 1%.
Gara-gara minimnya SDM dan anggaran, banyak situs cagar budaya di wilayah terpencil hingga kini belum bisa diumumkan kepada publik. Namun, menurut Agus Aris Munandar, hal ini lebih bagus ketimbang terlalu gegabah mengumumkannya. Sebab, tidak ada jaminan pemerintah atau pihak berwenang mampu untuk melakukan penjagaan dan merawatnya. Seharusnya, masalah SDM menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah daerah setempat. “Di Indonesia itu hanya Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah yang sangat merawat dan memperhatikan peninggalan kuno,” katanya. (Muhibudin Kamali/Yohannes Tobing/Efi Susiyanti)
(ysw)