Status DPO Nurhadi Disebut Cuma Formalitas, Haris Azhar: Ini Modus Baru
A
A
A
JAKARTA - Direktur Lokataru Foundation Haris Azhar menyebut masuknya mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dalam daftar pencarian orang (DPO) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya sekedar formalitas saja. (Baca juga: KPK Tetapkan Mantan Sekretaris MA Nurhadi Jadi DPO)
Sebab menurutnya, status DPO itu untuk menutupi ketidakmampuan lembaga antikorupsi itu dalam menangkap Nurhadi. "DPO formalitas. Karena KPK enggak berani tangkap Nurhadi dan menantunya. Jadi status itu, jadi kan lucu," ujar Haris di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (18/2/2020). (Baca juga: Pimpinan KPK Perintahkan Penyidik Jemput Paksa Nurhadi dan Menantunya)
Selain formalitas, status DPO oleh KPK dianggap sebagai modus baru. Menurutnya orang yang dituduh korupsi oleh KPK seenaknya dijadikan DPO "Kenapa ini kok jadi kayak modus Ya, semua orang yang dituduh korupsi jadi kayak DPO semua ini. Nih kayaknya ada modus baru, orang dituduh korupsi yang ditersangkakan sebagai koruptor itu dengan enak-enaknya atau gampangnya mereka menjadi DPO, tapi juga nggak dicari sama KPK," ungkapnya.
Haris menyimpulkan KPK semakin hari semakin tidak berdaya. Ditambah dengan undang-undang dan pimpinan yang baru. "Inilah bukti bahwa KPK tambah hari tambah keropos ya, dengan UU baru dan pimpinan baru," tuturnya.
KPK sebelumnya telah menetapkan status DPO terhadap Nurhadi, tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi dalam pelaksanaan perkara di Mahkamah Agung 2011 sampai 2016. Selain Nurhadi, dua orang lainnya yakni menantu Nurhadi, Rezky Herbiono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto juga jadi buronan KPK.
Nurhadi diduga menerima suap Rp33,1 miliar dari Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto lewat Rezky. Suap dimaksudkan untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT.
Selain itu, Nurhadi juga diduga menerima sembilan lembar cek dari Hiendra terkait Peninjauan Kembali (PK) perkara di MA. Pada kasus gratifikasi, Nurhadi diduga mengantongi Rp12,9 miliar dalam kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Gratifikasi diduga terkait pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, jugan untuk Permohonan Perwalian.
Atas ulahnya sebagai penerima, Nurhadi dan Resky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sebab menurutnya, status DPO itu untuk menutupi ketidakmampuan lembaga antikorupsi itu dalam menangkap Nurhadi. "DPO formalitas. Karena KPK enggak berani tangkap Nurhadi dan menantunya. Jadi status itu, jadi kan lucu," ujar Haris di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (18/2/2020). (Baca juga: Pimpinan KPK Perintahkan Penyidik Jemput Paksa Nurhadi dan Menantunya)
Selain formalitas, status DPO oleh KPK dianggap sebagai modus baru. Menurutnya orang yang dituduh korupsi oleh KPK seenaknya dijadikan DPO "Kenapa ini kok jadi kayak modus Ya, semua orang yang dituduh korupsi jadi kayak DPO semua ini. Nih kayaknya ada modus baru, orang dituduh korupsi yang ditersangkakan sebagai koruptor itu dengan enak-enaknya atau gampangnya mereka menjadi DPO, tapi juga nggak dicari sama KPK," ungkapnya.
Haris menyimpulkan KPK semakin hari semakin tidak berdaya. Ditambah dengan undang-undang dan pimpinan yang baru. "Inilah bukti bahwa KPK tambah hari tambah keropos ya, dengan UU baru dan pimpinan baru," tuturnya.
KPK sebelumnya telah menetapkan status DPO terhadap Nurhadi, tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi dalam pelaksanaan perkara di Mahkamah Agung 2011 sampai 2016. Selain Nurhadi, dua orang lainnya yakni menantu Nurhadi, Rezky Herbiono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto juga jadi buronan KPK.
Nurhadi diduga menerima suap Rp33,1 miliar dari Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (PT MIT) Hiendra Soenjoto lewat Rezky. Suap dimaksudkan untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT.
Selain itu, Nurhadi juga diduga menerima sembilan lembar cek dari Hiendra terkait Peninjauan Kembali (PK) perkara di MA. Pada kasus gratifikasi, Nurhadi diduga mengantongi Rp12,9 miliar dalam kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Gratifikasi diduga terkait pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, jugan untuk Permohonan Perwalian.
Atas ulahnya sebagai penerima, Nurhadi dan Resky disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) lebih subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara Hiendra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(cip)