Menyoal Urgensi Pemulangan Eks Kombatan ISIS
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum SOKSI/Kepala Badan Bela Negara FKPPI
WACANA pemulangan ratusan kombatan eks Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) berpotensi merusak upaya berkelanjutan mewujudkan kondusivitas di dalam negeri. Masyarakat lebih mendambakan terjaganya stabilitas keamanan dan ketertiban umum, sementara komunitas pengusaha berharap pemerintah all out mengeliminasi semua hambatan berbisnis. Pada dua agenda inilah hendaknya pemerintah berfokus.
Peristiwa penusukan yang dialami Jenderal Purnawirawan TNI Wiranto semasa masih menjabat menko polhukam pasti belum hilang dari ingatan banyak orang. Serangan mematikan itu terjadi pada tengah hari bolong 10 Oktober 2019 di Pandeglang, Banten. Wiranto ditusuk pasangan suami-istri bersenjata tajam. Dari hasil penyelidikan polisi tentang latar belakang pelaku penusukan, keduanya yang berinisial SA dan FA itu terindikasi kuat sudah terpapar ISIS. Selain mengajak istri (SA), FA juga mengajak anaknya yang berusia 12 tahun untuk ikut menyerang Wiranto. Anak itu bahkan sudah dibekali senjata tajam.
Belakangan FA diketahui sebagai anggota jaringan teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) kelompok Bekasi. Dia pun mengaku punya hubungan dekat dengan Abu Zee, amir atau ketua JAD Bekasi. SA dan FA bahkan dinikahkan oleh Abu Zee. Keduanya bermukim di Kampung Menes, Pandeglang. FA mulai goyah menyusul berita tertangkapnya Abu Zee pada September 2019. Stres karena takut ditangkap, FA mengajak istri dan anaknya menyerang Wiranto.
Peristiwa penusukan Wiranto dan latar belakang pelaku penusukan itu sengaja diungkap lagi saat ini untuk sekadar menyegarkan ingatan bersama tentang ancaman terorisme di dalam negeri. Ancaman itu nyata karena jaringan sel-sel teroris lokal masih aktif mengintai. Mereka bertebaran di berbagai daerah, membaur di tengah kehidupan masyarakat. Banyak yang sudah ditangkap, tetapi tidak sedikit pula yang terus mencari momentum untuk melancarkan aksinya.
Maka, wajar saja jika muncul beragam pertanyaan dan komentar ketika dimunculkan wacana tentang memulangkan 660 orang warga negara Indonesia (WNI) anggota ISIS dari lokasi penampungan mereka di sejumlah tempat di kawasan Timur Tengah. Apa urgensinya? Mengapa wacana itu tidak dikaitkan dulu dengan fakta peristiwa penusukan Wiranto yang menjadi bukti tentang ancaman nyata dari sel-sel teroris di dalam negeri? Kalau alasannya demi kemanusiaan, bukankah para kombatan ISIS itu sendiri adalah ancaman terhadap kemanusiaan? Mereka sudah dibekali tekad untuk menghancurkan siapa saja yang menentang ambisi ISIS. Mereka bahkan membuang paspor Indonesia dan menilai pemerintah Indonesia sebagai Thogut.
Wacana itu memberi gambaran tentang belum efektifnya pengelolaan masalah. Bayangkan, masih pada Desember 2019, Tim Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror Mabes Polri masih sibuk melakukan penangkapan terduga teroris di sejumlah daerah. Selepas pekan kedua Desember 2019 misalnya, Densus 88 menangkap seorang terduga teroris berinisial FA, warga Bintaran Kulon, Wirogunan, Mergangsan di Yogyakarta. Densus 88 juga menangkap seorang terduga teroris berinisial KWN di Papua pada pekan pertama Desember itu.
Pada akhir 2019 Polri telah menangkap tidak kurang dari 92 terduga teroris di seluruh Indonesia. Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah pasti harus bekerja keras mencari dan menyediakan tempat penampungan atau ruang tahanan untuk jumlah sebanyak itu. Tidak hanya itu, upaya deradikalisasi pun ternyata tidak mudah. Butuh waktu lama dan proses yang panjang. Artinya, pekerjaan dalam konteks ini tidak hanya berat, tetapi juga sangat rumit, dan dengan tingkat keberhasilan yang belum tentu 100%. Tetapi, atas nama kemanusiaan, kerja deradikalisasi itu harus dilakoni.
Memulangkan 660 eks kombatan ISIS tentu saja akan menambah dan membuat masalah semakin pelik. Pertanyaannya, setelah tiba di Tanah Air, ratusan orang itu akan ditempatkan di mana? Menampung lebih dari 200 orang yang dievakuasi dari China karena alasan virus korona saja sudah memancing pro-kontra. Apalagi menampung eks kombatan ISIS. Kalau dikembalikan ke desa atau kota asal, tidakkah itu akan menambah risiko? Selanjutnya tentu saja adalah pertanyaan mengenai bagaimana memperlakukan para simpatisan ISIS itu? Lagi pula, bisa dipastikan bahwa deradikalisasi terhadap mereka menjadi sangat tidak mudah. Apalagi, mereka secara sepihak sudah mencampakkan status WNI-nya.
Dengan begitu, wacana pemulangan eks kombatan ISIS tidaklah relevan, tidak pula produktif untuk saat ini. Wacana itu justru membuat masyarakat marah dan tidak nyaman sehingga berbagai kalangan sudah menyuarakan penolakan. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ( PBNU) Said Aqil Siradj menolak wacana itu. "Saya tolak, saya tidak setuju. Mereka sudah meninggalkan negara, membakar paspornya. Mengatakan kita Thogut," kata Said Aqil.
Penolakan itu tentu dilandasi pemikiran bahwa memulangkan WNI anggota ISIS berpotensi merusak upaya berkelanjutan mewujudkan kondusivitas di dalam negeri. Sebab, mereka memang fokus pada upaya membuat kekacauan dan menebar teror. Itu sebabnya, bertetangga dengan mereka membuat banyak orang tidak nyaman karena takut bom yang mereka simpan di rumahnya bisa meledak setiap saat. Artinya, ketika rasa cemas karena ancaman penyebaran virus korona belum lagi sirna, jangan sampai masyarakat dibuat takut dengan wacana memulangkan eks kombatan ISIS itu. Silakan jika wacana itu dihidupkan lagi di kemudian hari. Tetapi, untuk sekarang, wacana itu sebaiknya diakhiri.
Cobalah untuk memahami suasana kebatinan masyarakat saat ini. Setelah ketidaknyamanan sepanjang tahun politik 2019, kini masyarakat lebih mendambakan terjaganya stabilitas keamanan dan ketertiban umum. Mewujudkan hal ini saja masih tidak mudah karena di sana-sini masih saja ada perilaku intoleran dan diskriminatif. Sedangkan komunitas pengusaha berharap pemerintah all out mengeliminasi semua hambatan berbisnis. Pada dua agenda inilah hendaknya pemerintah berfokus. Mewujudkan aspek kemudahan berbisnis terbukti sangat sulit sehingga pemerintah dan DPR bersepakat menggagas dan merancang Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dengan pendekatan Omnibus Law.
Sudah terbukti bahwa wacana pemulangan eks kombatan ISIS itu malah menimbulkan gaduh. Karena tidak ada urgensi untuk wacana itu, selayaknya tidak dilanjutkan. Sebab, masih begitu banyak masalah dan program di dalam negeri yang harus dikerjakan dan diselesaikan oleh pemerintah maupun DPR. Karena itu, pemerintah disarankan untuk kembali fokus pada program-program prioritas yang memang diharapkan dan dibutuhkan masyarakat.
Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum SOKSI/Kepala Badan Bela Negara FKPPI
WACANA pemulangan ratusan kombatan eks Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) berpotensi merusak upaya berkelanjutan mewujudkan kondusivitas di dalam negeri. Masyarakat lebih mendambakan terjaganya stabilitas keamanan dan ketertiban umum, sementara komunitas pengusaha berharap pemerintah all out mengeliminasi semua hambatan berbisnis. Pada dua agenda inilah hendaknya pemerintah berfokus.
Peristiwa penusukan yang dialami Jenderal Purnawirawan TNI Wiranto semasa masih menjabat menko polhukam pasti belum hilang dari ingatan banyak orang. Serangan mematikan itu terjadi pada tengah hari bolong 10 Oktober 2019 di Pandeglang, Banten. Wiranto ditusuk pasangan suami-istri bersenjata tajam. Dari hasil penyelidikan polisi tentang latar belakang pelaku penusukan, keduanya yang berinisial SA dan FA itu terindikasi kuat sudah terpapar ISIS. Selain mengajak istri (SA), FA juga mengajak anaknya yang berusia 12 tahun untuk ikut menyerang Wiranto. Anak itu bahkan sudah dibekali senjata tajam.
Belakangan FA diketahui sebagai anggota jaringan teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) kelompok Bekasi. Dia pun mengaku punya hubungan dekat dengan Abu Zee, amir atau ketua JAD Bekasi. SA dan FA bahkan dinikahkan oleh Abu Zee. Keduanya bermukim di Kampung Menes, Pandeglang. FA mulai goyah menyusul berita tertangkapnya Abu Zee pada September 2019. Stres karena takut ditangkap, FA mengajak istri dan anaknya menyerang Wiranto.
Peristiwa penusukan Wiranto dan latar belakang pelaku penusukan itu sengaja diungkap lagi saat ini untuk sekadar menyegarkan ingatan bersama tentang ancaman terorisme di dalam negeri. Ancaman itu nyata karena jaringan sel-sel teroris lokal masih aktif mengintai. Mereka bertebaran di berbagai daerah, membaur di tengah kehidupan masyarakat. Banyak yang sudah ditangkap, tetapi tidak sedikit pula yang terus mencari momentum untuk melancarkan aksinya.
Maka, wajar saja jika muncul beragam pertanyaan dan komentar ketika dimunculkan wacana tentang memulangkan 660 orang warga negara Indonesia (WNI) anggota ISIS dari lokasi penampungan mereka di sejumlah tempat di kawasan Timur Tengah. Apa urgensinya? Mengapa wacana itu tidak dikaitkan dulu dengan fakta peristiwa penusukan Wiranto yang menjadi bukti tentang ancaman nyata dari sel-sel teroris di dalam negeri? Kalau alasannya demi kemanusiaan, bukankah para kombatan ISIS itu sendiri adalah ancaman terhadap kemanusiaan? Mereka sudah dibekali tekad untuk menghancurkan siapa saja yang menentang ambisi ISIS. Mereka bahkan membuang paspor Indonesia dan menilai pemerintah Indonesia sebagai Thogut.
Wacana itu memberi gambaran tentang belum efektifnya pengelolaan masalah. Bayangkan, masih pada Desember 2019, Tim Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror Mabes Polri masih sibuk melakukan penangkapan terduga teroris di sejumlah daerah. Selepas pekan kedua Desember 2019 misalnya, Densus 88 menangkap seorang terduga teroris berinisial FA, warga Bintaran Kulon, Wirogunan, Mergangsan di Yogyakarta. Densus 88 juga menangkap seorang terduga teroris berinisial KWN di Papua pada pekan pertama Desember itu.
Pada akhir 2019 Polri telah menangkap tidak kurang dari 92 terduga teroris di seluruh Indonesia. Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah pasti harus bekerja keras mencari dan menyediakan tempat penampungan atau ruang tahanan untuk jumlah sebanyak itu. Tidak hanya itu, upaya deradikalisasi pun ternyata tidak mudah. Butuh waktu lama dan proses yang panjang. Artinya, pekerjaan dalam konteks ini tidak hanya berat, tetapi juga sangat rumit, dan dengan tingkat keberhasilan yang belum tentu 100%. Tetapi, atas nama kemanusiaan, kerja deradikalisasi itu harus dilakoni.
Memulangkan 660 eks kombatan ISIS tentu saja akan menambah dan membuat masalah semakin pelik. Pertanyaannya, setelah tiba di Tanah Air, ratusan orang itu akan ditempatkan di mana? Menampung lebih dari 200 orang yang dievakuasi dari China karena alasan virus korona saja sudah memancing pro-kontra. Apalagi menampung eks kombatan ISIS. Kalau dikembalikan ke desa atau kota asal, tidakkah itu akan menambah risiko? Selanjutnya tentu saja adalah pertanyaan mengenai bagaimana memperlakukan para simpatisan ISIS itu? Lagi pula, bisa dipastikan bahwa deradikalisasi terhadap mereka menjadi sangat tidak mudah. Apalagi, mereka secara sepihak sudah mencampakkan status WNI-nya.
Dengan begitu, wacana pemulangan eks kombatan ISIS tidaklah relevan, tidak pula produktif untuk saat ini. Wacana itu justru membuat masyarakat marah dan tidak nyaman sehingga berbagai kalangan sudah menyuarakan penolakan. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ( PBNU) Said Aqil Siradj menolak wacana itu. "Saya tolak, saya tidak setuju. Mereka sudah meninggalkan negara, membakar paspornya. Mengatakan kita Thogut," kata Said Aqil.
Penolakan itu tentu dilandasi pemikiran bahwa memulangkan WNI anggota ISIS berpotensi merusak upaya berkelanjutan mewujudkan kondusivitas di dalam negeri. Sebab, mereka memang fokus pada upaya membuat kekacauan dan menebar teror. Itu sebabnya, bertetangga dengan mereka membuat banyak orang tidak nyaman karena takut bom yang mereka simpan di rumahnya bisa meledak setiap saat. Artinya, ketika rasa cemas karena ancaman penyebaran virus korona belum lagi sirna, jangan sampai masyarakat dibuat takut dengan wacana memulangkan eks kombatan ISIS itu. Silakan jika wacana itu dihidupkan lagi di kemudian hari. Tetapi, untuk sekarang, wacana itu sebaiknya diakhiri.
Cobalah untuk memahami suasana kebatinan masyarakat saat ini. Setelah ketidaknyamanan sepanjang tahun politik 2019, kini masyarakat lebih mendambakan terjaganya stabilitas keamanan dan ketertiban umum. Mewujudkan hal ini saja masih tidak mudah karena di sana-sini masih saja ada perilaku intoleran dan diskriminatif. Sedangkan komunitas pengusaha berharap pemerintah all out mengeliminasi semua hambatan berbisnis. Pada dua agenda inilah hendaknya pemerintah berfokus. Mewujudkan aspek kemudahan berbisnis terbukti sangat sulit sehingga pemerintah dan DPR bersepakat menggagas dan merancang Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dengan pendekatan Omnibus Law.
Sudah terbukti bahwa wacana pemulangan eks kombatan ISIS itu malah menimbulkan gaduh. Karena tidak ada urgensi untuk wacana itu, selayaknya tidak dilanjutkan. Sebab, masih begitu banyak masalah dan program di dalam negeri yang harus dikerjakan dan diselesaikan oleh pemerintah maupun DPR. Karena itu, pemerintah disarankan untuk kembali fokus pada program-program prioritas yang memang diharapkan dan dibutuhkan masyarakat.
(jon)