Perihal Fenomena Kerajaan Baru
A
A
A
Abdul Mu’ ti
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Belakangan ini masyarakat dihebohkan oleh deklarasi beberapa "kerajaan baru". Empat di antaranya adalah Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, Kerajaan Jipang di Blora, Sunda Empire, dan King of The King di Tangerang-Bandung.
Aparatur keamanan langsung sigap meringkus pelaku. Mereka didakwa melakukan tindak kriminal: penipuan. Para raja itu memberikan iming-iming jabatan dengan tarif tertentu. Sebagian menawarkan solusi keuangan bagi yang terlilit utang.
Untuk sementara langkah polisi dapat menenangkan situasi, tapi masalah sesungguhnya belum sepenuhnya teratasi.
Kritik Atas Negara
Mereka yang memproklamasikan diri sebagai raja bukanlah siapa-siapa. Bukan public figure , selebritas, atau tokoh terkemuka lainnya. Tetapi, mereka adalah potret nyata dan bagian dari hidup sehari-hari masyarakat kita.
Karena itu, tidak perlu terkejut, marah, atau menghujat mereka. Para raja, kerajaan, dan pendukungnya adalah refleksi bangsa yang sedang "sakit".
Pertama , secara psikologis mereka mengidap narsisme; mengagumi diri sendiri, merasa hebat dengan berbagai khayalan.
Mereka membayangkan dirinya sebagai sosok raja di raja yang berkuasa dan bergelimang harta. Narsisme adalah alternasi atau sublimasi dari realitas hidup yang getir dan penuh dengan kegagalan.
Kedua , secara sosiologis fenomena kerajaan baru mencerminkan masyarakat yang feodalistis. Dalam masyarakat feodal, strata sosial ditentukan oleh silsilah keluarga (nasab), kepemilikan harta, dan jabatan sosial.
Ketika tidak meritokrasi, nasib seseorang ditentukan oleh nasab. Sekarang banyak orang sibuk mencari silsilah dengan jalur agama atau kerajaan.
Di kalangan umat Islam ada yang sibuk mencari pertalian darah dengan nabi demi sebutan habib atau sebutan agung lainnya. Beberapa keraton menawarkan gelar ningrat, seperti raden, tumenggung, dan gelar kebangsawanan lainnya dengan tarif tertentu.
Ketiga, fenomena kerajaan baru merupakan kritik pada negara. Para raja itu merasa "terpanggil" menyelamatkan budaya dan tradisi yang tidak mendapatkan perhatian semestinya dari pemerintah.
Salah satu alasan pendirian Kerajaan Jipang adalah untuk menyelamatkan Kerajaan Jipang yang pernah dipimpin Aria Penangsang dan berbagai adat-istiadat yang tidak terawat.
Sebagian mereka mungkin juga berasal dari keturunan ningrat atau aristokrat, tetapi demokratisasi membuat mereka tergeser dan tergusur. Banyak politisi yang menjadi orang kaya baru.
Sementara mereka hidup dalam kebanggaan masa lalu oleh kebesaran nama keluarga, keturunan pahlawan, atau pejabat hebat, tetapi harus hidup dalam kehidupan yang serba berkekurangan.
Keempat , secara moral-agama fenomena kerajaan baru menggambarkan rusaknya moralitas bangsa. Demi mendapatkan harta, mereka menggunakan segala cara; menipu.
Masyarakat yang bermasalah secara ekonomi mudah terpengaruh dengan cara instan menyelesaikan berbagai persoalan lilitan hutang, gaya hidup yang hedonistis-konsumtif, atau pragmatisme mendapatkan keuntungan.
Para raja itu memamerkan kebohongan dengan harta melimpah dan pengaruh besar dengan mencatut nama Kerajaan Inggris dan sebagainya. Lemahnya moralitas membuat masyarakat menempuh jalan pintas, menerabas norma agama, dan melakukan cara-cara yang irasional.
Perhatian Negara
Mereka yang terbukti menipu memang harus diadili. Penipuan adalah tindak kriminal yang mesti mendapatkan hukuman setimpal. Pada aspek ini sudah benar langkah kepolisian. Hukuman yang berat diharapkan menimbulkan efek jera.
Tidak perlu khawatir para raja itu akan mendirikan kerajaan yang menjadi "negara" dalam negara. Tidak mungkin juga mereka menjadi kelompok separatis yang akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Para raja itu juga tidak punya ideologi politik atau negara. Mereka terlalu lemah dan kecil. Para raja itu adalah bagian dari anak bangsa yang sarat dengan berbagai masalah dan tidak mampu menyelesaikan dengan cara sebagaimana mestinya. Hal yang diperlukan adalah penyelesaian moral-sosial.
Mereka adalah anak bangsa yang memerlukan perhatian negara, terutama dari sisi ekonomi. Diperlukan program-program ekonomi yang lebih menyentuh masyarakat lapis bawah atau iklim dan kesempatan berusaha yang memihak kepada mereka yang kecil.
Atas nama kemudahan berinvestasi, kebijakan ekonomi berpotensi membesarkan yang besar menjadi raksasa dan yang kecil semakin tenggelam.
Pembinaan agama perlu lebih diarahkan pada solusi kehidupan sehari-hari. Semarak ceramah dan dakwah agama ternyata tidak mampu mengisi kekosongan spiritual masyarakat modern. Terlalu banyak seremoni dan ritual di balik tembok-tembok tempat ibadah, sementara ruang publik yang kumuh dan becek tidak pernah terjamah.
Agama terkadang hanya menjadi tempat pelarian spiritual dan panasea semu di tengah problematika hidup yang mendera. Para pendakwah agama perlu hadir mendampingi dan menemani kaum dhuafa.
Selain itu, mereka juga perlu memandu bagaimana hidup bersahaja dengan kesederhanaan melalui teladan bukan justru menampilkan diri dengan glamor. Di tengah masyarakat yang konsumtif, masyarakat memerlukan panduan bagaimana hidup qanaah bukan melulu tuntutan ritual ibadah.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Belakangan ini masyarakat dihebohkan oleh deklarasi beberapa "kerajaan baru". Empat di antaranya adalah Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo, Kerajaan Jipang di Blora, Sunda Empire, dan King of The King di Tangerang-Bandung.
Aparatur keamanan langsung sigap meringkus pelaku. Mereka didakwa melakukan tindak kriminal: penipuan. Para raja itu memberikan iming-iming jabatan dengan tarif tertentu. Sebagian menawarkan solusi keuangan bagi yang terlilit utang.
Untuk sementara langkah polisi dapat menenangkan situasi, tapi masalah sesungguhnya belum sepenuhnya teratasi.
Kritik Atas Negara
Mereka yang memproklamasikan diri sebagai raja bukanlah siapa-siapa. Bukan public figure , selebritas, atau tokoh terkemuka lainnya. Tetapi, mereka adalah potret nyata dan bagian dari hidup sehari-hari masyarakat kita.
Karena itu, tidak perlu terkejut, marah, atau menghujat mereka. Para raja, kerajaan, dan pendukungnya adalah refleksi bangsa yang sedang "sakit".
Pertama , secara psikologis mereka mengidap narsisme; mengagumi diri sendiri, merasa hebat dengan berbagai khayalan.
Mereka membayangkan dirinya sebagai sosok raja di raja yang berkuasa dan bergelimang harta. Narsisme adalah alternasi atau sublimasi dari realitas hidup yang getir dan penuh dengan kegagalan.
Kedua , secara sosiologis fenomena kerajaan baru mencerminkan masyarakat yang feodalistis. Dalam masyarakat feodal, strata sosial ditentukan oleh silsilah keluarga (nasab), kepemilikan harta, dan jabatan sosial.
Ketika tidak meritokrasi, nasib seseorang ditentukan oleh nasab. Sekarang banyak orang sibuk mencari silsilah dengan jalur agama atau kerajaan.
Di kalangan umat Islam ada yang sibuk mencari pertalian darah dengan nabi demi sebutan habib atau sebutan agung lainnya. Beberapa keraton menawarkan gelar ningrat, seperti raden, tumenggung, dan gelar kebangsawanan lainnya dengan tarif tertentu.
Ketiga, fenomena kerajaan baru merupakan kritik pada negara. Para raja itu merasa "terpanggil" menyelamatkan budaya dan tradisi yang tidak mendapatkan perhatian semestinya dari pemerintah.
Salah satu alasan pendirian Kerajaan Jipang adalah untuk menyelamatkan Kerajaan Jipang yang pernah dipimpin Aria Penangsang dan berbagai adat-istiadat yang tidak terawat.
Sebagian mereka mungkin juga berasal dari keturunan ningrat atau aristokrat, tetapi demokratisasi membuat mereka tergeser dan tergusur. Banyak politisi yang menjadi orang kaya baru.
Sementara mereka hidup dalam kebanggaan masa lalu oleh kebesaran nama keluarga, keturunan pahlawan, atau pejabat hebat, tetapi harus hidup dalam kehidupan yang serba berkekurangan.
Keempat , secara moral-agama fenomena kerajaan baru menggambarkan rusaknya moralitas bangsa. Demi mendapatkan harta, mereka menggunakan segala cara; menipu.
Masyarakat yang bermasalah secara ekonomi mudah terpengaruh dengan cara instan menyelesaikan berbagai persoalan lilitan hutang, gaya hidup yang hedonistis-konsumtif, atau pragmatisme mendapatkan keuntungan.
Para raja itu memamerkan kebohongan dengan harta melimpah dan pengaruh besar dengan mencatut nama Kerajaan Inggris dan sebagainya. Lemahnya moralitas membuat masyarakat menempuh jalan pintas, menerabas norma agama, dan melakukan cara-cara yang irasional.
Perhatian Negara
Mereka yang terbukti menipu memang harus diadili. Penipuan adalah tindak kriminal yang mesti mendapatkan hukuman setimpal. Pada aspek ini sudah benar langkah kepolisian. Hukuman yang berat diharapkan menimbulkan efek jera.
Tidak perlu khawatir para raja itu akan mendirikan kerajaan yang menjadi "negara" dalam negara. Tidak mungkin juga mereka menjadi kelompok separatis yang akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Para raja itu juga tidak punya ideologi politik atau negara. Mereka terlalu lemah dan kecil. Para raja itu adalah bagian dari anak bangsa yang sarat dengan berbagai masalah dan tidak mampu menyelesaikan dengan cara sebagaimana mestinya. Hal yang diperlukan adalah penyelesaian moral-sosial.
Mereka adalah anak bangsa yang memerlukan perhatian negara, terutama dari sisi ekonomi. Diperlukan program-program ekonomi yang lebih menyentuh masyarakat lapis bawah atau iklim dan kesempatan berusaha yang memihak kepada mereka yang kecil.
Atas nama kemudahan berinvestasi, kebijakan ekonomi berpotensi membesarkan yang besar menjadi raksasa dan yang kecil semakin tenggelam.
Pembinaan agama perlu lebih diarahkan pada solusi kehidupan sehari-hari. Semarak ceramah dan dakwah agama ternyata tidak mampu mengisi kekosongan spiritual masyarakat modern. Terlalu banyak seremoni dan ritual di balik tembok-tembok tempat ibadah, sementara ruang publik yang kumuh dan becek tidak pernah terjamah.
Agama terkadang hanya menjadi tempat pelarian spiritual dan panasea semu di tengah problematika hidup yang mendera. Para pendakwah agama perlu hadir mendampingi dan menemani kaum dhuafa.
Selain itu, mereka juga perlu memandu bagaimana hidup bersahaja dengan kesederhanaan melalui teladan bukan justru menampilkan diri dengan glamor. Di tengah masyarakat yang konsumtif, masyarakat memerlukan panduan bagaimana hidup qanaah bukan melulu tuntutan ritual ibadah.
(zil)