Batan Dukung Dunia Medis lewat Pengembangan Radioisotop
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah sedang menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Dalam RPJMN tersebut, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) ditugaskan menjadi koordinator tiga Prioritas Riset Nasional (PRN), yakni terkait Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), radioisotop dan radiofarmaka, dan Sistem Pemantau Radiasi Lingkungan untuk Keselamatan dan Keamanan (SPRKK).
Kepala Batan, Anhar Riza Antariksawan menjelaskan, Batan sudah melakukan pembahasan mengenai radioisotop dan radiofarmaka dengan Kementerian Kesehatan.
Pembahasan mengenai hal itu merupakan tindak lanjut dari pembicaraan dengan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin pada 10 Januari lalu.
“Sebelumnya kami telah bertemu dengan Wapres yang hasilnya meminta Batan meningkatkan kerja sama dengan kementerian dan lembaga,” katanya.
Pada pertemuan ini, Anhar menyampaikan capaian Batan di bidang kesehatan, khususnya terkait produksi radioisotop dan radiofarmaka. Selama ini Batan telah memproduksi radiositop dan radiofarmaka bekerja sama dengan pihak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Inuki dan Kimia Farma.
Menurut Anhar, 96% kebutuhan radioisotop dan radiofarmaka di Indonesia dipasok oleh luar negari, sedangkan sisanya 4% yang diproduksi di dalam negeri.
“Pemanfaatan radioisotop dan radiofarmaka di dalam negeri relatif sedikit bila dibandingkan dengan luar negeri. Jumlah rumah sakit yang memiliki fasilitas kedokteran nuklir pun juga terbatas,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Batan mengembangkan produk radioisotop dan radiofarmaka yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit melakui sistem radiasi. “Kita membuat prototipe, setelah ini untuk izin edar nantinya akan ada Kimia Farma, kami melakukan kerja sama dengan mereka,” tuturnya.
Dia menjelaskan, Batan hanya melakukan riset dan penelitian dengan menggandeng pihak lain seperti LIPI dan beberapa perguruan tinggi. Nantinya akan dihasilkan obat untuk diagnosis dan terapi. Salah satu yang dihasilkan adalah Tecnisium 99N (TC99N), radioisotop yang dibutuhkan untuk mendiagnosa suatu penyakit.
Dengan diprosuksinya TC99N ini maka pihaknya berharap Kementerian Kesehatan tidak lagi melakukan impor obat-obatan jenis ini karena sudah bisa diproduksi di dalam negeri.
“Batan tidak akan bisa bekerja sendiri di bidang kesehatan tanpa bantuan dari kementerian atau lembaga lain yang terkait. Salah satu contohnya, bekerja sama dengan Balitbangkes untuk melakukan proses pengurusan izin edar penggunaan alat kesehatan,” katanya.
Dalam RPJMN tersebut, Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) ditugaskan menjadi koordinator tiga Prioritas Riset Nasional (PRN), yakni terkait Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), radioisotop dan radiofarmaka, dan Sistem Pemantau Radiasi Lingkungan untuk Keselamatan dan Keamanan (SPRKK).
Kepala Batan, Anhar Riza Antariksawan menjelaskan, Batan sudah melakukan pembahasan mengenai radioisotop dan radiofarmaka dengan Kementerian Kesehatan.
Pembahasan mengenai hal itu merupakan tindak lanjut dari pembicaraan dengan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin pada 10 Januari lalu.
“Sebelumnya kami telah bertemu dengan Wapres yang hasilnya meminta Batan meningkatkan kerja sama dengan kementerian dan lembaga,” katanya.
Pada pertemuan ini, Anhar menyampaikan capaian Batan di bidang kesehatan, khususnya terkait produksi radioisotop dan radiofarmaka. Selama ini Batan telah memproduksi radiositop dan radiofarmaka bekerja sama dengan pihak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Inuki dan Kimia Farma.
Menurut Anhar, 96% kebutuhan radioisotop dan radiofarmaka di Indonesia dipasok oleh luar negari, sedangkan sisanya 4% yang diproduksi di dalam negeri.
“Pemanfaatan radioisotop dan radiofarmaka di dalam negeri relatif sedikit bila dibandingkan dengan luar negeri. Jumlah rumah sakit yang memiliki fasilitas kedokteran nuklir pun juga terbatas,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Batan mengembangkan produk radioisotop dan radiofarmaka yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit melakui sistem radiasi. “Kita membuat prototipe, setelah ini untuk izin edar nantinya akan ada Kimia Farma, kami melakukan kerja sama dengan mereka,” tuturnya.
Dia menjelaskan, Batan hanya melakukan riset dan penelitian dengan menggandeng pihak lain seperti LIPI dan beberapa perguruan tinggi. Nantinya akan dihasilkan obat untuk diagnosis dan terapi. Salah satu yang dihasilkan adalah Tecnisium 99N (TC99N), radioisotop yang dibutuhkan untuk mendiagnosa suatu penyakit.
Dengan diprosuksinya TC99N ini maka pihaknya berharap Kementerian Kesehatan tidak lagi melakukan impor obat-obatan jenis ini karena sudah bisa diproduksi di dalam negeri.
“Batan tidak akan bisa bekerja sendiri di bidang kesehatan tanpa bantuan dari kementerian atau lembaga lain yang terkait. Salah satu contohnya, bekerja sama dengan Balitbangkes untuk melakukan proses pengurusan izin edar penggunaan alat kesehatan,” katanya.
(dam)