Angka Kemiskinan di Jateng Tetap Dipacu Turun Satu Digit
A
A
A
SEMARANG - Jawa Tengah (Jateng) kembali menjadi provinsi yang tertinggi di Indonesia dalam penurunan jumlah penduduk miskin. Namun demikian, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengaku masih belum puas.
Dia menyebutkan, berdasar data yang dirilis BPS periode Maret-September 2019, penurunan jumlah penduduk miskin di Jateng hanya 0,22 persen atau sebanyak 63.830 orang.
"Targetnya harus tetap dipacu. Jika pada 2019 angkanya 10,58 persen, pada 2020 kami targetkan angka kemiskinan menjadi 9,81 persen. Pada 2021 menjadi 9,05 persen; 2022 jadi 8,27 dan 2023 angkanya jadi 7,48 persen," sebut Ganjar, Rabu (22/1/2020).
Menurut Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jateng Prasetyo Aribowo, penurunan angka kemiskinan di Jateng tak hanya menjadi tugas pemerintah saja, melainkan juga masyarakat dan pelaku usaha.
Oleh karena itu, masyarakat diajak untuk lebih peduli pada lingkungan dan aktif bergotong royong. Sedangkan pelaku usaha diharapkan berperan dalam pemberdayaan masyarakat dan memberikan bantuan sosial kepada masyarakat melalui program corporate social responsibility (CSR).
"Pemprov juga melakukan pemutakhiran data, memberikan perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat dan program padat karya tunai. Selain itu juga mengendalikan inflasi daerah dan mengantisipasi kejadian bencana. Karena dampak bencana salah satunya membuat masyarakat miskin bertambah," ungkap Prasetyo.
Dia menuturkan, rencana konkret pemerintah adalah mengurangi beban pengeluaran masyarakat. Dan strateginya yakni dengan memberikan Bosda untuk bantuan pendidikan gratis bagi siswa SMA, SMK dan SMALB negeri.
“Ada pula bantuan untuk Madrasah Aliyah swasta. Kami juga memberikan pelatihan akses pasar kepada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah. Itu contoh upaya mendorong penurunan angka kemiskinan di daerah," ungkap Sekretaris Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Provinsi Jateng ini.
Sementara, Kepala Bidang Pemerintahan dan Sosial Budaya Bappeda Jateng Edi Wahyono menambahkan, aparatur desa harus berpartisipasi dalam usaha pengentasan kemiskinan. Mengingat, jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih banyak dibandingkan di kota.
Berdasar data TKPKD Pemprov Jateng, penduduk miskin di perdesaan 12,26 persen atau sebanyak 2,08 juta jiwa. Sedangkan penduduk miskin di perkotaan 8,99 persen atau 1,6 juta jiwa. Penduduk miskin, baik di perkotaan maupun perdesaan, diketahui bekerja sebagai buruh tani, petani tanpa lahan, buruh industri kecil, kuli bangunan, pedagang asongan dan pekerja serabutan.
"Dana Desa perlu lebih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur pertanian yang mendorong pengentasan kemiskinan di desa," tandasnya.
Menurutnya, program Satu OPD Satu Desa Binaan perlu diperluas. Artinya, pembina atau pendamping desa binaan bisa berasal dari instansi selain dinas di provinsi. Pihak swasta juga harus ikut menyukseskan program ini. Sebab itu, pihaknya meminta agar pemutakhiran data orang miskin di Jateng dilakukan dengan tepat.
"Data yang tepat akan memengaruhi efektifitas penanggulangan kemiskinan di desa-desa. Sehingga dengan adanya program Satu OPD Satu Desa Binaan akan ikut membenahi data tersebut. Aparat desa juga dituntut memverifikasi dan memvalidasi kebenaran data orang miskin di desanya," jelasnya.
Dia menegaskan, data memegang peranan penting karena selama ini masih terdapat Inclution Error dan Extention Error pada data tersebut. Artinya, banyak orang yang seharusnya tak mendapat bantuan justru memerolehnya dan sebaliknya.
Perlu diketahui, ada14 kabupaten di Provinsi Jateng yang masuk dalam zona merah kemiskinan, yakni di atas garis kemiskinan yang ditetapkan provinsi dan nasional. Sembilan kabupaten masuk dalam zona kuning, yakni jumlah penduduk miskin di bawah garis kemiskinan provinsi namun di atas nasional. Sementara, 12 kabupaten/kota sisanya berada di zona hijau, yang berarti di bawah garis kemiskinan provinsi maupun nasional.
Dia menyebutkan, berdasar data yang dirilis BPS periode Maret-September 2019, penurunan jumlah penduduk miskin di Jateng hanya 0,22 persen atau sebanyak 63.830 orang.
"Targetnya harus tetap dipacu. Jika pada 2019 angkanya 10,58 persen, pada 2020 kami targetkan angka kemiskinan menjadi 9,81 persen. Pada 2021 menjadi 9,05 persen; 2022 jadi 8,27 dan 2023 angkanya jadi 7,48 persen," sebut Ganjar, Rabu (22/1/2020).
Menurut Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jateng Prasetyo Aribowo, penurunan angka kemiskinan di Jateng tak hanya menjadi tugas pemerintah saja, melainkan juga masyarakat dan pelaku usaha.
Oleh karena itu, masyarakat diajak untuk lebih peduli pada lingkungan dan aktif bergotong royong. Sedangkan pelaku usaha diharapkan berperan dalam pemberdayaan masyarakat dan memberikan bantuan sosial kepada masyarakat melalui program corporate social responsibility (CSR).
"Pemprov juga melakukan pemutakhiran data, memberikan perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat dan program padat karya tunai. Selain itu juga mengendalikan inflasi daerah dan mengantisipasi kejadian bencana. Karena dampak bencana salah satunya membuat masyarakat miskin bertambah," ungkap Prasetyo.
Dia menuturkan, rencana konkret pemerintah adalah mengurangi beban pengeluaran masyarakat. Dan strateginya yakni dengan memberikan Bosda untuk bantuan pendidikan gratis bagi siswa SMA, SMK dan SMALB negeri.
“Ada pula bantuan untuk Madrasah Aliyah swasta. Kami juga memberikan pelatihan akses pasar kepada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah. Itu contoh upaya mendorong penurunan angka kemiskinan di daerah," ungkap Sekretaris Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Provinsi Jateng ini.
Sementara, Kepala Bidang Pemerintahan dan Sosial Budaya Bappeda Jateng Edi Wahyono menambahkan, aparatur desa harus berpartisipasi dalam usaha pengentasan kemiskinan. Mengingat, jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih banyak dibandingkan di kota.
Berdasar data TKPKD Pemprov Jateng, penduduk miskin di perdesaan 12,26 persen atau sebanyak 2,08 juta jiwa. Sedangkan penduduk miskin di perkotaan 8,99 persen atau 1,6 juta jiwa. Penduduk miskin, baik di perkotaan maupun perdesaan, diketahui bekerja sebagai buruh tani, petani tanpa lahan, buruh industri kecil, kuli bangunan, pedagang asongan dan pekerja serabutan.
"Dana Desa perlu lebih difokuskan untuk pembangunan infrastruktur pertanian yang mendorong pengentasan kemiskinan di desa," tandasnya.
Menurutnya, program Satu OPD Satu Desa Binaan perlu diperluas. Artinya, pembina atau pendamping desa binaan bisa berasal dari instansi selain dinas di provinsi. Pihak swasta juga harus ikut menyukseskan program ini. Sebab itu, pihaknya meminta agar pemutakhiran data orang miskin di Jateng dilakukan dengan tepat.
"Data yang tepat akan memengaruhi efektifitas penanggulangan kemiskinan di desa-desa. Sehingga dengan adanya program Satu OPD Satu Desa Binaan akan ikut membenahi data tersebut. Aparat desa juga dituntut memverifikasi dan memvalidasi kebenaran data orang miskin di desanya," jelasnya.
Dia menegaskan, data memegang peranan penting karena selama ini masih terdapat Inclution Error dan Extention Error pada data tersebut. Artinya, banyak orang yang seharusnya tak mendapat bantuan justru memerolehnya dan sebaliknya.
Perlu diketahui, ada14 kabupaten di Provinsi Jateng yang masuk dalam zona merah kemiskinan, yakni di atas garis kemiskinan yang ditetapkan provinsi dan nasional. Sembilan kabupaten masuk dalam zona kuning, yakni jumlah penduduk miskin di bawah garis kemiskinan provinsi namun di atas nasional. Sementara, 12 kabupaten/kota sisanya berada di zona hijau, yang berarti di bawah garis kemiskinan provinsi maupun nasional.
(akn)