Dirman, Pelaut Indonesia Jadi Andalan (5)
A
A
A
Dua Marina tempat berlabuh Yacth telah penuh dipesan oleh para Yacthi (sebutan untuk pelaut yatch atau kapal pesiar) hingga Desember 2019. Sehingga Philip Beale, sang Kapten Kapal Phoenicia memutuskan untuk langsung menuju Cadiz, kota tertua di Eropa yang dibangun oleh Bangsa Phoenicia 600 tahun sebelum Masehi.
Selama tiga hari, 11 kru kapal Phoenicia bahu membahu memotong pucuk tiang layar sepanjang 1,5 meter dan membuat sistem pertalian baru. Sudirman, pelaut tradisonal asal pulau Pagerungan Kecil, Sumenep menjadi pimpinan ‘proyek’ tersebut. Bapak tiga anak itu melakukan sendiri pemotongan tiang layar dengan cara menbuat 20 lubang kecil di tiang layar berbahan kayu Aleppo Pine itu.
Setelah itu, dia turun dengan terlebih dahulu membuat tambatan di ujung tiang layar untuk ditarik oleh enam kru lainnya dengan posisi di haluan, dan tiga kru lainnya di buritan guna menahan laju jatuhnya patahan tiang layar itu. Setelah tujuh kali menarik, tiang itu patah sesuai rencana Sudirman, tanpa merusak bagian tiang layar lainnya.
"Terima Kasih, Dirman, engkau sangat berani berdiri di atas tangga monyet sambil membor tiang layar," puji Stainer Lailas. Menurut Kapten Kapal Viking asal Norwegia itu, tindakan yang dilakukan Dirman tergolong berbahaya dan gila. Tapi sebenarnya Dirman dilengkapi dengan tali pengaman dada dan tali pengaman tambahan sehingga aman dari sisi keselamatan kerja. Hanya saja minim helm pengaman dan sepatu kerja.
Usai memasang pertalian layar, kapal Phoenicia sudah siap untuk berlayar kembali dengan tujuan utama Kota Cadiz, Spanyol. Sebelum berangkat, penjaga pantai terlebih dahulu memeriksa alat kelayakan kapal untuk mengarungi lautan.
Sayangnya, ternyata si penjaga pantai tidak banyak tahu tentang kapal layar. Sehingga yang diperiksa hanya kelengkapan pemadaman kebakaran ringan, pelampung, rakit penyelamat, dan peralatan keselamatan pada umumnya di kapal. Untuk urusan layar dia tidak memeriksa sama sekali. Situasi inilah yang kelak menjadi hambatan kami saat diperjalanan.
Sebelum berangkat, kami semua menandatangani dua buku karangan Philip Beale berjudul “Sailing Close The Wind”. Dua buku diperuntukkan kepada Abrous Abdel dan Abdellah, perwira pada kesyahbandaran pelabuhan Algier. Dua orang itu, membantu kami mendapatkan ijin singgah sementara pelabuhan atau shore pass, sehingga kami dapat keluar dari pelabuhan untuk membeli kebutuhan makanan dan minuman serta peralatan yang dibutuhkan selama perjalanan menuju Cadiz.
Tepat pukul 13.00 waktu Algier, atau 8 Oktober 2019, Kapal Phoenicia of Southampton melepas tali tambat terakhirnya di pelabuhan Algier. Cuaca sangat cerah saat itu dan cenderung menyengat kulit, tapi embusan angin cenderung menggigit tulang. Dua hal yang saling bertolak belakang memang saat berlayar di lintang tinggi pada musim panas.
Sejatinya, angin bertiup dari tenggara searah dengan tujuan. Tapi kami harus lebih dahulu keluar dari tanjung Algier, dan setelah keluar dari teluk Algier angin lavante terus bertiup dari timur. Sang Kapten pun hanya memerintahkan untuk mengencangkan temberang atau tali penguat tiang layar. Hal itu memakan waktu hingga jelang malam, sehingga diputuskan untuk menaikkan layar utama di pagi hari.
Pagi harinya, layar utama dikerek hingga delapan meter, artinya tidak sampai di ujung katrol kayu terpasang. Namun, setelah dinaikkan layar, angin berubah arah dari selatan dan kecepatan turun drastis sehingga laju kapal hanya 0,5 knot hingga 1 knot. Menyadari kondisi itu, Kapten memutuskan untuk menurunkan layar, karena layar utama lebih banyak berguncang-guncang. “Malam nanti angin Lavante akan bertiup dengan kecepatan 15 knot, cukup mendorong kapal hingga 4 knot,” kata Philip menghibur 10 kru-nya.
Selama tiga hari, 11 kru kapal Phoenicia bahu membahu memotong pucuk tiang layar sepanjang 1,5 meter dan membuat sistem pertalian baru. Sudirman, pelaut tradisonal asal pulau Pagerungan Kecil, Sumenep menjadi pimpinan ‘proyek’ tersebut. Bapak tiga anak itu melakukan sendiri pemotongan tiang layar dengan cara menbuat 20 lubang kecil di tiang layar berbahan kayu Aleppo Pine itu.
Setelah itu, dia turun dengan terlebih dahulu membuat tambatan di ujung tiang layar untuk ditarik oleh enam kru lainnya dengan posisi di haluan, dan tiga kru lainnya di buritan guna menahan laju jatuhnya patahan tiang layar itu. Setelah tujuh kali menarik, tiang itu patah sesuai rencana Sudirman, tanpa merusak bagian tiang layar lainnya.
"Terima Kasih, Dirman, engkau sangat berani berdiri di atas tangga monyet sambil membor tiang layar," puji Stainer Lailas. Menurut Kapten Kapal Viking asal Norwegia itu, tindakan yang dilakukan Dirman tergolong berbahaya dan gila. Tapi sebenarnya Dirman dilengkapi dengan tali pengaman dada dan tali pengaman tambahan sehingga aman dari sisi keselamatan kerja. Hanya saja minim helm pengaman dan sepatu kerja.
Usai memasang pertalian layar, kapal Phoenicia sudah siap untuk berlayar kembali dengan tujuan utama Kota Cadiz, Spanyol. Sebelum berangkat, penjaga pantai terlebih dahulu memeriksa alat kelayakan kapal untuk mengarungi lautan.
Sayangnya, ternyata si penjaga pantai tidak banyak tahu tentang kapal layar. Sehingga yang diperiksa hanya kelengkapan pemadaman kebakaran ringan, pelampung, rakit penyelamat, dan peralatan keselamatan pada umumnya di kapal. Untuk urusan layar dia tidak memeriksa sama sekali. Situasi inilah yang kelak menjadi hambatan kami saat diperjalanan.
Sebelum berangkat, kami semua menandatangani dua buku karangan Philip Beale berjudul “Sailing Close The Wind”. Dua buku diperuntukkan kepada Abrous Abdel dan Abdellah, perwira pada kesyahbandaran pelabuhan Algier. Dua orang itu, membantu kami mendapatkan ijin singgah sementara pelabuhan atau shore pass, sehingga kami dapat keluar dari pelabuhan untuk membeli kebutuhan makanan dan minuman serta peralatan yang dibutuhkan selama perjalanan menuju Cadiz.
Tepat pukul 13.00 waktu Algier, atau 8 Oktober 2019, Kapal Phoenicia of Southampton melepas tali tambat terakhirnya di pelabuhan Algier. Cuaca sangat cerah saat itu dan cenderung menyengat kulit, tapi embusan angin cenderung menggigit tulang. Dua hal yang saling bertolak belakang memang saat berlayar di lintang tinggi pada musim panas.
Sejatinya, angin bertiup dari tenggara searah dengan tujuan. Tapi kami harus lebih dahulu keluar dari tanjung Algier, dan setelah keluar dari teluk Algier angin lavante terus bertiup dari timur. Sang Kapten pun hanya memerintahkan untuk mengencangkan temberang atau tali penguat tiang layar. Hal itu memakan waktu hingga jelang malam, sehingga diputuskan untuk menaikkan layar utama di pagi hari.
Pagi harinya, layar utama dikerek hingga delapan meter, artinya tidak sampai di ujung katrol kayu terpasang. Namun, setelah dinaikkan layar, angin berubah arah dari selatan dan kecepatan turun drastis sehingga laju kapal hanya 0,5 knot hingga 1 knot. Menyadari kondisi itu, Kapten memutuskan untuk menurunkan layar, karena layar utama lebih banyak berguncang-guncang. “Malam nanti angin Lavante akan bertiup dengan kecepatan 15 knot, cukup mendorong kapal hingga 4 knot,” kata Philip menghibur 10 kru-nya.
(whb)