Terdampar di Aljazair (3)
A
A
A
TAK hanya terombang ambing. Hujan sedang pun turun sehingga grup jaga pimpinan Stainer Lailas, Kapten kapal Viking ini kuyup kehujanan. Sedangkan grup jaga pimpinan Philip Beale, tidur dengan tetasan air hujan di sana-sini . Pasalnya, kapal berusia 11 tahun ini menyisakan celah-celah sambungan papan. “Petir menyambar, gelombang mencampai lima meter,” teriak Steiner, saat melihat kilatan petir menyambar bersaut-sautan di sekeliling kapal.
Karena angin tidak perpihak atau dari arah barat, layar diturunkan dan hasilnya kapal hanyut dengan kecepatan 2 knot ke arah timur. Itu artinya kembali ke Chartage. “Kita harus menurunkan jangkar laut untuk menahan laju hanyut,” kata Philip.
Dua ember besi terikat dengan tali tambang diturunkan pertama kali dari buritan, sebagai jangkar laut. Tapi kecepatan hanyut kapal hanya berkurang 0,5 knot. “ Turunkan lagi jangkar laut terpal biru dan panci besar,” pinta Phillip. Hasilnya, kecepatan hanyut kami hanya tersisa 0,7 knot hingga 0,5 knot.
“Saya kapok dengan laut Mediterania ini, angin tidak menentu dan gelombang cukup ganas,” ungkap Philip. Padahal, Kapten berusia 58 tahun itu telah tiga kali melintasi laut Mediterania.
Setelah itu, dia meminta kru lain untuk menghidupkan tanda kapal tidak bisa dikendalikan atau Out of Comand, lampu merah putih dan merah segera menyala. Itu artinya kapal lain yang lewat harus memberi ruang kepada Phoenicia. Sedangkan pada siang harinya, dua lempeng hitam berbentuk bundar dikerek untuk tanda hal serupa. “Petir menyambar di sekeliling kapal, semoga tidak menyambar kita,“ kata Dirman kepada Carson, saat pergantian jaga pukul 02.00 dini hari.
Carson, pemuda berusia 19 tahun anak dari Dough itu, berprofesi sebagai tenaga paramedis di Utah, AS. Dia menjadi pemegang kemudi pertama di grup jaga Philip. Hujan masih mengguyur, saat ia ingin ke buritan tempat ayahnya tengah memegang Kemudi. “Hai Carson, mana pelampung mu,” tanya Doug kepada Carson. “Maaf, saya akan mengambilnya sekarang,” jawab Carson.
Setelah kembali menggunakan pelampung, tongkat kemudi diserahkan kepada Carson. “Kita tidak bisa mengarahkan kapal arah tujuan kita 270 derajat, tapi usahakan sedekat mungkin haluan 270 derajat,” terang Doug yang sehari-hari berprofesi sebagai direktur pemasaran properti di Utah, AS.
Selama 20 jam, kapal tersebut hanyut kembali ke timur. Tapi Kamis sore, angin sudah mulai bersahabat. Namun belum bisa menaikkan layar karena angin masih datang dari barat. Jumat sore, barulah angin mulai berhembus dari tenggara. “Horee angin Lavente sudah bersahabat dengan kita,” ujar Doug. Segera persiapan menaikan layar dimulai.
“Dirman dan Charli bertugas di raja tali, Doug dan Boyed membantu menarik dari arah haluan,” seru Philip. Sedangkan Edwin mendapat tugas memegang kemudi guna mengarahkan haluan searah dengan angin. Tom bertugas mengulur tali sentakan, Stainer bertugas mengendalikan tanjak atas dan bawah lambung kiri, dan Carson mendapat tugas yang sama di lambung kanan. “One…two..three,” komando Dirman.
Setelah layar terkembang, kru terlihat gembira karena tidak ada lagi bau solar yang meruap dari ruang mesin. Tapi tiba-tiba Stainer berteriak. “Lihat itu tiang layar bagian atas ada serpihan kayu,”
Benar, serpihan kayu sepanjang satu meter menyangkut di bagian dari tiang utama layar. “Okhhh, segera turunkan layar,” perintah Philip. Setelah penurunan layar, Philip memutuskan untuk merapat terlebih dahulu di pelabuhan Algier, ibu kota Aljazair, untuk memperbaiki tiang layar utama. “Jarak kita dengan Pelabuhan Algier hanya 80 NM, kita akan perbaiki tiang layar di sana,” kata dia.
Esok sorenya, kapal Phoenicia sudah mulai memasuki perairan Algier. Karena mendapat tamu kagetan, penjaga laut Aljazair datang menyambangi kapal dan untuk mengorek keterangan masalah yang dihadapi. Setelah mendapat penjelasan dari Philip melalui radio VHJ, kapal Phoenicia dipersilakan untuk memasuki pelabuhan sandar Algier, pada pagi hari berikutnya.
Sedikit hiburan, malam hari bulan sabit tepat berada di atas Algier dengan perumahan di bukit-bukit, pemandangan itu layaknya seperti kubah masjid dengan tanda bulan sabit, sungguh indah. Pagi harinya kapal dengan bobot mati 50 ton itu merapat di pelabuhan dagang Algier. (bersambung)
Karena angin tidak perpihak atau dari arah barat, layar diturunkan dan hasilnya kapal hanyut dengan kecepatan 2 knot ke arah timur. Itu artinya kembali ke Chartage. “Kita harus menurunkan jangkar laut untuk menahan laju hanyut,” kata Philip.
Dua ember besi terikat dengan tali tambang diturunkan pertama kali dari buritan, sebagai jangkar laut. Tapi kecepatan hanyut kapal hanya berkurang 0,5 knot. “ Turunkan lagi jangkar laut terpal biru dan panci besar,” pinta Phillip. Hasilnya, kecepatan hanyut kami hanya tersisa 0,7 knot hingga 0,5 knot.
“Saya kapok dengan laut Mediterania ini, angin tidak menentu dan gelombang cukup ganas,” ungkap Philip. Padahal, Kapten berusia 58 tahun itu telah tiga kali melintasi laut Mediterania.
Setelah itu, dia meminta kru lain untuk menghidupkan tanda kapal tidak bisa dikendalikan atau Out of Comand, lampu merah putih dan merah segera menyala. Itu artinya kapal lain yang lewat harus memberi ruang kepada Phoenicia. Sedangkan pada siang harinya, dua lempeng hitam berbentuk bundar dikerek untuk tanda hal serupa. “Petir menyambar di sekeliling kapal, semoga tidak menyambar kita,“ kata Dirman kepada Carson, saat pergantian jaga pukul 02.00 dini hari.
Carson, pemuda berusia 19 tahun anak dari Dough itu, berprofesi sebagai tenaga paramedis di Utah, AS. Dia menjadi pemegang kemudi pertama di grup jaga Philip. Hujan masih mengguyur, saat ia ingin ke buritan tempat ayahnya tengah memegang Kemudi. “Hai Carson, mana pelampung mu,” tanya Doug kepada Carson. “Maaf, saya akan mengambilnya sekarang,” jawab Carson.
Setelah kembali menggunakan pelampung, tongkat kemudi diserahkan kepada Carson. “Kita tidak bisa mengarahkan kapal arah tujuan kita 270 derajat, tapi usahakan sedekat mungkin haluan 270 derajat,” terang Doug yang sehari-hari berprofesi sebagai direktur pemasaran properti di Utah, AS.
Selama 20 jam, kapal tersebut hanyut kembali ke timur. Tapi Kamis sore, angin sudah mulai bersahabat. Namun belum bisa menaikkan layar karena angin masih datang dari barat. Jumat sore, barulah angin mulai berhembus dari tenggara. “Horee angin Lavente sudah bersahabat dengan kita,” ujar Doug. Segera persiapan menaikan layar dimulai.
“Dirman dan Charli bertugas di raja tali, Doug dan Boyed membantu menarik dari arah haluan,” seru Philip. Sedangkan Edwin mendapat tugas memegang kemudi guna mengarahkan haluan searah dengan angin. Tom bertugas mengulur tali sentakan, Stainer bertugas mengendalikan tanjak atas dan bawah lambung kiri, dan Carson mendapat tugas yang sama di lambung kanan. “One…two..three,” komando Dirman.
Setelah layar terkembang, kru terlihat gembira karena tidak ada lagi bau solar yang meruap dari ruang mesin. Tapi tiba-tiba Stainer berteriak. “Lihat itu tiang layar bagian atas ada serpihan kayu,”
Benar, serpihan kayu sepanjang satu meter menyangkut di bagian dari tiang utama layar. “Okhhh, segera turunkan layar,” perintah Philip. Setelah penurunan layar, Philip memutuskan untuk merapat terlebih dahulu di pelabuhan Algier, ibu kota Aljazair, untuk memperbaiki tiang layar utama. “Jarak kita dengan Pelabuhan Algier hanya 80 NM, kita akan perbaiki tiang layar di sana,” kata dia.
Esok sorenya, kapal Phoenicia sudah mulai memasuki perairan Algier. Karena mendapat tamu kagetan, penjaga laut Aljazair datang menyambangi kapal dan untuk mengorek keterangan masalah yang dihadapi. Setelah mendapat penjelasan dari Philip melalui radio VHJ, kapal Phoenicia dipersilakan untuk memasuki pelabuhan sandar Algier, pada pagi hari berikutnya.
Sedikit hiburan, malam hari bulan sabit tepat berada di atas Algier dengan perumahan di bukit-bukit, pemandangan itu layaknya seperti kubah masjid dengan tanda bulan sabit, sungguh indah. Pagi harinya kapal dengan bobot mati 50 ton itu merapat di pelabuhan dagang Algier. (bersambung)
(maf)