Berkaca Pada Masalah dan Musibah
A
A
A
Jahja B Soenarjo Ketum CEO Business Forum Indonesia
Kita baru saja melewati tahun 2019 yang sarat dengan warna gejolak politik maupun ekonomi. Mulai dari hiruk-pikuk pilpres yang dimanfaatkan sekelompok orang untuk memecah belah, perang dagang dan resesi global yang masih berlangsung, bencana alam serta perubahan iklim yang ekstrem, dan masih banyak lagi. Kita lupakan dulu sesaat membahas disrupsi digital.
Meninggalkan tahun yang berlalu dengan kenangan, tiba-tiba saja tanggal 1 Januari 2020 kita sambut dengan genangan, demikian kata-kata komentar di berbagai sosmed disertai foto atau video musibah banjir di mana-mana. Kemirisan di tengah kegembiraan suasana tahun baru.
Salah siapa semua ini? Ada yang mengatakan ini salah gubernur. Ada juga yang mengatakan salah rakyat buang sampah sembarangan. Ada pula menuding salah pemerintah pusat tidak bertindak terhadap gubernur yang sudah tidak kompeten dan lain sebagainya.
Lalu di mana akar masalahnya? Soal rakyat yang tidak disiplin? Soal gubernur yang main pangkas anggaran dan memangkrakkan proyek normalisasi sungai-sungai di wilayah Jakarta? Salah DPRD selaku perwakilan rakyat yang juga diam tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat? Salah para gubernur yang sebelumnya? Salah para penghasut radikal yang membuat sebagian rakyat salah pilih? Atau salah kita semua?
Kalau kita mau jujur, saya lebih suka mengatakan hal ini sebagai hasil pembinaan moral yang gagal dan kemerosotan dalam karakter bangsa (dikenal) bermartabat dan menjunjung nilai-nilai kehidupan yang saling menghormati. Demokrasi mulai kebablasan setelah otonomi daerah bergulir, ditambah dengan era teknologi informasi yang membebaskan orang bersuara di sosmed tanpa etika.
Dalam dua dekade terakhir kita melihat menjamurnya orang-orang terjun menjadi politikus, merasa layak dan berhak serta berambisi menjadi anggota dewan, menjadi ketua atau pengurus partai, organisasi, atau apa pun. Organisasi-organisasi pun bermunculan bagai cendawan di musim hujan, menjual jasa pengumpul massa, pengumpul suara, cyber army , jasa keamanan, dan banyak versi lainnya. Kesantunan mulai luntur, demo dan hoaks menjadi makanan kita sehari-hari, sebagian masyarakat khususnya kelas bawah dan kaum buruh terperangkap dalam jaring pembodohan yang dilakukan oknum bangsa sendiri yang ambisius dan haus kekuasaan dan materi. Hasilnya?
Korupsi tetap berkelanjutan, janji para politikus dan para pemimpin hanya isapan jempol, menata kata manis untuk pencitraan yang menutupi perbuatan. Kita sudah melihat banyaknya oknum yang ditangkap karena kasus korupsi. Investasi yang mahal untuk berpolitik atau sebuah jabatan harus didanai siapa dan bagaimana balik modal? Karakter yang ambisius telah mengesampingkan etika dan integritas.
Jakarta banjir paling hebat kali ini, satu titik seluas ibu kota. Saya memandang ini juga tidak lepas dari pemimpin-pemimpin jauh sebelumnya yang mungkin kurang memerhatikan masalah tata ruang jangka panjang. Izin-izin digelontorkan untuk para pengembang yang bisa saja secara tak langsung ikut mengarahkan berubahnya tata ruang dari periode ke periode dan dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya, dengan kepentingan sama bagi para pengusaha.
Infrastruktur, pembenahan DAS, ruang hijau, banyak terbengkalai, hingga periode Jokowi dan Basuki, duet yang memulai pembenahan menyeluruh, termasuk mental ASN. Ini pekerjaan besar dan jangka panjang, terpaksa terjegal oleh proses demokrasi yang ternodai dengan isu agama. Sebagian rakyat bersorak, sekarang sebagian dari mereka menjadi korban bencana. Pekerjaan mereka belum selesai, tapi sudah terjegal.
Pembunuhan karakter terhadap orang baik dan berpotensi memang sangat kejam, belum lagi neraca keadilan yang tidak adil di meja hijau. Ambisi telah menghalalkan segala cara untuk menjadi pemimpin. Sentimen ras dan agama atau isu lain diembuskan melalui sekelompok yang bisa dibayar untuk itu. Buruh dijanjikan upah tinggi tanpa ada program produktivitas, rakyat dijanjikan bantuan sosial, dan berbagai janji lainnya. Sekali lagi, karakter bangsa terkikis ambisi dan syahwat kekuasaan.
Jadi, apakah kita juga salah dengan banjir Jakarta? Mungkin ya, bila kita hanya ingin mementingkan diri sendiri. Bersuaralah melalui media dengan santun, melalui organisasi, melalui anggota dewan yang kita pilih bahkan kita kenal, melalui partai yang kita terlibat. Kalau hanya voting dan broadcast viralkan berita, percuma. Berpikirlah cerdas, cobalah untuk melangkah ke gugatan ‘class action’, publik memang punya hak. Para pemimpin kita dan para koruptor sudah keras kepala serta tidak punya rasa malu, tidak bakal mereka dengan ikhlas mengundurkan diri. Hal sangat langka di republik ini dan bila terjadi, anggaplah itu mukjizat dalam keniscayaan.
Mungkin kita pernah menonton film A Few Good Men , artikan saja bahwa memang orang baik dan berkarakter makin sedikit, seakan kita berselancar melawan arus besar yang bisa menenggelamkan. Kitalah yang harusnya bersama-sama membawa bangsa ini menuju kejayaan dan kemakmuran, bukan hanya presidennya. Beliau hanya lima tahun dan bersyukur bila penerusnya memiliki visi sama untuk melanjutkan atau lebih baik lagi sehingga ketertinggalan di kancah global akan terkejar menjadi bangsa mandiri.
Mari mulai bersikap dan bertindak nyata, real deal!! Indonesia butuh kita! Selamat Tahun Baru 2020 dengan semangat baru. Kiranya Tuhan YME memberi petunjuk-Nya dan selalu mengingatkan kita untuk menjaga kebenaran melalui keteladanan kita. Salam Jabat Erat untuk Kemajuan Indonesia!
Kita baru saja melewati tahun 2019 yang sarat dengan warna gejolak politik maupun ekonomi. Mulai dari hiruk-pikuk pilpres yang dimanfaatkan sekelompok orang untuk memecah belah, perang dagang dan resesi global yang masih berlangsung, bencana alam serta perubahan iklim yang ekstrem, dan masih banyak lagi. Kita lupakan dulu sesaat membahas disrupsi digital.
Meninggalkan tahun yang berlalu dengan kenangan, tiba-tiba saja tanggal 1 Januari 2020 kita sambut dengan genangan, demikian kata-kata komentar di berbagai sosmed disertai foto atau video musibah banjir di mana-mana. Kemirisan di tengah kegembiraan suasana tahun baru.
Salah siapa semua ini? Ada yang mengatakan ini salah gubernur. Ada juga yang mengatakan salah rakyat buang sampah sembarangan. Ada pula menuding salah pemerintah pusat tidak bertindak terhadap gubernur yang sudah tidak kompeten dan lain sebagainya.
Lalu di mana akar masalahnya? Soal rakyat yang tidak disiplin? Soal gubernur yang main pangkas anggaran dan memangkrakkan proyek normalisasi sungai-sungai di wilayah Jakarta? Salah DPRD selaku perwakilan rakyat yang juga diam tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat? Salah para gubernur yang sebelumnya? Salah para penghasut radikal yang membuat sebagian rakyat salah pilih? Atau salah kita semua?
Kalau kita mau jujur, saya lebih suka mengatakan hal ini sebagai hasil pembinaan moral yang gagal dan kemerosotan dalam karakter bangsa (dikenal) bermartabat dan menjunjung nilai-nilai kehidupan yang saling menghormati. Demokrasi mulai kebablasan setelah otonomi daerah bergulir, ditambah dengan era teknologi informasi yang membebaskan orang bersuara di sosmed tanpa etika.
Dalam dua dekade terakhir kita melihat menjamurnya orang-orang terjun menjadi politikus, merasa layak dan berhak serta berambisi menjadi anggota dewan, menjadi ketua atau pengurus partai, organisasi, atau apa pun. Organisasi-organisasi pun bermunculan bagai cendawan di musim hujan, menjual jasa pengumpul massa, pengumpul suara, cyber army , jasa keamanan, dan banyak versi lainnya. Kesantunan mulai luntur, demo dan hoaks menjadi makanan kita sehari-hari, sebagian masyarakat khususnya kelas bawah dan kaum buruh terperangkap dalam jaring pembodohan yang dilakukan oknum bangsa sendiri yang ambisius dan haus kekuasaan dan materi. Hasilnya?
Korupsi tetap berkelanjutan, janji para politikus dan para pemimpin hanya isapan jempol, menata kata manis untuk pencitraan yang menutupi perbuatan. Kita sudah melihat banyaknya oknum yang ditangkap karena kasus korupsi. Investasi yang mahal untuk berpolitik atau sebuah jabatan harus didanai siapa dan bagaimana balik modal? Karakter yang ambisius telah mengesampingkan etika dan integritas.
Jakarta banjir paling hebat kali ini, satu titik seluas ibu kota. Saya memandang ini juga tidak lepas dari pemimpin-pemimpin jauh sebelumnya yang mungkin kurang memerhatikan masalah tata ruang jangka panjang. Izin-izin digelontorkan untuk para pengembang yang bisa saja secara tak langsung ikut mengarahkan berubahnya tata ruang dari periode ke periode dan dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya, dengan kepentingan sama bagi para pengusaha.
Infrastruktur, pembenahan DAS, ruang hijau, banyak terbengkalai, hingga periode Jokowi dan Basuki, duet yang memulai pembenahan menyeluruh, termasuk mental ASN. Ini pekerjaan besar dan jangka panjang, terpaksa terjegal oleh proses demokrasi yang ternodai dengan isu agama. Sebagian rakyat bersorak, sekarang sebagian dari mereka menjadi korban bencana. Pekerjaan mereka belum selesai, tapi sudah terjegal.
Pembunuhan karakter terhadap orang baik dan berpotensi memang sangat kejam, belum lagi neraca keadilan yang tidak adil di meja hijau. Ambisi telah menghalalkan segala cara untuk menjadi pemimpin. Sentimen ras dan agama atau isu lain diembuskan melalui sekelompok yang bisa dibayar untuk itu. Buruh dijanjikan upah tinggi tanpa ada program produktivitas, rakyat dijanjikan bantuan sosial, dan berbagai janji lainnya. Sekali lagi, karakter bangsa terkikis ambisi dan syahwat kekuasaan.
Jadi, apakah kita juga salah dengan banjir Jakarta? Mungkin ya, bila kita hanya ingin mementingkan diri sendiri. Bersuaralah melalui media dengan santun, melalui organisasi, melalui anggota dewan yang kita pilih bahkan kita kenal, melalui partai yang kita terlibat. Kalau hanya voting dan broadcast viralkan berita, percuma. Berpikirlah cerdas, cobalah untuk melangkah ke gugatan ‘class action’, publik memang punya hak. Para pemimpin kita dan para koruptor sudah keras kepala serta tidak punya rasa malu, tidak bakal mereka dengan ikhlas mengundurkan diri. Hal sangat langka di republik ini dan bila terjadi, anggaplah itu mukjizat dalam keniscayaan.
Mungkin kita pernah menonton film A Few Good Men , artikan saja bahwa memang orang baik dan berkarakter makin sedikit, seakan kita berselancar melawan arus besar yang bisa menenggelamkan. Kitalah yang harusnya bersama-sama membawa bangsa ini menuju kejayaan dan kemakmuran, bukan hanya presidennya. Beliau hanya lima tahun dan bersyukur bila penerusnya memiliki visi sama untuk melanjutkan atau lebih baik lagi sehingga ketertinggalan di kancah global akan terkejar menjadi bangsa mandiri.
Mari mulai bersikap dan bertindak nyata, real deal!! Indonesia butuh kita! Selamat Tahun Baru 2020 dengan semangat baru. Kiranya Tuhan YME memberi petunjuk-Nya dan selalu mengingatkan kita untuk menjaga kebenaran melalui keteladanan kita. Salam Jabat Erat untuk Kemajuan Indonesia!
(zil)