Gus Dur, Natal, dan Kerinduan pada Islam Ramah
A
A
A
Ahmad Zainul Hamdi
Sembilan tahun lalu, tepatnya 6 Januari 2011, seorang Indonesianis dari Belanda, Martin van Bruinessen, menerbitkan artikelnya berjudul "What Happened to the Smiling Face of Indonesian Islam? " Di samping isinya, yang menarik dari artikel ini adalah bagian persembahannya. Tepat di bawah judul, penulis menuliskan persembahannya: "Dedicated to the memories of Abdurrahman Wahid ..." (dipersembahkan kepada Abdurrahman Wahid).
Artikel yang di kemudian hari sebagian isinya menjadi pengantar buku Conservative Turn itu seakan menyuarakan kerinduan kepada warisan Islam ramah Gus Dur di tengah fenomena wajah keras Islam di Indonesia pasca-Soeharto.
Sekalipun "smiling face" lebih umum dilekatkan pada gambar wajah penuh senyum Soeharto, sang jenderal penguasa Orde Baru, penyandingan istilah "smiling face " dengan Islam Indonesia langsung secara kuat mendesak ingatan kita pada sosok Gus Dur, sang pengibar bendera Islam ramah Indonesia.
Seperti banyak orang, kerinduan Van Bruinessen pada Islam ramah Gus Dur adalah kerinduan pada wajah Islam Indonesia yang selama ini dikenal penuh senyuman.
Di matanya wajah Islam Indonesia yang selama ini dikenal penuh senyum kini telah berubah. Perubahan yang bagi banyak kalangan terasa mencemaskan.
Bahkan Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi lahan eksperimen Gus Dur dalam membumikan ide-idenya pun, setidaknya sejak 2005, mulai menunjukkan diri ke arah sikap permisif terhadap ide-ide fundamentalisme Islam.
Jika melihat titik balik arus Islam Indonesia sejak kejatuhan Soeharto, Van Bruinessen tanpa ragu menyatakan bahwa kecuali di era singkat kepresidenan Gus Dur (1999-2001), kelompok Islamis dan muslim fundamentalis telah menjadi bagian penting dalam permainan politik kekuasaan nasional.
Di mata Indonesianis seperti Martin van Bruinessen, Gus Dur adalah perwujudan dari citra ideal Islam Indonesia yang sanggup menjembatani ortodoksi keislaman dengan ide-ide modern seperti, demokrasi, kebebasan beragama, hak asasi manusia, kesetaraan gender, bahkan teologi pembebasan, sebuah diskursus keagamaan yang asing bagi umat Islam Indonesia.
Gus Dur adalah pemikir dan juru bicara par excellence Islam tradisional Indonesia. Gus Dur adalah cultural broker —meminjam istilah Geertz—yang berhasil menjembatani kelompok santri tradisional dengan dunia modern.
Dia sanggup menyuarakan tradisi pesantren kepada orang-orang modern-terdidik dan pada saat yang sama membahasakan secara sederhana ide-ide modern kepada komunitas pesantren.
Kekaguman seperti ini sesungguhnya tidak hanya milik Van Bruinessen. William Liddle, misalnya, pernah menulis sebuah artikel berjudul "My Name is Abdurrahman Wahid ". Tulisan ini bisa dianggap sebagai ucapan selamat atas terpilihnya Gus Dur sebagai presiden Republik Indonesia. Judul tulisan itu diambil dari salah satu novel favorit Gus Dur yang ditulis oleh seorang sastrawan Yahudi-Amerika, Chaim Potok, yang berjudul My Name is Asher Lev .
Tidak hanya terkejut dengan tokoh Asher Lev yang perjalanan hidupnya seperti cermin sejarah hidup Gus Dur sendiri, keterkejutan Liddle juga ada pada fakta bahwa seorang pimpinan organisasi Islam tradisional Indonesia seperti Gus Dur menjadikan sebuah "novel Yahudi" sebagai salah satu bacaan favoritnya.
Keterkejutan ini bukan tanpa alasan jika mempertimbangkan bahwa sentimen anti-Yahudi nyaris menyapu seluruh kesadaran muslim Indonesia, baik kelompok tradisionalis maupun modernis.
Seperti Asher Lev yang tidak pernah meninggalkan komunitas Yahudi ortodoks-nya sekalipun pandangan-pandangannya sering tidak bisa dipahami dan diterima orang-orang di sekitarnya, bahkan oleh ayah sendiri, begitu juga Gus Dur.
Sejauh apa pun dia melangkahkan kakinya, bahkan ketika dia telah menjadi seorang presiden Indonesia, sebuah posisi politik yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh para pendukung sendiri, Gus Dur tetap menjadikan NU sebagai rumahnya.
Jauh sebelum dia menjadi presiden, tidak jarang pikiran-pikirannya menimbulkan kontroversi di kalangan kiai-kiai NU. Sekalipun demikian, tak setapak pun kakinya melangkah keluar dari lingkaran Islam tradisional tempat dia berasal.
Desember tahun ini telah genap 10 tahun kita lalui hidup tanpa kehadiran orang yang pernah berpesan agar kelak di nisan pusaranya ditulis "here lies a humanist ".
Sepuluh tahun itu pula kita terus-menerus mencoba mewarnai kehidupan keagamaan di Indonesia seperti yang diperjuangkannya selama hidupnya, di mana semua orang hidup dalam perdamaian, di mana kelompok minoritas agama bisa menjalankan keyakinannya dengan perasaan nyaman dan aman. Namun kita harus jujur, kita tidak lagi bisa berkata enteng seperti yang biasa sang Guru Bangsa katakan: "Gitu aja kok repot ! "
Faktanya, setiap tahun, bulan Desember selalu menjadi bulan ketakutan saudara-saudara Kristiani dalam merayakan sukacita Natal. Bahkan para pedagang di mal pun dihantui aksi sweeping kelompok Islam tertentu terhadap simbol-simbol Natal. Bahkan ada sebagian daerah yang terang-terangan melarang umat Kristiani melakukan perayaan Natal.
Jika setiap akhir tahun kita merindu Gus Dur, itu karena kita tahu Gus Dur-lah orang yang berani mewujudkan seruan-seruan perdamaiannya menjadi karya nyata. Ia perintahkan Banser-Ansor menjaga gereja saat Natal, sebuah tindakan yang sama sekali tidak ada preseden sebelumnya.
Ketika banyak kalangan yang mengejek, Gus Dur bergeming. Bahkan ketika ada seorang kiai yang memprotesnya bahwa Gus Dur hanya akan membuat Banser-Ansor layaknya satpam, Gus Dur dengan enteng menyatakan: "Kurang muliakah jika kita menjadi satpam Indonesia?"
Kerinduan kepada Gus Dur sesungguhnya adalah kerinduan kepada wajah Islam ramah Indonesia. Gus Dur-lah yang mendidik kita tentang ber-Islam secara ramah di tengah wajah-wajah garang yang dipenuhi kemarahan karena perbedaan keyakinan.
Gus Dur memang telah meninggalkan kita, tetapi warisan pemikiran dan perjuangannya tetap menginspirasi dalam memperjuangkan keadilan dan kedamaian di Indonesia. Natal tanpanya seperti sebuah perayaan yang pucat tanpa warna.
Sembilan tahun lalu, tepatnya 6 Januari 2011, seorang Indonesianis dari Belanda, Martin van Bruinessen, menerbitkan artikelnya berjudul "What Happened to the Smiling Face of Indonesian Islam? " Di samping isinya, yang menarik dari artikel ini adalah bagian persembahannya. Tepat di bawah judul, penulis menuliskan persembahannya: "Dedicated to the memories of Abdurrahman Wahid ..." (dipersembahkan kepada Abdurrahman Wahid).
Artikel yang di kemudian hari sebagian isinya menjadi pengantar buku Conservative Turn itu seakan menyuarakan kerinduan kepada warisan Islam ramah Gus Dur di tengah fenomena wajah keras Islam di Indonesia pasca-Soeharto.
Sekalipun "smiling face" lebih umum dilekatkan pada gambar wajah penuh senyum Soeharto, sang jenderal penguasa Orde Baru, penyandingan istilah "smiling face " dengan Islam Indonesia langsung secara kuat mendesak ingatan kita pada sosok Gus Dur, sang pengibar bendera Islam ramah Indonesia.
Seperti banyak orang, kerinduan Van Bruinessen pada Islam ramah Gus Dur adalah kerinduan pada wajah Islam Indonesia yang selama ini dikenal penuh senyuman.
Di matanya wajah Islam Indonesia yang selama ini dikenal penuh senyum kini telah berubah. Perubahan yang bagi banyak kalangan terasa mencemaskan.
Bahkan Nahdlatul Ulama (NU) yang menjadi lahan eksperimen Gus Dur dalam membumikan ide-idenya pun, setidaknya sejak 2005, mulai menunjukkan diri ke arah sikap permisif terhadap ide-ide fundamentalisme Islam.
Jika melihat titik balik arus Islam Indonesia sejak kejatuhan Soeharto, Van Bruinessen tanpa ragu menyatakan bahwa kecuali di era singkat kepresidenan Gus Dur (1999-2001), kelompok Islamis dan muslim fundamentalis telah menjadi bagian penting dalam permainan politik kekuasaan nasional.
Di mata Indonesianis seperti Martin van Bruinessen, Gus Dur adalah perwujudan dari citra ideal Islam Indonesia yang sanggup menjembatani ortodoksi keislaman dengan ide-ide modern seperti, demokrasi, kebebasan beragama, hak asasi manusia, kesetaraan gender, bahkan teologi pembebasan, sebuah diskursus keagamaan yang asing bagi umat Islam Indonesia.
Gus Dur adalah pemikir dan juru bicara par excellence Islam tradisional Indonesia. Gus Dur adalah cultural broker —meminjam istilah Geertz—yang berhasil menjembatani kelompok santri tradisional dengan dunia modern.
Dia sanggup menyuarakan tradisi pesantren kepada orang-orang modern-terdidik dan pada saat yang sama membahasakan secara sederhana ide-ide modern kepada komunitas pesantren.
Kekaguman seperti ini sesungguhnya tidak hanya milik Van Bruinessen. William Liddle, misalnya, pernah menulis sebuah artikel berjudul "My Name is Abdurrahman Wahid ". Tulisan ini bisa dianggap sebagai ucapan selamat atas terpilihnya Gus Dur sebagai presiden Republik Indonesia. Judul tulisan itu diambil dari salah satu novel favorit Gus Dur yang ditulis oleh seorang sastrawan Yahudi-Amerika, Chaim Potok, yang berjudul My Name is Asher Lev .
Tidak hanya terkejut dengan tokoh Asher Lev yang perjalanan hidupnya seperti cermin sejarah hidup Gus Dur sendiri, keterkejutan Liddle juga ada pada fakta bahwa seorang pimpinan organisasi Islam tradisional Indonesia seperti Gus Dur menjadikan sebuah "novel Yahudi" sebagai salah satu bacaan favoritnya.
Keterkejutan ini bukan tanpa alasan jika mempertimbangkan bahwa sentimen anti-Yahudi nyaris menyapu seluruh kesadaran muslim Indonesia, baik kelompok tradisionalis maupun modernis.
Seperti Asher Lev yang tidak pernah meninggalkan komunitas Yahudi ortodoks-nya sekalipun pandangan-pandangannya sering tidak bisa dipahami dan diterima orang-orang di sekitarnya, bahkan oleh ayah sendiri, begitu juga Gus Dur.
Sejauh apa pun dia melangkahkan kakinya, bahkan ketika dia telah menjadi seorang presiden Indonesia, sebuah posisi politik yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh para pendukung sendiri, Gus Dur tetap menjadikan NU sebagai rumahnya.
Jauh sebelum dia menjadi presiden, tidak jarang pikiran-pikirannya menimbulkan kontroversi di kalangan kiai-kiai NU. Sekalipun demikian, tak setapak pun kakinya melangkah keluar dari lingkaran Islam tradisional tempat dia berasal.
Desember tahun ini telah genap 10 tahun kita lalui hidup tanpa kehadiran orang yang pernah berpesan agar kelak di nisan pusaranya ditulis "here lies a humanist ".
Sepuluh tahun itu pula kita terus-menerus mencoba mewarnai kehidupan keagamaan di Indonesia seperti yang diperjuangkannya selama hidupnya, di mana semua orang hidup dalam perdamaian, di mana kelompok minoritas agama bisa menjalankan keyakinannya dengan perasaan nyaman dan aman. Namun kita harus jujur, kita tidak lagi bisa berkata enteng seperti yang biasa sang Guru Bangsa katakan: "Gitu aja kok repot ! "
Faktanya, setiap tahun, bulan Desember selalu menjadi bulan ketakutan saudara-saudara Kristiani dalam merayakan sukacita Natal. Bahkan para pedagang di mal pun dihantui aksi sweeping kelompok Islam tertentu terhadap simbol-simbol Natal. Bahkan ada sebagian daerah yang terang-terangan melarang umat Kristiani melakukan perayaan Natal.
Jika setiap akhir tahun kita merindu Gus Dur, itu karena kita tahu Gus Dur-lah orang yang berani mewujudkan seruan-seruan perdamaiannya menjadi karya nyata. Ia perintahkan Banser-Ansor menjaga gereja saat Natal, sebuah tindakan yang sama sekali tidak ada preseden sebelumnya.
Ketika banyak kalangan yang mengejek, Gus Dur bergeming. Bahkan ketika ada seorang kiai yang memprotesnya bahwa Gus Dur hanya akan membuat Banser-Ansor layaknya satpam, Gus Dur dengan enteng menyatakan: "Kurang muliakah jika kita menjadi satpam Indonesia?"
Kerinduan kepada Gus Dur sesungguhnya adalah kerinduan kepada wajah Islam ramah Indonesia. Gus Dur-lah yang mendidik kita tentang ber-Islam secara ramah di tengah wajah-wajah garang yang dipenuhi kemarahan karena perbedaan keyakinan.
Gus Dur memang telah meninggalkan kita, tetapi warisan pemikiran dan perjuangannya tetap menginspirasi dalam memperjuangkan keadilan dan kedamaian di Indonesia. Natal tanpanya seperti sebuah perayaan yang pucat tanpa warna.
(zil)